Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kemelaratan yang Indah

Novel yang menyuguhkan cerita menarik dengan deskripsi filmis. Sayang, logika bertuturnya agak kedodoran.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laskar Pelangi Penulis: Andrea Hirata Seman Tebal: viii + 529 halaman Penerbit: PT Bentang Pustaka, 2005

Sepuluh anak udik Melayu Belitong itu ditunangkan dengan kemelaratan. Mereka se-cara tidak sengaja dipersatu-kan ketika sama-sama memasuki bangku sekolah dasar. Di gedung sekolah yang do-yong, berdinding kayu, beratap bocor, yang kalau malam menjadi kandang hewan, kegiatan belajar-mengajar ada-lah aktivitas menyena-ngkan sekaligus dirindukan. Sekolah men-jadi candu.

Ya, keterbatasan-keter-ba-tasan kerap melahirkan semangat, kreativitas tak terduga. Lintang, salah satu siswa miskin di pesisir, me-ngayuh sepedanya sepanjang 80 kilometer, pulang-pergi.

Lintang bagian dari Laskar Pelangi—nama istimewa pemberian guru mereka, Bu Muslimah Hafsari. Di sekolah itu, semua menyukai pelangi, sketsa alam yang seakan-akan mewakili keberagaman karakter dan polah anak didiknya. Dan di dalam ”pelangi” itu memang ada variasi: si jenius Lin-tang, A Kiong yang penggugup, Sahara yang judes, Kucai yang politikus, raksasa Samson, Mahar si seniman, dan Harun si anak kecil yang terperangkap dalam tubuh dewasa.

Narator diwakili oleh tokoh aku, atau Ikal si pemimpi. Dari kacamatanyalah lem-baran kisah masa kecil anggota Laskar Pelangi terurai, termasuk kisah indah guru-murid.

Novel Laskar Pelangi ada-lah memoar masa kecil pe-nulisnya, Andrea Hirata Seman. Sebagai sebuah cerita fiksi yang berdasarkan kisah nyata, Andrea berhasil menyajikan kenangannya menjadi cerita menarik. Apa-lagi dibalut sejumlah metafora dan deskripsi yang kuat, filmis saat memotret lanskap atau budaya masyarakat Kampung Balitong yang menjadi setting utama cerita.

Gaya penulisan novel ini sangat lancar, ringan, dan menyimpan kejutan imajinatif di setiap tikungan. Lebih dari itu, novel yang diselesaikan oleh Andrea selama tiga minggu ini memiliki kekayaan referensi lewat ka-jian literatur—lebih dari 100 entri nama La-tin, dari tumbuh-tumbuh-an, hewan, ekonomi, hingga budaya, dalam glossary.

Agaknya, Andrea meng-ikuti tren yang dipopulerkan Dewi Lestari dan Ayu Utami belakangan ini: sastra berbasis riset. Andrea, master dari Universitas Sheffield Hallam, Inggris, tak mengakuinya. Tapi keinginan untuk menyelipkan sejumlah istilah Latin pada bebe-rapa bagian menjadi san--dungan. Khususnya menyang--kut ke-lancaran membaca.

Logika cerita yang kendur juga menjadi kelemah-an n-ovel ini. Sekonyong-konyong, Laskar Pelangi di bawah asuhan Mahar membentuk satu grup musik de-ngan instrumen lengkap, ser--ba elektronik. Pertunjuk-an mereka sukses besar. Tapi lompatan dari suasana desa itu membuat bagian ini terpisah dari cerita. Belum la-gi ketika pembaca di-sod-ori gambaran bahwa Harun yang idiot pun mahir me-nabuh drum.

Sekilas, novel ini mengingatkan pada memoar Tetsuko Kuroyanagi—bintang televisi terkenal Jepang—l-ewat bukunya Totto-chan The Litle Girl at the Window (1982). Seperti kisah Andrea, novel ini juga berkisah se-putar sekolah. Tamoe, nama sekolah itu. Tak lain adalah sebuah gerbong tua yang disulap menjadi kelas.

Sang guru, Sosaku Koba-yashi, kerap membawa mu-rid-nya belajar di alam. Dan para murid belajar tanpa urut-an yang lazim. Mereka bisa memilih sendiri. Hasilnya, sejumlah pakar fisika terkemuka, ahli anggrek tersohor—dan tentu saja Tetsuko Kuroyanagi sendiri—lahir dari sekolah alternatif ini.

Andrea kini sudah me-nyiapkan buku sekuel Laskar Pelangi yang akan terbit sebagai trilogi. Buku ke-dua berjudul Endesor—kini nya-ris rampung—bercerita tentang lanjutan persahabatan dengan Laskar Pelangi. Sedangkan buku ketiga tentang patriarki dalam budaya Melayu. ”Bagaimana wanita Melayu melawan budaya patriarki dengan cara unik,” kata Andrea.

Terlepas dari itu, kehadir-an Laskar Pelangi di te-ngah booming novel chick-lit menjadi media alternatif dan ditunggu. Setidaknya terbaca dari penjualan novel ini. Cetakan pertama novel yang di-terbitkan oleh Bentang ini ludes da-lam sebulan.

Cahyo Junaedy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus