ADA kesan, seolah perubahan-perubahan dalam dunia pendidikan kita tambal sulam sifatnya. Sementara persoalan dasarnya belum terjawab. Ini memberikan peluang untuk bertanya. Misalnya, adakah perubahan kurikulum dengan sendirinya meningkatkan mutu dan relevansi sekolah? Dan dengan demikian menjamin mereka yang lulus terhindar dari pengangguran? Betulkah penataran guru otomatis meningkatkan kualitas mereka? Dari sejumlah wawancara dengan para ahli dan pejabat pendidikan, TEMPO mencoba merumuskan persoalan dasar itu. Masalah Pertama: Ledakan Murid. Baru pada 1973 diperoleh perhitungan yang boleh dipercaya. Yaitu sekitar 7,1 juta anak usia sekolah dasar dari 20,7 juta ternyata belum mengecap bangku pendidikan. Untuk mengatasi peledakan murid sekolah itu, di turunkanlah kebijaksanaan membangun SD Inpres. Tampaknya upaya ini ada hasilnya. Pada 1984 diketahui hanya tinggal 1,2 juta anak usia sekolah dasar yang tak pernah masuk sekolah. Dan ini tentu bukan karena jumlah gedung SD kurang, kata Hasan Walinono, dirjen pendidikan dasar dan menengah. Jumlah SD sudah cukup (sekitar 136.000 SD negeri, Inpres, dan swasta), ditambah ribuan madrasah ibtidaiyah. Karena itu, dicanangkanlah wajib belajar, agar ada dorongan buat anak-anak itu masuk sekolah. Memang kemudian menimbulkan masalah daya tampung di tingkat sekolah menengah. Ini terasa tiap tahun ketika datang masa pendaftaran murid baru. Lulusan SD bersaing mendapatkan SMTP, lulusan SMTP berdesak-desak mencari SMTA. Ini yang kini sedang dicoba diatasi. Misalnya, J.B. Sumarlin, menteri P & K ad interim, mendesak agar pembangunan 900-an gedung sekolah menengah segera diselesaikan. Adapun di tingkat perguruan tinggi, persaingan untuk mendapatkan bangku kuliah pun semakin seru. Diperkirakan oleh Sukadji Ranuwihardjo, dirjen pendidikan tinggi, rata-rata tiap tahun perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) hanya bisa menampung 65% lulusan SMTA. "Tapi di seluruh dunia ini tak ada negara yang jumlah perguruan tingginya bisa menampung seluruh lulusan SMTA," kata Sukadji pula. Bukan berarti tak ada usaha meningkatkan daya tampung. Yang kini diupayakan oleh pihak Ditjen Pendidikan Tinggi yaitu memberi peran lebih kepada PTS. Dalam waktu dekat akan diturunkan pola tunggal pembinaan PTS dan PTN. Salah satu tujuannya untuk memperoleh biaya standar di PTS. Dan, direncanakan menaikkan biaya kuliah di PTN. "Sebab, biaya kuliah di PTN sekarang ini sangat murah," kata Sukadji. Masalah Kedua, Kurikulum dan Lapangan Kerja. Dalam wawancaranya dengan TEMPO beberapa waktu lalu Winarno Surakhmad, bekas rektor IKIP Negeri Jakarta, menanyakan: benarkah seorang anak sekolah terjamin akan memperoleh pekerjaan sesudah lulus. Dengan kalimat lain, ia menanyakan adakah kurikulum sekolah kita sudah sinkron dengan lapangan kerja yang ada. Selain itu adakah kurikulum itu juga memberikan semangat bagi lulusannya untuk membuka lapangan kerja? Jawabnya tampaknya belum. Bahkan pelaksanaan Program B di SMA, yaitu program yang memberikan keterampilan hingga diJamin lulusannya bisa bekerJa, ditangguhkan oleh Menteri P & K J.B. Sumarlin: Sementara itu, Program A yang menerapkan kurikulum inti dan kurikulum pilihan tak dijalankan sepenuhnya. "Itu belum mutlak bila sekolah mau, ya silakan, tidak ya tidak apa-apa," kata Setijadi, rektor Universitas Terbuka yang pernah menjadi kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P & K. Bagi Winarno Surakhmad, dalam sebuah tulisannya di harian Kompas, itu berarti bahwa sektor pendidikan sebenarnya belum siap menjawab tantangan yang dihadapinya. Erat kaitannya dengan kurikulum adalah soal guru yang kurang, baik kualitas maupun jumlahnya. "Pendidikan yang baik antara lain karena gurunya," kata Sumarlin. Dalam kurun dua tahun belakangan ini, menurut Sumarlin pula, sekolah menengah kekurangan banyak guru. Terutama, guru bidang Matematika, Ilmu pengetahuan Alam, dan Bahasa Inggris. Untuk mengatasi inilah menteri P & K ad interim itu memutuskan minta bantuan dari 8 universitas besar - antara lain UI, UGM, ITB, IPB - agar membuka program diploma untuk jurusan Matematika dan Fisika, mulai September nanti. Yang masih belum jelas benar yaitu cara meningkatkan mutu guru dan dosen. Penataran sudah banyak dikritik tak banyak menolong. Bahkan Daoed Joesoef, menteri P & K 1978-1983, pernah mengkritik mutu dosen. "Banyak dosen tak sadar bahwa mereka pertama-tama adalah guru, baru ilmuwan," kata Daoed. Akibatnya, para dosen itu abai terhadap metode mengajar. Yang juga belum jelas yakni hubungan antara kurikulum (pendidikan) dan upaya melahirkan cendekiawan. Baru Daoed Joesoef yang dengan sadar menginginkan kampus menjadi masyarakat ilmiah. Adalah Winarno Surakhmad pula yang menanyakan adakah sistem pendidikan nasional sudah mencerminkan amanat UUD 1945. Amanat itu yakni bahwa pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Masih berkaitan dengan mutu adalah yang hendak dilakukan oleh Sukadji, dirjen pendidikan tinggi, terhadap beberapa PTS. Yakni PTS yang dianggap membuka bidang kuliah yang tidak relevan. "Di Jawa ini ada Akademi Transmigrasi. Apa mahasiswanya mau disuruh jadi transmigran," kata Sukadji. "Atau mereka akan dijadikan tenaga administrasi di lembaga transmigrasi ? Kalau maksudnya yang tersebut kedua, 'kan sudah bisa dipenuhi dari fakultas di perguruan tinggi yang sudah ada." Contoh lain adalah Akademi Hubungan Internasional. "Akademi itu apa mau mencetak duta besar swasta?" tanya Dirjen Pendidikan Tinggi. Dan pembukaan bidang kuliah yang sudah menjamur pun akan dikurangi. Misalnya Sekoiah Tinggi llmu Administrasi yang sudah banyak sekali ada di berbagai kota. Ini semua untuk menjaga mutu dan relevansi." Masalah Ketiga: Sentralisasi ataukah Desentralisasi. Anggapan umum tampaknya berpihak pada sentralisasi. Ketika ujian negara diberlakukan kembali, banyak guru yang diwawancarai TEMPO optimistis mutu pendidikan bakal membaik. Tapi Winarno Surakhmad meragukan. Dengan beragam kondisi yang kadang-kadang begitu jauh perbedaannya antara kota dan desa, keseragaman pendidikan tak kuat berdiri menyatu dengan lingkungannya. TAPI desentralisasi akan membutuhkan tenaga administrator begitu banyak, kata Setijadi. Memang, kata rektor Universitas Terbuka ini, desentralisasi memungkinkan tiap daerah menyusun sendiri sistem pendidikannya sesuai dengan daerahnya. Tapi bila tak ada inovasi dan motivasi yang kuat, Justru berbahaya: pendidikan lantas berjalan mencari gampangnya. Tapi itu semua cuma teori. Pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P & K justru sedang mengamati mungkinkah menerapkan sistem desentralisasi. "Lama-kelamaan memang harus desentralisasi tampaknya," kata Harsja Bachtiar, kepala BP3K itu. Pengamatan ini dilakukan lewat sistem kredit yang dijalankan di beberapa SMA. Masalah Keempat: Pendidikan untuk Orang Dewasa. Dulu ada kursus pernberantasan buta huruf. Pada zaman Syarief Thayeb diubah menjadi kejar (kelompok belajar). Dan di zaman Daoed Joesoef, kejar tak hanya mengajarkan membaca dan bahasa Indonesia, tetapi juga berbagai keterampilan. Hasilnya? Sejauh ini belum pernah dinilai. Tentunya tak mudah menjawab semua masalah ini. Sementara menjauhi persoalan dasar tentu juga tak memecahkan sumber problemnya. Dan ini sebenarnya yang dihadapi menteri-menteri P & K sejak dulu, termasuk Fuad Hassan yang pekan ini mulai berkantor di Departemen P & K di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. BB Laporan Indrayati (Jakarta) & Syahris Chili (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini