Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Hatun

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hatun ditembak mati dekat sebuah halte bus. Umurnya baru 23. Di udara dingin Senin pertama Februari 2005, perempuan itu roboh dengan beberapa lubang luka di kepala dan dekat dadanya. Sebuah pistol yang dipicu dari jarak dekat telah menghabisi nyawanya.

Polisi Berlin kemudian menangkap tiga laki-laki keturunan Kurdi-Turki. Mereka didakwa sebagai komplotan yang membunuh. Mereka tiga bersaudara yang juga masih muda: masing-masing berumur 25, 24, dan 18 tahun. Yang bungsu bernama Ayhan Surucu. Dia yang menembak.

Dia adik kandung Hatun sendiri.

Saya tak tahu bagaimana perasaan ketiga pemuda itu ketika mereka bantai saudara perempuan mereka satu-satunya itu. Sedih? Bersyukur? Di dinding sel penjara mereka, tampak sederet potret. Potret Hatun.

Hatun Surucu dibesarkan di Berlin dalam keluarga yang memandang dengan cemas kebebasan seorang anak perempuan. Ketika si gadis selesai kelas ke-8, orang tuanya mencabutnya dari sekolah. Ia dibawa ke Turki. Ia harus nikah dengan seorang sepupu.

Perkawinan paksa itu tak bertahan lama. Hatun berpisah dari suaminya yang mungkin juga dipaksa jadi pengantin. Dalam keadaan berbadan dua, ia kembali ke Berlin. Pada umur 17 ia melahirkan seorang bayi lelaki yang diberinya nama Can. Ia tinggal di rumah penampungan buat perempuan dan meneruskan sekolahnya yang terputus. Pada tahun 2004, ia menyelesaikan pendidikan kejuruan yang diambilnya dengan tekun. Ia ingin jadi tukang listrik.

Ia memang berubah. Ia menata-rias wajah, melepas-gerai rambut, memakai gelang, kalung, dan cincin. Ia mulai gemar pergi ke tempat dansa. Ia mulai menikmati hidup. Ia seperti Sibil dalam film Fatih Akin, Gegen die Wand, gadis Turki dari Hamburg yang melarikan diri dari keluarga untuk merasakan kebebasan—tapi tidak. Kata ”seperti” di sini hanya akan memasukkan nasibnya ke sebuah deret. Hatun adalah Hatun. Beberapa hari menjelang ia menerima ijazah, ia dibunuh.

Apa gerangan salahnya? Di sebuah surat kabar berbahasa Turki yang terbit di Berlin, Zaman, salah seorang Surucu bersaudara itu mengatakan bahwa Hatun tak lagi mengenakan jilbab, tak mau kembali kepada keluarganya, dan telah menyatakan niatnya untuk ”mencari lingkungan teman-temannya sendiri”.

Peter Schneider, seorang novelis Jerman yang menuliskan kisah kematian Hatun dalam The International Herald Tribune 3-4 Desember pekan lalu, mengaitkan kebrutalan itu dengan apa yang disaksikannya di Berlin, kota yang pernah dipuji Presiden Kennedy sebagai negeri milik tiap orang yang merdeka. Syahdan, kata Schneider, 17 tahun setelah tembok yang dibangun pemerintah komunis runtuh, sebuah tembok lain yang tak kasat mata membelah kota itu lagi.

Di daerah Kreuzberg, Neuköln, dan Wedding, sekitar 300 ribu imigran muslim dari pelbagai negeri tinggal; sebagian besar orang Kurdi dan Turki. Mereka dulu tak begitu sibuk dengan agama, tapi sejak lima tahun ini berubah. Pengajaran agama di sekolah mulai dilaksanakan, berkat inisiatif Federasi Muslim Berlin. Guru-gurunya direkrut Federasi, dengan gaji dari kota praja yang kafir. Diam-diam pelajaran diberikan dalam bahasa Turki atau Arab, bukan bahasa Jerman sebagaimana aturan negara. Makin banyak anak gadis berjilbab, dan makin banyak pula tuntutan orang tua agar murid perempuan dibebaskan dari pelajaran olahraga, khususnya berenang. Perempuan berpurdah panjang dengan wajah bercadar makin sering tampak: dinding itu tegak sampai ke tubuh mereka.

Nilai-nilai dari negeri asal makin kuat, tampaknya. Bagi sebagian mereka, membunuh demi kehormatan keluarga adalah sah. Dalam sembilan tahun terakhir telah terjadi 49 tindak pidana atas nama ”kehormatan”, 16 kasus ditemukan di Berlin, dan umumnya dengan perempuan sebagai sasaran. Tak mengherankan bila tiga murid di distrik Tempelhof, tempat Hatun ditembak mati, menegaskan: pembunuhan itu tak salah.

Tembok baru di Berlin itu dibangun dengan semen ”identitas”. Seorang perempuan penulis Turki yang merasakan sesak oleh desakan nilai-nilai itu berkata tentang orang-orang Turki yang sejak 1950-an datang ke Jerman sebagai Gastarbeiter: ”Para pekerja tamu itu pun menjelma jadi orang Turki, dan orang Turki itu menjelma jadi muslim”.

Muslim? Islam? Kita, di Indonesia, di sebuah negeri tempat sebagian besar orang muslim hidup, belum pernah mendengar kejadian seperti itu: seorang perempuan dibunuh saudara kandung sendiri karena tak tampak ”Islami”. Saya tentu saja tak tahu akankah besok seorang Hatun digolok di halte bus di Utan Kayu, melihat meningkatnya fanatisme belakangan ini. Tapi kita semua tahu ”Islam” bisa jadi bendera yang berkibar di lingkungan yang berbeda-beda—dengan amarah lain, dengan hasrat persaudaraan, rasa cemas dan rindu keadilan yang lain pula. Bendera itu putih, tapi putih yang terjadi dari warna-warni.

Islam? Turki? Jati diri? ”Aku bangga akan bagian dari diriku yang bukan Eropa,” ujar seseorang dalam novel Salju Orhan Pamuk, di sebuah adegan pertemuan di Kota Kars. ”Aku bangga akan hal-hal yang dianggap orang Eropa kekanak-kanakan, kejam, dan primitif.”

Tiap bendera, apa pun warnanya, harus berbeda dari bendera lain. Tiap bendera jadi penting ketika ia berkibar disunggi tinggi-tinggi.

Tapi di bawah itu, di dekat halte bus di Tempelhof, tergeletak Hatun. Dengan kepala yang berlubang-lubang hangus. Dengan liang luka di dadanya yang pernah menyusui Can, kini yatim-piatu. Dengan impian yang dipenggal. Dengan kesendiran yang tak tertebak….

Kesendirian seperti ketika ia lahir menjerit dari rahim ibunya dan ayahnya membisikkan azan ke kupingnya yang masih rawan, ”Allahu Akbar”, karena ia, Hatun, adalah sebuah keajaiban, sebagaimana tiap bayi, tiap wajah, adalah sebuah keajaiban, karena ia sebuah tanda, bahwa kita hanyalah perantara, bahwa kita hanyalah perawat sebuah hidup yang tak sepenuhnya kita kuasai.

Islam? Turki? Adat? Kehormatan? Di trotoar itu: Hatun.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus