Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kanal Kearifan Masa Silam

Berdiri di atas tanggul alam, sekitar kompleks Muarajambi dikelilingi kanal-kanal kuno. Alhasil, halaman candi tak pernah tergenang air.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jembatan kayu reot. Telaga kecil berair jernih. Seorang perempuan paruh baya bersarung merah berjongkok di pinggir dermaga kecil. Sejenak ia meraup air telaga dan mencuci muka. Sesekali ikan tomang dan gabus berkecipak meloncat dari air.

Penduduk menyebutnya Sungai Jambi. Hanya itu yang tersisa dari kanal-kanal kuno yang mengelilingi situs Muarajambi. Dasarnya sudah ditumbuhi vegetasi basah, meski di beberapa tempat yang dalam penduduk lokal masih bisa menggunakannya sebagai mata air.

Warga Muarajambi kuno sungguh sadar dengan pilihan mendiami daerah di tepi Sungai Batanghari, yang lebarnya bisa mencapai setengah kilometer. Kearifan lingkungan membuat mereka pandai memilih lokasi permukiman dan ibadah yang terhindar dari banjir. Tapi sebagaimana sumber kehidupan, air tetap menjadi pusat orientasi mereka.

Demi mendekatkan diri pada air, permukiman maupun bangunan candi mereka berdiri memanjang mengikuti aliran sungai (man-adapted system). Menurut arkeolog senior Mundardjito, itu akibat terbatasnya luas lahan kering. Tak ada tempat untuk membangun kampung dengan pola menyebar ke segala arah seperti Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Nah, tuturnya, deretan candi dibangun di atas tanggul alam (natural levee) yang terbentuk dari endapan sedimen sepanjang aliran sungai. Beruntung, tanahnya termasuk daratan aluvial yang subur dan datar. Sebagian situs dibuat lebih tinggi dengan membuat saluran keliling dan menguruk halaman candi dengan tanah hasil galian. Terhindar pula dari erosi alam karena tidak terletak di meander (kelokan) sungai. ”Tak ada masalah banjir atau genangan,” ujarnya.

Keuntungan lain adalah transportasi. Pada masa lalu, air justru menjadi jalan tol, dan parit adalah jalan-jalan utamanya. Air Batanghari dialirkan ke kanal-kanal yang dibangun dengan tangan manusia. Kapal ketek besar berhenti di tepi Batanghari, penumpangnya pindah ke perahu kecil. Mereka leluasa keluar-masuk kompleks situs melalui parit Sekapung, Johor, Buluh, Amburan Jalo, dan banyak lainnya yang mengelilingi situs. Ada pula kolam penampungan air seukuran 100 x 120 meter. Penduduk menyebutnya sebagai Telagorajo.

Menurut Junus Satrio Atmodjo, banyak parit yang mengelilingi Muarajambi dipastikan bukan saluran alami melainkan buatan tangan manusia. Ada empat ciri utama kanal kuno: ukuran lebar yang relatif sama, bentuknya yang lurus, saling bersilang antarkanal, dan tidak mengikuti kontur bumi. Tapi yang paling mencolok adalah aliran airnya yang terbalik. Tidak bermuara ke sungai, tapi justru dari sungai. Itulah yang terjadi di Batanghari, ketika air sungai justru mengalir ke kanal. ”Tidak ada sungai alam yang pola alirannya semacam ini,” kata bekas Kepala Balai Arkeologi Jambi ini.

Kreativitas mengakali lingkungan ini meninggalkan bukti kuat. Pungutlah batu koral kuning yang terserak di sekeliling Candi Kedaton. Bentuknya—seukuran jari balita hingga jari manusia dewasa—tak jauh berbeda dengan batu koral di jalan-jalan aspal Kota Jambi. Asalnya dari daerah hilir Batanghari.

Begini cara batu koral itu diangkut: setelah membuat perahu canggih yang bisa memuat bobot ekstra, batu koral dipungut dan diangkut dari daerah aliran Batanghari bagian hulu pegunungan Bukit Barisan, sekitar 200 kilometer dari Muarajambi. Melalui Batanghari, perahu itu lantas masuk ke Sungai Berembang, yang berkelok-kelok menyempit menuju Sungai Jambi, hanya 20 meter dari pagar Candi Kedaton.

Batu koral bukan satu-satunya yang diimpor Muarajambi. Dengan cara yang sama, benda-benda emas dari sumbernya di hulu dan barang pecah belah rumah tangga buatan luar negeri sekalipun ikut mampir ke situ. Kedekatannya dengan air—jarak dari situs ke perairan tak sampai 500 meter—membuatnya memiliki akses luas terhadap perdagangan internasional. ”Ini strategi ekonomi juga,” Mundardjito menambahkan.

Tak aneh jika pecahan keramik kuno lokal maupun barang impor asal negeri asing dari masa silam banyak bertebaran di pinggir sungai. Misalnya pecahan guci, pasu, piring keramik dari Cina, Thailand, hingga Persia. Sementara candi dibuat dari bata dan selamat dari terjangan air, warga Jambi kuno umumnya justru tinggal di sepanjang bantaran sungai. Dari rumah panggung mereka yang berdiri di atas tiang kayu bulian, ”wuuss...” sampah langsung dilempar ke sungai.

Selain transportasi, kanal juga menjadi bagian dari kompleks ibadah. Menurut Junus, air yang mengelilingi kompleks menghasilkan amerta (air suci) melalui ritual. Bentuknya sendiri mewakili mikrokosmos. Air mewakili samudra, dan candi berlaku sebagai meru atau gunung sentralnya. Dengan dikelilingi air, maka kompleks ibadah disucikan bagai mandala atau pusat semesta.

Konsep serupa terdapat di Angkor, peradaban tetangga Muarajambi di Asia Tenggara daratan, wilayah yang kini dihuni oleh negara modern Kamboja. Kompleks seribu candi Buddha di tepi Sungai Mekong ini berdiri di lahan seluas 160 kilometer persegi. Tak banyak yang diketahui tentang peradaban masyarakat Khmer di daerah subur ini, tapi di masa jayanya wilayah ini diduga dihuni sampai satu juta orang.

Populasi yang fantastis untuk ukuran masa silam itu akibat manajemen air para pendirinya. Angkor memiliki sistem irigasi, kanal-kanal yang kompleks, dan sejumlah dam penampungan. Selain untuk ibadah, tujuan praktisnya adalah demi menghindari banjir di musim hujan dan menampung air di musim panas. Dam yang terbesar memiliki panjang hingga delapan kilometer. Candi-candinya yang paling terkenal dibangun pada abad 8-13, periode yang sama dengan ketika moyang warga Jambi berjaya dari tepi Batanghari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus