Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bulan Desember di kampus The University of Western Australia, Perth, selalu menjanjikan dua hal: siraman cahaya matahari yang menyebabkan dedaunan hijau berkilat-kilat serta bunyi kepak ekor burung merak yang anggun dan kenes. Pada pagi yang penuh warna itu, Biennale Simposium Sastra Asia-Pasifik ke-14 dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Khrisna Sen—seorang Indonesianis yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada studi tentang Indonesia.
"Saya akan membuka biennale ini dengan sepenggal Gitanyali dalam bahasa Bengali," kata Sen sembari menggenggam iPad. "Dan ini saya persembahkan untuk guru saya, penyair W.S. Rendra, yang mengajarkan membaca puisi dengan penuh gelora."
Maka burung merak tak hanya berkeliaran dan membuat megah kampus itu. Rendra, sang "Burung Merak", juga menjadi salah satu jiwa dari Biennale Sastra yang dihadiri 40 sastrawan dan pengamat sastra dari negara-negara kawasan Asia-Pasifik itu. Negara-negara itu antara lain Australia, Indonesia, Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Makau, Filipina, India, serta Amerika Serikat.
Tema biennale kali ini adalah "Sastra dan Budaya pada Era Revolusi Digital". Menurut Dennis Haskell, penyair dan dosen Sastra Inggris The University of Western Australia, dengan meledaknya revolusi digital 15 tahun terakhir—meminjam istilah ahli ilmu saraf Susan Greenfield bahwa revolusi digital mungkin sudah menata ulang otak kita—maka menarik untuk melihat implikasinya pada kehidupan sastra. "Kita ingin melihat bagaimana revolusi digital ini—yang menyebabkan kemudahan lalu lintas pertukaran informasi dan teks sastra—membuat kita semakin mudah memahami perbedaan bahasa, sejarah, dan sastra," kata Haskell, yang juga menjadi pengarah simposium tahun ini. Salah satu implikasi yang menjadi perdebatan adalah apakah revolusi digital akan menghancurkan penerbitan tradisional atau justru saling melengkapi. Dengan kata lain, apakah buku-buku cetak kelak akan menjadi benda masa lalu seperti halnya daun lontar yang dahulu digunakan untuk medium surat-menyurat.
Topik ini langsung meletikkan api perdebatan. Pancingan Khrisna Sen dengan menunjuk Gitanyali dalam bahasa Bengali maupun versi terjemahan Rabindranath Tagore ke dalam bahasa Inggris. Sen menyatakan kini kita dengan mudah bertemu dengan bunyi Gitanyali di Internet, iPad, laptop, dan Kindle, yang menjadi pegangan mayoritas semua peserta simposium.
Sajak-lagu puja-puji itu kini tak hanya dikenal melalui aksara, tapi juga sudah menjadi anthem dari suara digital masa kini. Bagi Sen, bahasa Bengali selintas seperti bahasa Jawa halus. Kini, dengan adanya teknologi digital, kita bisa membandingkan audio kedua bahasa itu dengan lekat. Karena teknologi digital pula, Sen bisa meneliti bahwa Gitanyali dalam bahasa Bengali jauh lebih jantan ketimbang dalam bahasa Inggris. Dia juga memberi contoh bagaimana Tagore mengganti kata "India" menjadi kata "my country" dalam terjemahan Inggris, sehingga puisi-lagu itu bisa menjadi milik kita bersama dan terdengar lebih anggun.
Pengaruh revolusi digital di beberapa negara peserta tampaknya telah membuat para penerbit "tradisional" gelisah. Sastrawan Filipina, Jose Dalisay, menyebutkan berbagai penerbit besar di kawasan Asia Tenggara, termasuk Gramedia, sudah mencoba menyentuh usaha digital (e-book) meski masih ingin bersetia kepada penerbitan tradisional. "Di beberapa kawasan, memiliki iPad atau Amazon Kindle dianggap lebih praktis dan mampu memboyong begitu banyak buku dalam satu lembar pad," kata novelis Soledad Sister itu. "Namun masih banyak juga yang bertahan ingin mencium aroma kertas dan tinta, yang sebentar lagi akan menjadi masa lalu."
Novelis dan wartawan Filipina, Isagani Cruz, menyatakan, karena revolusi digital, generasi muda Filipina menjadi tertarik dan belajar tentang Jose Rizal, pahlawan Filipina yang wafat 100 tahun silam tapi kini dihidupkan kembali melalui Facebook, Twitter, iPad 2, eRizal, dan BlackBerry Apps. Generasi muda Filipina bisa bertemu dengan pahlawan mereka melalui Kindle, Gutenberg, dan Amazon Cloud dalam bentuk game yang seru, kisah kepahlawanan, serta informasi ensiklopedia yang lengkap bagi mereka yang ingin menulis tentang Jose Rizal. "Indonesia seharusnya bisa melakukan itu untuk pahlawan kalian yang begitu banyak dan harus diciptakan dalam bentuk dan informasi game yang seru," kata Cruz kepada Tempo sembari menyebutkan berbagai peperangan di masa penjajahan Belanda yang melahirkan banyak nama pahlawan Indonesia. Cruz menekankan, bersetia kepada bentuk lama—maksudnya buku cetak—memang penting, tapi, "Jangan fanatik karena kini kita bisa membaca serta menikmati sastra dan informasi dalam tingkah laku interaktif, yang sudah berbeda dibanding dulu."
Tak kalah dengan semangat pro-revolusi digital itu adalah sastrawan Malaysia, Nor Faridah Abdul Manaf, yang memberikan presentasi bersama Yau Sim Mei, sesama pengajar Sastra Inggris Universitas Islam Internasional Malaysia. Mereka mencoba menghidupkan Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar, yang ditulis pada abad ke-12, menjadi sebuah kisah sufistik yang bisa terjangkau oleh alam pikiran generasi masa kini. Faridah menunjukkan, karya yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, bentuk drama, musikal, dan teater itu kini juga sudah melintasi format cetak dan meniupkan nyawa burung-burung tersebut dalam bentuk animasi: audio dan visual. "Apa yang dulu dianggap karya ‘yang lain’, dalam bahasa lain di luar bahasa Inggris, kini menjadi jauh lebih menyebar, melintas ke berbagai benua, kultur, dan budaya karena mengisahkan seorang guru yang mengajari murid-muridnya soal pencerahan. Puisi sufi yang terdiri atas 4.500 baris itu menekankan satu hal yang universal: upaya pencapaian kepada-Nya," kata Faridah.
Semangat merangkul revolusi digital—dan sastra digital—ini tentu saja mempunyai beberapa konsekuensi. Jose Dalisay menyebutkan para penyair, novelis, dan penulis cerita pendek terkejut ketika tiba-tiba karya mereka muncul di dunia maya tanpa izin—apalagi pembayaran royalti. "Soal hak penulis ini memang akan melalui jalan panjang dan berliku," kata Dalisay. Persoalan lain yang masih akan melalui jalan transisi yang panjang adalah rasa validasi. Karya yang diterbitkan di jurnal dunia maya, misalnya, masih terasa tidak valid jika belum diterbitkan dalam bentuk cetak, karena belum ada yang bisa dipegang secara fisik.
Terlepas dengan diskusi pro (daripada kontra) revolusi digital itu, toh suasana pembacaan puisi pada hari-hari berikutnya tetap saja menunjukkan bahwa para sastrawan masih lebih menyukai sesuatu yang intim, beraroma tradisional, dan akrab. Pembacaan puisi dan cerita pendek yang diselenggarakan di Whiteman Park—sebuah kebun tempat koala dan kanguru bernaung—menampilkan berbagai pertunjukan dan aksi dari sastrawan Singapura, Alvin Pang; penyair Hong Kong, Agnes Lam; dan penyair India, Sami Rafiq. Kali ini, setelah panas yang menggerogot kulit, langit Perth menumpahkah hujan deras yang terus-menerus menemani butir-butir puisi Night Flight karya penyair Dennis Haskell: "Then the dark we presume sweeps beneath us/A light twitching at the end of the wing/like an eyelid, belies our speed…."
Leila S. Chudori (Perth)
Setelah 30 Tahun...
Hampir 30 tahun silam, sastrawan Australia, Bruce Bennett, dan penyair Singapura, Edwin Thumboo, merasa gelisah. Hanya dengan surat-menyurat, dan sesekali menggunakan mesin faksimile, mereka berbagi keprihatinan tentang sastra di kawasan Asia-Pasifik yang saling tak menyentuh dan "berkenalan". "Saat itu para founding father simposium tersebut menganggap para sastrawan kawasan ini harus bertemu, paling tidak dua tahun sekali, untuk berdiskusi dan membacakan karya para sastrawan," kata penyair Dennis Haskell. Semula perhatian lebih ditekankan pada karya sastrawan Asia yang menulis dalam bahasa Inggris. Harry Avelling, Indonesianis yang menerjemahkan karya W.S. Rendra dan Umar Kayam, adalah orang yang mengkritik bahwa karya yang didiskusikan harus mencakup semua karya sastrawan Asia dalam bahasa apa pun. Maka bergulirlah acara Biennale Simposium Sastra yang diadakan secara rutin di berbagai negara, yang lazimnya akan menghasilkan sebuah buku yang memuat makalah dan karya para peserta.
Semula simposium itu diadakan bolak-balik di antara dua negara: Singapura dan Australia. Sedangkan para peserta adalah sastrawan dari negara-negara Asia dan Pasifik. Pada masa lalu, Sapardi Djoko Damono dan Budi Darma adalah sastrawan yang ikut menjadi peserta di awal simposium ini dibentuk.
"Lama-kelamaan simposium kemudian bergiliran diadakan di Malaysia, Hong Kong, Filipina, dan Australia," kata Haskell. Dia menyebutkan dua tahun lagi acara ini akan diselenggarakan di Hong Kong dan Makau. Jika memungkinkan, empat tahun lagi panitia simposium ingin sekali mengadakannya di Yogyakarta.
"Salah satu hal yang kami peroleh dari biennale ini bukan hanya mempelajari karya-karya baru para sastrawan di kawasan ini, tapi juga menjadi semacam peta dan petunjuk kemajuan sastra di negara masing-masing," kata penyair Filipina, Isabel Banzon, yang sudah beberapa kali menghadiri simposium ini.
LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo