Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah ekskursi yang tak biasa. Hujan belum lama berselang. Masih terasa rintik-rintiknya. Bulan purnama yang diperkirakan muncul masih tersembunyi di awan gelap. Ratusan pengunjung digiring pemandu memasuki kawasan zona 1 Ratu Boko. Dari gapura pertama ke gapura kedua. Kemudian hamparan tanah lapangan, padang rumput yang luas.
Dan kita melihat di situ ada lingkaran titik-titik cahaya. Terasa cantik. Perjalanan menembus kegelapan itu selanjutnya hanya diterangi beberapa lampion kecil yang dipegang anak-anak warga sekitar situs Ratu Boko. Kawasan situs dari abad ke-8 itu (zaman Rakai Panangkaran) makin bertambah misterius.
Belum diketahui benar sesungguhnya Ratu Boko dahulu adalah tempat apa. Dari sebuah prasasti, kawasan ini diketahui bernama Abhyagiri Vihara, vihara penuh damai di atas bukit. Itu artinya sekali waktu kawasan tersebut adalah asrama pendeta. Namun beberapa peninggalan di situ juga menunjukkan kemungkinan sebagai taman kerajaan, benteng, dan istana.
Pengunjung kemudian melewati candi pembakaran, yang diduga tempat pembakaran jenazah atau hanya pembakaran kayu. Menuju tenggara, di sana terdapat sisa-sisa lantai paseban, pendapa, balai-balai, dan kompleks keputren serba batu. Sebuah segi empat. Dari situ, pemandu mengajak berbelok ke kiri, berjalan ke bagian paling timur. Inilah klimaks perjalanan. Sebab, dari ketinggian, pengunjung dapat melihat kolam-kolam permandian yang diperkirakan tempat berendam keluarga raja.
Beberapa lampu sorot ditembakkan, menjadikan kolam-kolam itu bagaikan sebuah instalasi seni rupa. Kolam remang-remang berwarna hijau, biru, dan ungu. Bagian belakangnya bayang-bayang perbukitan dan pepohonan lebat. Di ketinggian ini, kita seolah-olah dibawa menikmati suatu ruang yang lain. Sebuah dimensi yang lain. Andai di kolam itu ada sosok penari yang berkelebat, dan bergerak, membentuk koreografi, andai dari sekitar kolam itu ada sayup-sayup komposisi soundscape atau kor lirih, tentu suasana semakin menarik.
Candi, bagi Sardono W. Kusumo, bukan sesuatu yang asing. Tubuhnya telah bergerak dari satu candi ke candi lain. Bukan hanya candi di Jawa, melainkan juga situs di Meksiko, India, Thailand, Kamboja, sampai kuil-kuil Jepang. Tapi untuk pertama kalinya ia membuat pergelaran di Ratu Boko. Di zona 2 Ratu Boko, kawasan depan gapura, sebuah panggung bambu sepanjang 12 meter hasil rancangan perupa Joko Avianto ia pacakkan. Di kanan dan kiri panggung itu terdapat dua dinding bambu setinggi 8 meter. Bentuknya melengkung berhadapan. Dari kejauhan bentuk panggung ini terlihat menyerupai yoni (wadah)—tapi juga bentuk perahu.
Sardono menggelar Mitos dan Legenda Para Ratu Nusantara di Candi Ratu Boko. "Ini soal peran perempuan yang memimpin armada maritim Nusantara," katanya. Ia ingin menggarap dua sosok ratu. Ratu Kalinyamat pernah menguasai bandar laut Jepara di Jawa. Tokoh ini diperankan penari dan pesinden Surakarta, Peni Candra Rini. Sosok Ratu Boki Raja, sultan perempuan asal Ternate, diperankan Ine Febriyanti.
Memang Candi Boko tak berkaitan dengan dua perempuan tersebut. Tapi, lantaran Candi Ratu Boko tak seperti Borobudur atau Prambanan yang memiliki kesan Buddha dan Hindu yang kuat, menurut Sardono, hal itu menjadikan kemungkinan mementaskan apa pun.
Sardono melibatkan warga desa. Puluhan laki, perempuan, tua, muda, dan anak-anak, tanpa alas kaki mulanya, menenteng lampu. Mereka bagaikan pengungsi letusan gunung api. Dengan wajah belepotan abu, pakaiannya kotor, mereka menggendong karung serta menuntun sapi dan kambing. Kentongan ditabuh bertalu-talu.
Lalu, di panggung, sekelompok lelaki bertelanjang dada ramai memanggul guci, menggotong peti, dan mengusung patung kepala sapi. Peni Candra Rini mengenakan gaun serba putih. Di sekelilingnya muncul aktor-aktor berkostum India, Portugis, hingga Arab, memetaforakan saudagar-saudagar asing yang berlomba mencari rempah Nusantara. Para penari perempuan yang semuanya berambut panjang terurai kemudian tampil, mengandaikan Kalinyamat menutupi tubuh telanjangnya dengan rambut. Dramaturgi naik tatkala belasan laki-laki memanjat dinding bambu sampai bagian paling atas bagaikan naik ke tiang-tiang layar kapal.
Memang akhirnya kita seperti menonton kolase. Pertunjukan utama ini begitu riuh, ingar-bingar. Ratusan penari pamer kekolosalan. Panggung yang megah sampai-sampai menenggelamkan bayang-bayang hitam gerbang dan benteng Boko. Tata cahaya sama sekali tak memberi gerbang Boko beserta teras-teras batunya yang khas itu tampil sebagai latar belakang. Meski babak antara Kalinyamat dan Ratu Boki dipisahkan, masih tak terasa penonjolan kedua tokoh itu. Imajinasi kita tak dibawa ke keperkasaan atau kemistisan keduanya. Imajinasi kita juga tak dibawa ini sebuah pertunjukan yang memakai ruang situs—selain hanya sebuah tontonan besar—di sebuah tempat outdoor.
Tapi kemudian, setelah diajak memasuki zona 1, sesuatu yang kontras terjadi. Sementara di depan riuh, beranjak ke dalam kita dihunjami oleh perasaan kesunyian dan kemisteriusan. Ide Sardono menjadikan kawasan Ratu Boko sebagai instalasi titik-titik cahaya bagaikan art environment adalah sebuah ide mahal. Karena itu, bila saja di kolam-kolam berbentuk bujur sangkar, bundar, atau persegi panjang tersebut ada penari-penari yang bergerak atau ada rekaman suara kor para penari berambut panjang yang dilatih Ubiet (Nyak Ina Raseuki), tentunya lebih magis.
Seno Joko Suyono dan Anang Zakaria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo