Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Listrik Dari Kincir Tua

Zamri Syaf dari desa Sitalang (kab. Agam) membuat pembangkit listrik dengan menggunakan kincir air, gubernur Sum-bar mengharapkan ribuan kincir air bisa dimanfaatkan di daerah tersebut.

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Sitalang di kaki Gunung Pasaman itu dingin dan sepi. Sesekali harimau keluar dari hutan lebat di sekitarnya, menampakkan belang. Tapi penduduk desa di Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, ini sekarang mulai berani keluar malam hari. Listrik sudah masuk desa ini, bersumber dari sebuah pembangkit listrik ciptaan Zamri Syaf, 23 tahun. Kincir air yang memutar dinamo itu menghasilkan 1.000 watt. Sedikitnya 30 rumah penduduk, termasuk rumah orangtuanya, Sahrul Sutan Sinaro, mendapat listrik. Ciptaan Zamri itu bermula dari kegagalan. Lulusan STM Muhammadiyah, Padang, 1976, anak pertama dari sembilan bersaudara ini gagal kuliah di ITS Surabaya. Ia juga ditolak waktu melamar kerja di PT Caltex Pacific, Riau. Tapi selama dua tahun ngendon di Surabaya, ia sempat giat mengikuti kursus radio, mesin dan montir mobil. Majalah elektronika pun dilalapnya. Karena Penasaran Balik ke Sitalang (3.500 penduduk), ia sudah penuh gagasan. Tiap hari ia membongkar pesawat radio, yang dirakitnya jadi walkie-talkie dan lampu disko. Ia sering dicemberuti tetangga karena pemancar mininya suka mengganggu suara radio. Oktober 1979, ia beruntung berkenalan dengan ahli listrik bangsa Jerman, Alfred E. Gold. Melihat air mengalir dari sawah yang bertingkat-tingkat, Gold merangsang Zamri membuat pembangkit listrik. Pemuda itu tergugah, lalu mengadakan percobaan. Kincir tua bekas penumbuk padi neneknya berdiameter 2 meter ia benahi. Kincir bisa berputar setelah dialiri air. Zamri menghubungkannya dengan sebuah dinamo bekas. Percobaannya menghasilkan nyala kecil yang tak stabil. Karena penasaran, ia mengganti kincir bekas roda pedati dengan roda besi bekas buller. Dinamo pun diganti dengan yang baru, berdaya 3.000 watt. Nyala listrik jadi terang, 750 watt. Ia masih belum puas. Peralatan pada roda kincir ia sempurnakan. Air terjun bukan ditinggikan, tapi justru diturunkan dari 2 menjadi 1,5 meter. Ia berpendapat, air terjun hanya berfungsi sebagai sumber gerak, bukan sumber tenaga. Seorang sarjana listrik, Ir. Thamrin, lewat Harian Singgalang justru menyarankan air terjun ditinggikan supaya mencapai hasil maksimal. Zamri menolak. "Saya ingin mengembangkan pembangkit tenaga listrik di tempat yang tak ada air terjunnya," begitu alasannya. Dan penyempurnaan tadi akhirnya bisa menghasilkan listrik 1.000 watt. Apa yang dilakukan Zamri bukan hal baru. Tahun 1972, menurut Ir. Januar Muin, Kepala PLN Induk Pembangkit Jaringan Sum-Bar, Riau dan Kabupaten Kerinci, hal serupa pernah ada di Desa Pekan Rabaa, Bukittinggi. Pembangkit listrik ciptaan pemuda Ican dari Desa Koto Alam, Kecamatan Plambayan pun mirip. Dan Udin alias Syahruddin (TEMPO 31 Maret 1979) yang bisu dan tuli pernah melakukan hal sama. Pembangkit listrik dari kincir air buatannya bisa menerangi rumah dan masjid di desanya, Candung Koto Lawas, Kabupaten Agam. Tapi Zamri dianggap pembaharu di desanya. Menteri Perindustrian, A.R. Suhud, ketika berkunjung ke Sum-Bar belum lama ini, mengharapkan agar PT Semen Indarung mengernbangkan generator model Zamri. Jika berhasil, tidak sedikit tenaga listrik yang bisa dibangkitkan di pedesaan. Sedikitnya ada 4.000 kincir air yang tidak berfungsi lagi, karena didesak oleh penggiling padi modern (huller). Bila tiap kincir bertenaga 25 kw, demikian terbayang di gubernuran Sum-Bar, semua itu mungkin bisa mengimbangi PLTA BatangAgam yang berkekuatan 10 Mw. Gubernur Azwar Anas jelas ikut mendukung. Dengan pembangkit listrik mini ini, katanya, "transmisi bertegangan tinggi, yang banyak menyedot uang, mungkin tak perlu dibuat." Ini dianggap penghematan. Keuntungan lain: pembangkit listrik model Zamri ini tidak bising seperti diesel. Hanya, kata Ir. Muin, "listrik itu tak bisa digunakan untuk radio atau tv." Antara lain karena tegangannya tidak merata dan kurang teratur. Model Zamri memang masih perlu lebih disempurnakan. Sementara itu Azwar Anas pekan lalu menganjurkan Zamri memperdalam pengetahuannya di ruang praktek STM I Lubuk Lintah, Padang. Pemuda itu tampak bersemangat. Apalagi kini ia punya modal. Untuk setiap pemakai lampu neon 10 watt listrik di desanya, ia mengutip Rp 75/bulan. Lumayan pula penghasilannya dari cas aki yang tarifnya sekitar Rp 200 saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus