Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada suatu masa ketika Sunaryo Soetono meninggalkan hiruk-pikuk dunia politik dan kembali ke hal-hal terdekat: pengalaman sehari-harinya yang gamang terhadap Internet dan colokan flash drive. Pendiri Selasar Sunaryo Art Space di Bandung itu sebenarnya tertarik pada teknologi mutakhir, seperti komputer, multimedia, dan Internet. "Tapi buang-buang waktu kalau saya mempelajarinya sekarang. Butuh bertahun-tahun untuk itu, dan saya sudah tak cukup waktunya," kata seniman yang pada Mei tahun depan memasuki usia 70 tahun itu.
Tapi dia mencatat perkembangan dunia itu dalam beberapa lukisan yang dipajang dalam pameran tunggal "Seamless Points—One Vision, Many Perspectives" di Ciptadana Center, Plaza Asia, Jalan Jenderal Sudirman 59-A, Jakarta. Pameran yang berlangsung dari 23 November hingga 14 Desember itu menampilkan 20 lukisan dan empat patung. Beberapa karya itu dibikin pada tahun ini dan sebagian lain karya lama dengan tahun tertua 2005.
Lewat The Stored World, seniman kelahiran Banyumas, Jawa Tengah, 15 Mei 1943, itu menggambarkan dunia yang teringkus dalam sepotong flash drive. Di tengah lukisan selebar jendela itu, ada sebuah flash drive yang tertanam di dalam bidang hitam besar dengan latar berbagai potongan berita koran. Dalam Handwriting Eventide, mantan Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu menyisipkan dua keping cakram digital. Adapun Surfing in the Jungle menampilkan sebuah tanda panah besar, seperti cursor yang lazim ada layar monitor komputer, yang seakan-akan meluncur di lautan informasi, yang ditandai robekan-robekan berita koran.
Lukisan Sunaryo kerap disebut abstrak, meskipun banyak penanda yang dia gunakan sebenarnya sering sangat konkret. Gaya abstrak itu barangkali lebih mengacu pada komposisi warna, bentuk, dan terutama imbuhan materi tiga dimensi, seperti potongan bambu, yang menjadi ciri khasnya. Tambahan benda seperti flash drive dan bambu itu membuat karyanya seakan-akan menerobos batasan lukisan sebagai media dua dimensi.
Salah satu karya yang banyak menarik perhatian publik di pameran ini adalah The Heart of Down (2009). Lukisan yang didominasi warna hitam dengan sebagian kecil warna putih dan beberapa sapuan warna merah ini memakai lima potong bambu yang melintang di bagian atasnya. Di atas bidang hitam itu juga ada sidik jari Sunaryo—unsur yang belakangan ini sering muncul dalam karyanya—yang diperbesar.
Barangkali ini karena Sunaryo akrab dengan media tiga dimensi. Dia lulus Jurusan Patung ITB pada 1969 dan setahun mendalami seni patung marmer di Italia. Dialah yang membangun sejumlah monumen, seperti Monumen Bandung Lautan Api dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Bandung. Juga Monumen Yogya Kembali di Yogyakarta dan Patung Sudirman di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, yang dibuat dari daur ulang lima ton limbah logam yang didapatkannya dari pemulung.
Tapi Sunaryo bukan seniman yang terikat pada satu media dan tema. Pada 1998, dia mengejutkan dunia seni rupa dengan membungkus semua karyanya dengan kain hitam dalam pameran "Titik Nadir" di Selasar Sunaryo. Itu terjadi tak lama setelah tragedi kekerasan pada Mei 1998. "Saya melihat berita itu di TV. Nyawa seperti tak ada harganya. Saya melihat lukisan saya dan diam. Karya saya kok begitu?" katanya. Karena terganggu oleh karyanya itulah semua karya dia bungkus. Selama tiga tahun, dia juga tak menyentuh peralatan melukis.
Sejak itu, komentar sosial dan politik mewarnai Sunaryo. Ketika Timor Timur lepas dari Indonesia, dia memakainya sebagai inspirasi untuk menggelar pameran "Batu Melangkah Waktu" pada 1999. Semua karyanya berupa pecahan dan potongan batu yang disusun dan disatukan dalam berbagai bentuk. Ketika Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden, dia menggelar pameran "Puisi Titik Putih". "Wah, ini harapan. Lalu saya bikin pameran itu untuk menghibur diri," katanya.
Namun tak ada gugatan terhadap dunia sosial-politik dalam karya-karya terbaru Sunaryo kali ini. Beberapa karya lama yang dipajang juga bukan dari tema itu. Karya ini lebih hening, kontemplatif, dan pribadi. Bahkan beberapa karya menunjukkan langkah Sunaryo yang mendekat ke perkara keimanan.
Thou Circle and Space, misalnya, berangkat dari peristiwa tawaf, saat ribuan anggota jemaah haji mengelilingi Ka'bah di Mekah. Lukisan bertahun 2012 itu berupa puluhan garis dari bubuk marmer putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dengan sebuah persegi hitam kecil di bagian tengahnya. Di bagian bawah ada sebuah bidang hitam yang, "Melambangkan alam kematian, akhirat," kata pemenang Indonesian Art Award pada 1994 itu.
Tema yang mirip muncul pula pada I'm Whirling within You, yang juga dibikin tahun ini. Cuma, lingkaran dari marmer putih itu berbentuk kecil. Kanvas dengan banyak ruang kosong itu justru memusat pada satu goresan panjang dari arang hitam yang melintang ke atas. Bisa jadi ini sebuah lambang dari perjalanan untuk menggapai yang transendental.
Mengapa tema-tema karyanya sekarang seperti itu? Menurut Sunaryo, dulu dia terganggu oleh berbagai peristiwa sosial dan politik, sehingga merasa perlu menanggapinya. "Lama-lama saya imun. Tiap hari ada berita kekerasan, saya tidak kaget lagi, sehingga saya tidak menyinggung itu lagi dalam karya saya dan saya kembali ke diri saya," katanya.
Sunaryo menggambarkan perjalanan hidup dan karyanya dengan istilah "titik". Kata itu kerap menjadi judul pamerannya, seperti "Titik Nadir", "Titik Putih", "Titik Gamang", dan "Titik Bumiku". Karyanya adalah semacam artefak, catatan-catatan kehidupannya, yang berada dalam sebuah sejarah. Itu sebabnya, setiap karyanya punya cerita dan latar belakang tertentu. "Bagi orang Barat, titik itu akhir. Bagi saya, itu hanya penanda, karena kesenian itu sangat bergantung pada ruang dan waktu," katanya.
Inilah titik Sunaryo pada senja hari. Titik yang lebih kontemplatif dan transendental.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo