Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kecemerlangan Seorang Ananda

Pergelaran Malam Beethoven nyaris kehilangan roh. Untunglah, terselamatkan oleh kecemerlangan Ananda Sukarlan.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada suatu hari di tahun 1819, tatkala pendengarannya tak lagi berfungsi, Beethoven berikrar, layaknya seorang Faust: "I shall seize my fate by the throat!" Dan alangkah dahsyatnya dampak ucapan tersebut. Jauh dari memasrahkan diri kepada nasib, Beethoven seakan dilahirkan kembali melalui karya-karya mahapenting yang mengukuhkannya sebagai salah satu komponis paling berpengaruh dalam sejarah musik dunia.

Memang, ketulian tidak saja gagal membuat dunia Beethoven sunyi senyap, tetapi juga menumbuhkan dimensi revolusioner yang semakin kental dari karya ke karyanya. Tema "pergulatan", aspek intrinsik dalam setiap komposisi Beethoven pada periode ini, sebenarnya menggambarkan pertarungan internal sang komponis dalam pengembaraannya mencari identitas. Sebagai contoh, Symphony No. 5, dengan tema pembukaannya yang terkenal sejagat raya, adalah sebuah studi definitif mengenai kegelapan dan pertentangan yang berakhir dalam suatu kemenangan yang mutlak.

Semangat terobosan inilah yang melandasi hampir semua karya simfonik Beethoven, yang seharusnya tercermin dalam setiap konser yang mengatasnamakannya. Karena itulah, suguhan Malam Beethoven yang digelar Philharmonic Society di Hotel Gran Melia, beberapa waktu lalu, terasa amat mencekik.

Mencekik karena, di tangan dirigen Yudianto Hinupurwadi, semangat tersebut seakan terpasung dalam letargi dan kedataran emosi. Mencekik karena ketiadaan dimensi drama yang begitu krusial dalam penghayatan musik Beethoven bukanlah merupakan kegagalan akustik ruangan semata.

Mencekik karena prinsip dasar variations on the same theme (variasi dari tema yang sama) bermutasi menjadi perpetual reprise of the same theme (pengulangan tidak berkesudahan dari tema yang sama). Mencekik karena pada era reformasi, kita merasa berhak mendengar interpretasi Symphony No. 5 yang gegap-gempita, tidak tanggung-tanggung dan, kalau perlu, mendobrak segala konvensi.

Tetapi di situlah letak tantangan ganda Beethoven. Pertama, popularitas karya seperti Symphony No. 5 menjadikan tantangan memainkannya jauh lebih berat. Kedua, kompleksitas Beethoven justru terletak pada kesederhanaan motifnya. Simak saja bagian kedua Symphony No. 5 yang menuntut kepiawaian teknik dan kedalaman musikal yang absolut guna menghasilkan interpretasi yang utuh dan berkarakter. Lagi-lagi, di tangan Yudianto, bagian yang begitu indah dan sarat makna itu seakan menguap begitu saja: lemah, plinplan, bahkan sedikit membosankan.

Memang ini semua bukan merupakan hal yang baru. Walaupun teknik permainan instrumen-instrumen orkes—terutama alat tiup—sudah jauh membaik daripada tiga atau empat tahun yang lalu, keberhasilan suatu orkes di Indonesia masih sangat bergantung pada dirigen atau solois yang andal.

Pada babak kedua malam itu, sesuai dengan harapan, Orkes Simfoni terselamatkan dari segala keterbatasannya oleh kecemerlangan seorang Ananda Sukarlan.

Sebagai wadah baru dalam dunia musik klasik Indonesia, debut Philharmonic Society ini memang tidak tanggung-tanggung, setidaknya dalam solois pilihan mereka. Dari seorang murid yang brilian di Yayasan Pendidikan Musik sampai seorang pianis dan komponis yang diperhitungkan di kancah musik internasional, yang senantiasa menonjol pada diri Ananda adalah kecemerlangannya (baca Dari Ananda dengan Penuh Cinta).

Apa yang di tangan pianis berbakat lain merupakan suatu keajekan atau kejernihan teknik semata menjadi sesuatu yang hidup dan berbinar dalam sentuhan musikus yang semenjak 1987 bermukim di Eropa ini. Yang juga memisahkan Ananda dari kebanyakan koleganya adalah kepekaannya yang luar biasa terhadap ritme dan dinamik.

Namun, sumbangan Ananda yang tak terhingga malam itu adalah mengembalikan Malam Beethoven ke esensi Beethoven. Lewat Piano Concerto No. 1 Opus 15, yang merupakan napak tilas Ananda ke tahun 1980-an, saat ia memainkan konserto pertamanya di depan publik, ia memberikan rasa aman kepada pendengarnya. Rasa aman bahwa dalam keanggunan jiwanya dan kematangan musikalnya, ia akan membantu memandu orkes mencapai akhir perjalanan tanpa mengorbankan sentralitasnya sebagai solois. Rasa aman yang berlandaskan pada keutuhan motif dan kejelasan arah dan tujuan hampir semua karya pianistik Beethoven. Rasa aman bahwa sebagai penerjemah utama Beethoven, ialah yang mengontrol, dan bukan dikontrol, musik yang dimainkannya.

Pada akhirnya, Ananda, dengan perjalanan hidupnya yang luar biasa, memang mengingatkan kita kepada Beethoven, yang lebih baik mengukir tempatnya di dunia daripada terbelenggu oleh nasib.

Laksmi Pamuntjak Djohan (Pianis dan pengamat musik)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus