Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tak hanya ekonomi negara yang memiliki neraca perdagangan tapi juga bahasa, niscaya perbandingan ekspor dan impor kata kita amat menyedihkan. Tentu, apa itu ”kita” (yaitu Indonesia) perlu dibatasi (yaitu disederhanakan). Katakanlah bahwa Indonesia mencakup bahasa Indonesia, plus Melayu, serta bahasa-bahasa lokal lain di Nusantara ini. Marilah kita membuka kamus bahasa Inggris yang standar dan melihat apa yang telah kita ekspor di sana.
Di depan saya ada kamus Inggris The Penguin. Secara sambil lalu saya menemukan sekitar sebelas kata yang berasal dari—sayangnya mereka sebut sebagai—Melayu, bukan Indonesia. Tapi, anggaplah Melayu itu Indonesia juga. Kecuali bagi kata-kata yang tak digunakan di wilayah, hmm…, NKRI tercinta ini, semisal ”jiran” (tetangga) atau ”ibu pejabat” (markas besar). Jika ”ibu pejabat” berarti kantor pusat, kita bisa pasti itu orang Malaysia punya bahasa!
Sebuah masukan yang membahagiakan saya. Kata junk, bukan yang berarti sampah dan bukan pula pembentuk junky yang buruk makna itu, melainkan junk yang berarti perahu bercadik, diambil dari bahasa Portugis junco. Portugis mengambilnya dari Jawa kuno jong atau jung. Kita bisa berkeras bahwa itu sumbangan Indonesia kepada bahasa Eropa, sebab tak ada Jawa yang bukan Indonesia kecuali di Suriname. Sayangnya, kata jong sendiri, meski ada di buku sejarah sekolah dasar, tidak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Saya bahagia karena kata junk merujuk pada hasil budaya. Perahu adalah hasil sejenis peradaban. Dari, katakanlah, sebelas kata yang saya bayangkan sambil lalu, sepuluhnya adalah kata benda. Selain gong, kris, batik, sisanya adalah kata benda yang merujuk bukan pada produk kerja dan pemikiran, melainkan pada benda-benda alam: bamboo, paddyfield, agar-agar, orangutan, anoa (kita mungkin sudah lupa binatang apa ini). Inilah kata benda konkret yang merujuk pada hal-hal eksotis yang berhubungan dengan alam dan budaya. Beberapa di antaranya, seperti jong dan anoa atau babirusa, nyaris punah dari kamus maupun dari alam kita. Kita membiarkan mereka punah.
Jika kita berasumsi bahwa kata benda konkret kurang merujuk pada sesuatu yang abstrak dan konseptual dibandingkan dengan kata benda abstrak maupun kategori kata kerja, sifat, ataupun keterangan, maka Indonesia punya setidaknya satu sumbangan, yaitu kata kerja ”amuk”. Seperti junk, amok atau amuck diterima Inggris lewat Portugis, yang menyebutnya sebagai ”amuco”—barangkali sebuah keistimewaan bangsa Melayu yang, seperti gunung api, tenang dan damai dalam waktu panjang namun suka mengamuk secara berkala.
Tapi saya sedih karena satu-satunya sumbangan dalam kategori kata yang seharusnya bisa lebih konseptual justru tidak konseptual sama sekali. Bahkan bisa dianggap menunjukkan bahwa masyarakat Melayu (nah, kali ini saya menggunakan Melayu, bukan Indonesia, untuk membagi sifat) kurang mampu menyelesaikan pertentangan dengan negosiasi.
Neraca bahasa kita menunjukkan tak hanya defisit, tetapi juga memperlihatkan bahwa ekspor kata kita masih bergantung pada bahan baku mentah. Untunglah ada sektor pariwisata yang membawa keluar cendera mata. Tapi ke mana, misalnya, sektor obat tradisional kita yang konon hebat itu?
Saya berada di sebuah kota Eropa dan melihat bus umum lewat dengan iklan obat di dindingnya: ANGINA. Nah! Ini pasti obat masuk angin. Sebab, gambarnya orang mengurut dada seperti terkena angin duduk. Dan ”masuk angin” adalah konsep yang teramat Indonesia. Akhirnya kita mengekspor juga konsep ”masuk angin”.
Sayangnya, dalam bahasa mereka telah masuk kata Latin ”angina” yang jadi berarti sakit tenggorokan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo