Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana rasa roti sisir? Sebelum lidah mencecap, mata sudah mengirim pesan ke otak ihwal rasanya. Pasti manis-manis sedikit asin. Rasa roti itu sudah bisa ditebak dari bentuk luarnya.
Lihat saja, roti sisir berbentuk persegi panjang dengan salah satu sisi agak melingkar dan menipis. Biasanya berlapis tiga dengan lapisan mentega di setiap lapisnya. Ada edisi kering, ada juga yang basah.
Demikianlah roti sisir, rasanya tak berubah hingga kini. Roti sisir basah adalah produksi pertama perusahaan roti Matahari, Pasuruan, sejak 1955. Karena itu, sebutan lengkapnya roti sisir basah Matahari. Sudah lebih dari setengah abad, roti sisir ini masih dicari.
"Itu roti favorit," kata Nurakhman, pembeli di toko roti sisir Matahari, Pasuruan. Dari catatan toko, setiap hari sedikitnya terjual 1.000 potong roti. Yang paling laku adalah roti sisir.
Syahdan, pada 1955 itu, Jacobus Laksmana (Kwe Kho Liong) beserta istrinya, Maria Wurilatsih, memproduksi roti sisir basah untuk memulai usahanya. Setelah lima tahun berjalan, perusahaan kemudian memproduksi jenis lain, seperti blencong kering, kasur basah, serta ronde basah dan kering putih.
Samuel Laksmana, 23 tahun, pemilik roti sisir basah sekarang, mempertahankan dan mengembangkan warisan kakeknya itu. "Kami sangat berhati-hati menggunakan bahan baku," katanya. Adapun dari sisi pemasaran, Samuel melebarkan penjualan ke arah barat dan timur Pasuruan.
Roti sisir hanya salah satu jenis penganan klasik di Jawa Timur yang hingga kini masih bertahan. Beragam jenis makanan ini bisa bertahan di tengah serbuan kudapan instan. Di beberapa daerah, cita rasa khas jajanan klasik ini tetap dipertahankan meski tidak menutup modifikasi.
Nah, sekarang kita ke kawasan Peneleh, Surabaya. Dari beberapa sudut, aroma santan dan harum wangi pandan segera menyengat. Itu aroma kue bikang Peneleh, kue berbentuk bundar dan sekilas teksturnya tampak seperti sarang semut. Daerah ini memang terkenal dengan bikangnya. Jajanan tersebut hingga kini masih diminati.
Kalau dilihat secara keseluruhan, kue bikang Peneleh tidak ada bedanya dengan kue bikang pada umumnya. Tapi tentu ada istimewanya. Rasa bikangnya amat gurih dan legit. Ketika disantap, bagian atas kue bikang masih tetap empuk dan lembut meski sudah dalam keadaan dingin. Sedangkan bagian bawahnya yang garing meninggalkan perpaduan rasa gurih dan manis yang semakin terasa.
Cintia, 22 tahun, kini meneruskan usaha bikang itu. Dia cucu Le Giok Swat, yang merintis bisnis bikang ini pada 1970-an. "Dulu awalnya Nenek jualan dengan gerobak," tuturnya. Selain Cintia, anggota keluarga besar lain menjaga dan menjalankan bisnis bikang ini.
Dari Surabaya ke Jember. Ada juga jajanan khas yang masih bertahan. Bentuknya persegi panjang. Ukurannya rata-rata 3 x 1 sentimeter dengan ketebalan 1-2 sentimeter. Ia dibungkus dengan plastik minyak atau plastik tipis layaknya permen. Rasanya manis legit menggigit dengan aroma khas.
Bagi yang memiliki gigi sensitif, penganan ini mesti dikunyah sedikit-sedikit. Beberapa menit setelah penganan ini kita konsumsi, selain rasa manis yang masih melekat di rongga mulut dan gigi, rasa hangat terasa di badan. Itulah suwar-suwir, makanan khas Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Sebenarnya penganan ini hasil improvisasi makanan khas Bondowoso, yakni tapai. Tentu saja bahan baku utamanya adalah singkong atau ubi kayu alias ketela (cassava, manioc, Manihot esculenta). Penganan ini diyakini ada sejak zaman kolonial Belanda. "Sejak saya kecil, Bapak dan tetangga di sini sudah membuat suwar-suwir," ujar P. Ali alias Abdurrohim, 72 tahun, pemilik usaha rumah tangga suwar-suwir merek Rama.Â
Dulu, kata dia, suwar-suwir dibuat dari campuran tapai, gula, dan buah sirsak. Bahan-bahan itu dicampur dan dimasak hingga kental seperti dodol. Campuran buah sirsak membuat teksturnya unik dan cara memakannya harus disobek atau disuwir. "Lama-kelamaan, orang-orang menyebutnya suwar-suwir," katanya.
Seiring dengan perkembangan zaman, suwar-suwir mengalami modifikasi, mulai tekstur, aroma, hingga rasa. "Sementara semula hanya rasa sirsak dan tapai, sejak 1980-an sudah mulai macam-macam," ujar Amsal Holis Asik, perempuan 69 tahun, pemilik usaha penganan khas Jember, Primadona. Selain rasa tapai, kini ada suwar-suwir rasa lain, seperti durian, cokelat, stroberi, mangga, dan nanas.Â
Para produsen suwar-suwir mengatakan selama puluhan tahun usaha mereka dijalankan dengan manajemen seadanya. Baru 1-2 dekade terakhir usaha itu mulai dijalankan serius, bahkan menjadi usaha utama.Â
"Respons pasar mulai meningkat. Hal itulah yang membuat kami harus memperbarui usaha dengan cara baru," kata Rendra Wirawan, 37 tahun, anak kandung sekaligus penerus usaha Amsal. Cara baru yang dia maksud adalah penggunaan alat baru untuk memproduksi suwar-suwir, seperti kompor gas dan alat pengaduk (mixer) bertenaga listrik, serta model pengemasan dan pemasarannya.
Sementara Jember punya suwar-suwir, Mojokerto punya jajanan andalan: onde-onde. Singgah di kota ini belum lengkap rasanya jika tidak menikmati si bulat bertabur wijen. Onde-onde begitu melekat hingga Mojokerto disebut juga sebagai Kota Onde-onde.
Pasangan Bo Liem adalah perintis produksi kue oleh-oleh khas Mojokerto itu. Awalnya di Kelurahan Sentanan, Kecamatan Magersari, Kabupaten Mojokerto, pada 1929. Onde-onde Mojokerto mengalami pasang-surut. Namun penerus Bo Liem bertekad memproduksi terus. "Pokoknya usaha ini harus dipertahankan. Biar Mojokerto ada kebanggaan," ucap Ida Setyawati, 75 tahun, anak keenam dari 12 saudara pasangan Bo Liem-Mak Bo Liem.
Jajanan khas daerah memang lekat dengan tempatnya berasal. Soal ini, tak lengkap rasanya jika tidak menyinggung tahu Kediri. Tahu kuning, Tionghoa, dan Kediri seperti tiga hal yang tak terpisahkan. Selama bertahun-tahun, warga Cina yang menetap di Kediri membuat dan menjual tahu kuning sebagai pekerjaan harian. Meski pada akhirnya banyak orang Jawa mengikuti jejak bisnis tersebut, makanan itu sudah melekat sebagai produk khas Cina.
Lauw Soen Hok-lah yang pertama kali membuat dan memperdagangkan tahu kuning di Kediri pada 1912. Membawa resep dari Tiongkok tentang makanan berbahan dasar kedelai, dia berhasil menciptakan tahu berwarna kuning. Meski masyarakat setempat cukup mengenal tahu sebagai menu sehari-hari, bentuk tahu yang keras dan kuning menjadi hal baru bagi mereka. "Proses pembuatannya berkali-kali sampai tercipta bentuk dan rasa sempurna," kata Lauw Soen Djing, cucu Lauw Soen Hok, yang meneruskan usaha itu.
Karena tak pernah berhenti membuat tahu kuning, Lauw Soen Hok berpikir untuk memperdagangkannya secara profesional. Selain membenahi proses produksi sesuai dengan resep asli Tiongkok, kemasannya dibuat menarik dengan warna khas kuning. Produk itu pun dinamai dengan Bahkacung, merek yang hingga kini bertahan sebagai pelopor tahu kuning di Kediri.
Tahu Bahkacung, juga penganan klasik lain, kini terbukti bertahan melintasi zaman. Menurut konsultan kuliner Hendri Sofyan, kuliner lokal punya kekuatan mendasar, terutama pada rasa dan kemasannya. "Karena rasa akan diingat sampai kapan pun. Adapun kemasan tradisionalnya membuat makanan terlihat terus seksi."
Harun Mahbub, Sony Wignya Wibawa, Hari Tri Wasana, Mahbub Djunaidy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo