POLANDIA sedang menarik perhatian. Pergolakan buruh, di sebuah
negara Eropa Timur, memang hampir tak masuk akal. Masyarakat
macam apa sebenarnya yang ada di sana?
Yang juga menarik, pameran poster Polandia di ruang pameran
Institut Kesenian Jakarta (dulu LPKJ) di Taman Ismail Marzuki,
15-31 Oktober, terasa jauh dari kesan komunis. Bebas dari
propaganda, dan setaraf kualitasnya dengan poster negara
"kapitalis".
Kebanyakan poster untuk film dan teater. Hanya beberapa terlihat
poster pameran, sirkus dan festival musik. Dari kumpulan itu,
poster teater sendiri sebenarnya tidak terlampau mengejutkan.
Seperti juga di Indonesia, poster jenis ini biasanya digarap
khas: serius, agak aneh, dramatik.
Umpamanya yang untuk pertunjukan Cavalleria Rusticana -- dibuat
oleh Krzyszlof Nasteter. Sebuah potongan pedang pasukan kavaleri
digambar melintang, dengan warna khromatik biru, memberi kesan
"hitam putih". Pada pangkal pedang terikat sebuah kain putih
--terletak di pusat bidang poster mengesankan bagian utama yang
membawa beban cerita. Namun pesona tidak ditarik ke sana. Tak
jauh dari kain putih, di tengah bilah pedang, ada sebua garis
merah--warna yang kontras untuk seluruh poster -- tipis,
meleleh, meng gambarkan darah yang melekat pada pedang. Di situ
pandangan terpaku.
Contoh lain karya Yerzy Csermawski untuk International Theatre
Day. Sebuah gambar tirai lusuh kuning oker dengan bintik-bintik
cokelat tua. Misteri digambarkan lewat sepasang mata pada
tirai--yang bisa juga mengubah tirai itu seakan kulit muka.
Yang luar biasa adalah poster film. Justru pada poster jenis ini
sama sekali tak nampak gambar bintang film, potongan adegan
ataupun deretan kalimat iklan film. Poster film Polandia digarap
serius--justru dengan teknik cetak yang yang sangat biasa, tak
beda dari poster teater dan lain-lainnya.
Misalnya karya Franciszek Starowieyski, untuk film So Close to
Heaven. Sebuah ranjang susun. Di ranjang itu ada buah apel yang
sebagian sudah digerogoti. Nampak benar, benda-benda yang
digambarkan lebih dekat ke tanda-tanda yang jadi media ungkapan
pembuat poster--daripada isi film. Tafsiran perancang poster
(terhadap filmnya) kelihatan benar dominan.
Yang lain, poster Jakub Erol untuk Dagny. Ini malah sama sekali
tak mengesankan poster film: terlalu bagus. Teknik art
noveau-nya mengingatkan pada karya-karya Mucha, tokoh art noveau
yang sangat terkenal. Poster gaya Mucha di Eropa Barat biasanya
dijual sebagai 'karya', dengan harga tinggi.
Di Polandia, perancang poster beruntung menghirup kebebasan.
Termasuk untuk penafsiran yang aneh-aneh, baik terhadap film
dalam negeri maupun asing. Poster untuk film Charade, misalnya,
model Polandia, rasanya jauh sekali dari posternya yang pernah
terpampang di bioskop.
Entah mengapa negeri ini terlihat punya perhatian khusus pada
poster. Pada pengantar pameran disebutkan, minat ini sudah mulai
begitu Perang Dunia II selesai. Tercatat sebagai tokoh perintis:
lenryk Tomasewski, Waldemar Swierzky, Franciszek Starowieyski,
Jan Lenica dan beberapa lagi. Pengantar--yang penuh ditulis
siapa--juga menyebutkan, kecenderungan membuat poster di
Polandia mengikuti prinsip 'seni untuk seni'. Dan kalangan mana
pun di Polandia--termasuk pemerintah--nampaknya tak keberatan.
"Membeli Seniman"
Polandia juga dikenal sebagai salah satu kolektor poster
terbesar. Dua tahun sekali, di Warsawa, diselenggarakan pameran
poster internasional--yang sampai kini sudah kedelapan kali.
Bukubuku maupun majalah yang mengulas perkembangan poster hampir
tak pernah mengabaikan pameran ini.
Di Indonesia, kendati belum meluas, perkembangan perancangan
poster sebenarnya sudah lanjut. Sudah boleh dikatakan setaraf
kualitasnya dengan karyakarya senirupa yang lain. Tidak sekedar
menjadi media publikasi, tapi sering juga ungkapan yang lebih
serius.
Ini penting karena, lebih dari itu, poster tampak punya prospek
yang lebih baik dibanding umpamanya seni lukis. Poster --
seperti juga karya grafislainnya--terasa tidak dibebani
berbagai 'kebiasaan menilai" yang cenderung memberatkan.
Umpamanya dalam senikis ada tradisi mengamati tarikan garis,
mengekspresikan emosi dan sebagainya. Kendati bukan ketentuan,
ini bisa! dipastikan membuat "olah lukis" kaku dan terasa berat.
Dan ini tak ada pada perancangan poster dan seni grafis -- yang
mengakibatkan kegiatannya bisa terasa main-main. Ekspresi bisa
mengalir lebih wajar.
Pun poster lebih "membumi". Tak sampai, seperti yang sering
dilakukan senilukis, bergerak ke permasalahan sangat lanjut yang
tak dimengerti "orang awam". Poster selalu dituntut bisa
berkomunikasi, dan justru dari situ sering lahir ide-ide
kreatif.
Teknik pembuatan poster jadinya tidak terbatas. Fotografi,
kolase dan tipografi, semuanya memberi manfaat. Tak aneh kalau
sekarang jenis ini lantas cenderung mendesak senilukis. Di Eropa
dan Amerika Serikat, pasaran poster naik meyakinkan. Bisa
dipaham: dengan kualitas gambarnya yang bisa tinggi, harganya
jauh lebih murah. Kan dicetak sekian ribu lembar? Orang pun
nampaknya tidak terlampau peduli, apakah sebuah poster mulanya
dicetak untuk tujuan komersial. Sebuah perusahaan poster di
Prancis telah membeli hak mencetak dua poster komersial --
Coca-cola dan Rothmans--kemudian memperbanyaknya sebagai karya
seni. Ternyata laku.
Barangkali di masa kini orang tak akan lagi hanya "membeli
seniman". Lebih suka menilai, kemudian ikut memasalahkan,
ide-ide pada karya seni yang muncul sebagai 'bahasa
tanda-tanda'. Dan inilah yang menonjol pada poster. Lihat saja
karya Marcin Mroszczak, sebuah poster teater. Berupa kartu
pengenal yang dibesarkan. Pada bagian foto ada potret si
pemegang kartu -- tapi membalik diambil dari belakang--seperti
bergerak menjauh. Nah, poster itu untuk pertunjukan berjudul: Ia
meninggalkan rumah.
Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini