Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Peradaban Buddha di Tepi Batanghari

Seribu tahun lalu, riak Sungai Batanghari mengantar globalisasi ke penjuru Sumatera. Puluhan situs purbakala ditemukan di tepinya. Membentang sejauh 7,5 kilometer, Muarajambi adalah yang terbesar. Tujuh ratus tahun berlalu, sebagian masih terkubur tanah dan belukar. Baru tujuh kompleks—dari hampir 83 titik candi—yang telah dipugar. Wartawan Tempo, Kurie Suditomo, mendatangi lokasi, mencatat dan menuliskannya untuk Anda.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

In the morning a white mist hung over the Batang Hari, which was then wider and deeper than ever. Prolonged floods inundate everything here and the houses and the fields are deeply submerged in the water. Large branches of trees, pieces of woods and sods of grass drift along the river in an endless cavalcade; sometimes whole trees are carried down to the sea serenely, stately, almost gently. (F.M. Schnitger, Batanghari, 1936)

Akhir September lalu, pukul enam pagi. Kabut menyelimuti Sungai Batanghari. Tapi tak serupa dengan cerita avonturir Belanda 70 tahun lalu itu dalam bukunya Forgotten Kingdoms in Sumatra; kini kepekatan kabut bercampur asap kebakaran hutan. Rasanya seperti ada pasir menggarit kerongkongan.

Angin tak berembus. Tak ada batang pohon larung. Air cokelat Batanghari mengalir begitu tenang tanpa riak. Suara mesin diesel perahu ketek yang membawa kami memekakkan telinga. Tapi sungai ini tetap menyimpan pesona tersendiri.

Batanghari adalah saksi bisu sebuah peradaban. Ada tiga sungai besar yang membelah perut Sumatera. Musi (Sumatera Selatan), Kampar (Sumatera Barat), dan Batanghari (Jambi). Dan Batanghari, dengan lebar yang bisa mencapai setengah kilo di hilir itu, adalah yang terbesar.

Berabad-abad Batanghari menyaksikan sebuah peradaban yang tumbuh, mengundang banyak pengelana dari Asia—dan berabad-abad berikutnya Batanghari melihat peradaban itu runtuh, hilang, dan kini sunyi, tinggal sisa-sisa fisiknya. Hanya 300 meter dari tepinya kita dapat melihat bekas kompleks situs percandian Buddha terbesar di Sumatera yang disebut Muarajambi. Letaknya di kecamatan Marosebo, kabupaten Muarajambi, 22 kilometer ke arah timur laut Kota Jambi.

Inilah sebuah situs yang disebut-sebut pada awal-awal Masehi telah mampu menjadikan Sumatera pulau ”global”—tujuan para pedagang dari seantero Asia. Peradaban yang membangunnya diperkirakan adalah peradaban Melayu yang berasal dari abad klasik, 9-14 Masehi. Bahkan ada pandangan yang melihat Muarajambi muncul pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Artinya, jauh lebih dahulu daripada Borobudur di Jawa.

Pada tahun 671, I-tsing, pendeta Buddha, selama enam bulan menetap di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) untuk belajar bahasa Sanskerta. Setelah itu ia melanjutkan perjalanannya dan menetap selama dua bulan di Mo-lo-yeu. Di Muarajambi ada sungai yang disebut penduduk sebagai sungai Melayu. Schnitger lantas memperkirakan Mo-Lo-yeu yang dimaksud I-tsing adalah situs Muarajambi.

l l l

Muarajambi membentang sepanjang 7,5 kilometer dari barat ke timur di sepanjang Sungai Batanghari. Dari ketinggian foto satelit tahun 2003, terlihat menghampar 83 titik candi yang tersebar di lokasi seluas 2.060 hektare. Menakjubkan. Begitu luas wilayah kompleks percandian itu, 24 kali lebih besar dari kompleks Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.

Dari hasil ekskavasi dan pemugaran yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 1975, sudah 14 buah candi dapat didirikan dan kelihatan bentuknya di lokasi seluas itu. Candi-candi ini terletak dalam tujuh kompleks: Koto Mahligai, Kedaton, Gedong, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano.

Schnitger sendiri bukan orang asing pertama yang membelah hutan Sumatera meneliti ”candi yang hilang” itu. Seratus tahun sebelumnya, tepatnya 1823, seorang letnan perwira Inggris bernama S.C. Crooke telah dapat menembus belantara Sumatera menuju Muarajambi. Dalam laporannya ke Perusahaan Dagang Inggris (EIC), S.C. Crooke menulis kepercayaan penduduk lokal setempat terhadap Muarajambi.

Menurut Crooke, penduduk percaya di tempat itu pernah berdiri sebuah ibu kota. Ia terpesona oleh reruntuhan bangunan dari bata yang terbungkus tanah dan dedaunan. Tak punya waktu menggali, Crooke membawa sebentuk figur kepala manusia sebagai bukti laporannya ke Penang, Malaysia. ”Rambutnya keriting, seperti wig hakim (Inggris),” demikian ia menulis. Sayang, si rambut keriting itu hilang sampai sekarang. Padahal, kalau ada, itulah arca Sidharta Gautama pertama yang meneguhkan Muarajambi sebagai situs peradaban agama Buddha.

Dalam perjalanan waktu, ahli purbakala kita menemukan arca Dewi Prajnaparamita, dan sebelas lubang di dasar candi yang bersusun sesuai dengan wajradhatumandala. Juga nama-nama dewa yang termasuk dalam pantheon wajradhatumandala pada artefak lempeng emas yang ditemukan di Candi Gumpung. Ini semua menunjukkan Muarajambi didirikan sesuai dengan paham Buddha Mahayana yang beraliran Tantrisme. Pengaruh Hindu terasa juga, seperti ditemukannya arca Dipalaksmi dan Nandi. Meski ini belum cukup untuk mengaitkannya dengan bangunan.

l l l

”Nguuungg...,” bunyi gergaji pohon nyaring terdengar saat Tempo menyusuri jalan setapak di sekeliling situs ini. Menyisiri belukar daun-daun di ladang duku dan durian di Muarajambi, ada banyak pecahan bata yang terjejak. Semakin dekat dengan kompleks percandian, semakin banyak pula pecahan bata. Bunga pohon durian berserakan di antara daun-daun kering. Hanya ada satu-dua pohon Boddhi, pohon yang menaungi persemedian Sidharta Gautama, di situ.

Di halaman Candi Gedong, Junus Satrio Atmodjo membungkuk, meraih sesuatu dengan tangannya. Saat tegak kembali, ia mengangsurkan sekeping potongan keramik. Ulir bunga dengan tinta biru masih terlihat, meski diliput debu. ”Ini dari Thailand, abad ke-14,” kata bekas Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jambi, Sumatera Selatan, dan Bengkulu itu.

Ya, di Muarajambi demikian mudah pecahan keramik berusia ratusan tahun ditemukan. Paling jauh, mereka terpendam hingga 40-50 sentimeter dari permukaan tanah. Ketika hutan baru dibuka dan pemetaan awal dilakukan pada akhir tahun 1970-an, guci, pasu, dan piring utuh masih sering ditemukan. Entah terkubur di dalam tanah atau di rawa-rawa, sering kali tak sampai satu meter dari muka tanah. Sejumlah artefak emas justru ditemukan di sawah penduduk. Sebagian lolos ke tangan pasar gelap, sebagian dapat diperoleh Suaka, atau kadang dibeli kembali dari penduduk. Semuanya disimpan di Museum Muarajambi dan Kota Jambi.

Nah, kepingan-kepingan berusia seribu tahun itu banyak yang ternyata perkakas impor, menandakan ”globalnya” Muarajambi. Menurut ahli arkeologi Abu Ridho, keramik asing sebagian besar berasal dari Cina abad 9-14 Masehi, sementara yang paling dominan adalah keramik dari dinasti Song (abad 10-13 Masehi) dan dinasti Yuan (13-14 Masehi).

Ada pula keramik dari negeri tetangga seperti Khmer (Kamboja) abad ke-10 Masehi dan Vietnam abad 14-15 Masehi. Dan piring serta pasu dari Thailand dan Burma yang terbuat dari porselen. Tak ketinggalan, batu-batuan. ”Umurnya lebih muda, mulai dari abad ke-13 dan sesudahnya,” demikian ia tulis. Ini tak ubahnya dengan porselen Cina, kulkas Jepang, atau penanak nasi dari Korea yang ada di dapur rumah kita saat ini.

Moyang orang Jambi di masa itu memang sungguh kosmopolitan hidupnya. Selain hasil perdagangan, keramik itu tentu juga oleh-oleh dari sejumlah perjalanan ke Cina daratan. Sejarah dinasti Tang menyebut adanya utusan dari negara Mo-lo-yeu ke tanah Cina pada tahun 644 dan 655 Masehi. Inilah yang membuat sebagian percaya Muarajambi berumur lebih tua lagi dari Kerajaan Sriwijaya.

Selain keramik buatan lokal yang lazimnya berwarna kuning kecokelatan, ada pula ditemukan beberapa potong tembikar dari bahan tanah liat atau krem dengan glasir warna turquoise asal Asia Barat atau Persia. Ini pertanda saudagar Arab tak segan bertandang. Simak catatan perjalanan zaman pemerintahan Khalifah Muawiyah (661- 681 Masehi). Di situ disebut ada sebuah negeri bernama Zabag sebagai bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan. Bambang Budi Utomo, dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menduga Zabag adalah Muarajambi Sabak, yang letaknya di Tanjung Jabung, kira-kira 130 kilometer dari Muarajambi.

Ratusan keramik dari kualitas tinggi tersebar di pekarangan Candi Gumpung. Dari pintu utama kompleks situs, pengunjung bisa langsung melihat candi ini, candi yang pertama kali dipugar dari seluruh kompleks. Bentuknya padat dan masif, berukuran 18,5 x 17,5 meter. Pagar keliling dari bata sudah kembali berdiri, menarik batas antara wilayah profan—dunia fana—dan areal yang suci. Halaman candi membentang luas, bersih dari pohon-pohon dengan lingkar tengah hingga 2-3 meter yang dulunya menyesaki kompleks.

Sejumlah benda berharga ditemukan dari peripih—kotak persembahan yang ditanam di dasar candi. Antara lain lempengan emas, perhiasan emas, cepuk emas, perunggu, serta batu permata warna merah, ungu, dan biru. Lempeng emas itu beraksara Jawa Kuno, yang menandakan pendirian candi pada sekitar abad 9-10 Masehi, periode yang sama dengan ketika Borobudur berdiri.

Dari pekarangan Candi Gumpung-lah arca Prajnaparamita itu ditemukan. Meski kepalanya hilang, keindahan arca dewi kebijaksanaan nan sempurna ini hanya ditandingi oleh arca serupa dari Candi Singosari di Jawa Timur—kini disimpan di Museum Nasional. Ukuran arca yang ditemukan di Muarajambi malah lebih besar. Sayang, kepalanya telah hilang. Keduanya diperkirakan berusia sama, yakni dari abad ke-13.

Harta dari Batanghari

Sumatera ratusan tahun lalu telah dikenal dengan nama Suwarnadwipa atau pulau emas. Di Jambi, emas banyak dihasilkan melalui penambangan tradisional hingga sekarang, terutama di daerah pedalaman pada aliran Sungai Bungo, Tebo, dan Merangin, yang masih merupakan anak Sungai Batanghari. Tak mengherankan, artefak berlapis emas berusia ratusan tahun ditemukan bukan hanya di Muarajambi, tapi juga di mana pun sepanjang Batanghari mengalir. Sebagian di antaranya:

Lempeng emas dari Candi Gumpung dan Tinggi. Permukaannya terdapat nama dewa yang diawali atau disisipi kata ”wajra” atau kilat. Ini bukti pengaruh Buddha Mahayana beraliran Tantrisme di Muarajambi.

Kedua arca emas Awalokiteswara ini, Ditemukan secara tak sengaja di sawah seorang petani. Arca yang ditemukan ini bergaya India, meski di Indonesia Awalokiteswara lebih dikenal dengan nama Dewi Kwan Im.

Perhiasan emas yang ditemukan di lokasi.

Replika wajah (paling kiri) ini berukuran tak lebih dari satu setengah sentimeter persegi.

Sabuk emas, ditemukan di Desa Lambur, Kabupaten Tanjungjabung Barat, kadar emasnya mencapai 18 dan 20 karat. Bila dilingkarkan di pinggang orang dewasa, ukurannya bisa dipakai orang berukuran celana 26. Asal-usulnya sukar diketahui karena tidak ada tanda spesifik.

Arca Buddha ini ditemukan di situs Rantaukapaslimomanis, Kabupaten Tebo. Arca ini memiliki gaya seni Gandhara dari India. Permukaannya berlapis emas, tapi karat dari perunggu di lapisan bawahnya membuat lapisan emas rusak dan mengelupas.

Arca Prajnaparamita yang ditemukan di Candi Gumpung. Dengan ukuran lebih besar, arca dewi kebijaksanaan nan sempurna dari batu andesit ini sangat mirip arca serupa asal Kerajaan Singosari abad ke-13 Masehi, yang kini tersimpan di Museum Nasional. Kepalanya hilang dan sebagian dari tangannya pecah.

Cepuk emas. Berasal dari dasar bangunan induk Candi Gumpung dan salah satu bangunan perwara (pendamping) Candi Tinggi. Cepuk ini digunakan untuk menyimpan benda-benda persembahan dan mantra.

Batu mulia. Meski ditemukan di salah satu bangunan candi di Muarajambi, sebagai dataran aluvial Muarajambi tak memiliki lapisan bebatuan. Bisa jadi batu-batu ini adalah salah satu komoditas perdagangan dari luar Sumatera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus