Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pohon sepanjang 15 meter itu digantung dengan kawat baja secara horizontal. Pohon yang hampir memenuhi ruang pamer Sangkring Art Space itu mengundang pertanyaan. Apakah pematung Anusapati, 55 tahun, pembuat karya ini, sudah putus asa karena kehilangan kemampuan estetiknya sehingga mengusung bulat-bulat pohon yang hanya dihilangkan ranting dan daunnya itu? Tapi lihatlah lebih dekat. Dosen seni patung Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini memotong pohon durian itu menjadi lima bagian. Dua bagian terbawah dengan diameter 60 sentimeter terbelah menjadi tiga bagian seolah-olah lembaran kayu itu siap dipakai untuk kepentingan apa pun.
Tapi dia tetap mempertahankan tiga bilah kayu itu berada di tempatnya dalam susunan bentuk kayu utuh bersama bagian kulit luarnya yang bertekstur kasar. Keutuhan kayu itu masih bisa dilihat, tapi terlihat juga hasil pengolahan bentuk pada kayu itu yang menunjukkan pohon ini sebagai medium trimatra, atau karya seni patung. Anusapati memberi judul karya itu Suspended Vegetation.
Inilah cara dia mengajak pengunjung pameran melihat lagi asal-muasal materi kayu setelah menjadi berbagai peralatan sehari-hari, dari perabot hingga potlot, lewat pameran bertajuk "Materiality" di Sangkring Art Space, Yogyakarta, 13 November-8 Desember. "Saya ingin memperlihatkan asal-muasal material," katanya.
Niat Ketua Asosiasi Pematung Indonesia ini mengagetkan pemilik galeri, Putu Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai perupa. "Pak Ninus (Anusapati) membawa pohon yang masih utuh ke galeri," ujarnya. Putu, yang juga bekas mahasiswa Anusapati, semula kecewa karena mengira bekas dosennya ini hanya akan memajang pohon yang sudah tak berdaun itu. Maklum, tak sedikit seniman yang berperilaku aneh-aneh. Belakangan, setelah Anusapati dan stafnya menggarap pohon itu, barulah tampak wujud pohon tersebut sebagai karya seni rupa. "Ini mencengangkan."
Cara Anusapati memperlakukan benda temuan ini berbeda dengan seniman kontemporer lain yang biasanya hanya menyajikan benda temuan secara utuh—umumnya karya instalasi. Sedangkan Anusapati mengolah benda temuan menjadi sesuatu yang berbeda dan memberi makna tambahan. Dalam pameran ini, dia menggunakan medium kayu utuh untuk memaparkan asal-muasal kayu, sebagai narasi yang berbau sikap prolingkungan.
Selain memboyong kayu utuh ke dalam ruang galeri, cerita asal-muasal kayu ini juga dia tegaskan lewat seri karya berjudul Specimen, berupa biji-bijian yang dia letakkan di dalam kotak kayu dan sejumlah buku tua. Karya ini mengingatkan pada eksploitasi kayu untuk bubur kertas yang tetap marak hingga kini.
Untuk melengkapi persepsi visual tentang pohon kayu, Anusapati menggantungkan jejeran lima ranting kayu yang berasal dari material kayu dan dari material perunggu. Ranting kayu ini pun dia garap dengan sederhana, berupa ranting pohon yang dipotong sepanjang 1,5 meter menjadi dua bagian dan hanya diberi aksen berupa pasak untuk menyambungkan dua bagian ranting kayu itu. Dia juga membuat gambar pohon dalam karya seri berjudul Shadow, berupa siluet kerimbunan pohon di atas kertas dengan arang (charcoal). Sejumlah gambar pohon yang tergantung di dinding dan patung berupa balok kayu dari bahan perunggu yang bentuknya mirip roti (A Piece of Memory) membuat pameran ini tidak kering. Ada juga foto pohon kering menjulang di antara rimbunan hijau pohon lain untuk menegaskan sikap peduli lingkungan Anusapati, yang hanya menebang pohon yang sudah mati. "Pohon ini mati karena digerus kumbang dari dalam," katanya.
Bahkan, pada karya berjudul Going Back in Time, Anusapati mengusung gelondongan kayu munggur berdiameter 225 sentimeter setinggi 4 meter. Kayu itu dia belah menjadi empat bagian dan diletakkan secara vertikal bak jejeran pohon kayu yang menjulang di hutan tropis. "Saya merasakan sensasi ketegangan ketika berdiri di tengah bilah kayu ini," ujar ayah dua anak ini. Orang pun masih bisa melihat dan merasakan tekstur kulit kayu yang kasar dan menikmati keindahan pola kayu yang terbelah itu.
Masalahnya, untuk karya ini, dia tak menemukan pohon yang sudah mati. Materi kayu untuk karya ini dia beli dari pedagang kayu, yang sulit dikatakan diperoleh dari pohon yang sudah mati. Kayu munggur biasanya dipakai pembuat perabot sebagai alas meja yang tebal dan sangat digandrungi para pencinta perabot kayu.
Di luar asal-usul kayu munggur yang tak jelas itu, Anusapati tetap menunjukkan sikap prolingkungan. Dia memanfaatkan bantalan kayu bekas rel kereta api dari kayu ulin yang dia olah menjadi bentuk silinder dengan ujung runcing mirip bentuk potlot (Shelter of Despair), yang dia letakkan pada posisi yang tampak tak stabil. Pada karya instalasi berjudul Interlude, Anusapati mengingatkan orang pada moda transportasi kereta api yang pernah banyak menggunakan kayu untuk bantalan rel. Karya ini menempel di dinding luar galeri dari bawah melengkung hingga setinggi delapan meter.
Meski acap kali berpretensi bercerita lewat karyanya sebagaimana karya seni rupa kontemporer pada umumnya, sesungguhnya Anusapati lebih suntuk mengolah elemen kebentukan ketimbang mengolah narasi sebagaimana seniman modernis. Karya patungnya lebih banyak bertumpu pada garis tegas, kadang diimbuhi bentuk melengkung dan lurus yang tidak menunjukkan bentuk representasional. Kalaupun bercerita, dia menggunakan bahasa visual yang sederhana dari material (kayu) yang diolah secara sederhana dan bentuk yang sederhana pula. Material kayu dan pengolahan bentuk-bentuk sederhana itu lebih merupakan citraan dunia tradisional daripada berkisah tentang perusakan lingkungan.
Anusapati lebih dikenal sebagai pematung yang menggarap medium kayu, medium yang kini jarang digeluti seniman patung. Dia banyak menggunakan kayu limbah, yang menegaskan komitmennya pada lingkungan. Dia menggarap karyanya dalam bentuk-bentuk sederhana berupa benda yang dipakai penduduk desa, semacam kentongan, lesung, dan serokan, tanpa punya muatan narasi. Elemen kebentukan dia garap dengan pahatan yang menyisakan bentuk yang kasar, yang jauh dari citra kehalusan permukaan kayu.
Penggunaan kayu sebagai materi karya patung tetap menjadi paradoks, apalagi bagi seniman yang punya komitmen terhadap lingkungan. Tak setiap saat seniman beruntung memperoleh kayu limbah atau pohon kayu yang sudah mati. Akibatnya, jika ingin terus berkarya, seniman harus mengkompromikan sikap prolingkungannya. Atau tidak bisa setiap saat membuat karya dari kayu.
Raihul Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo