Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari depan, bangunan di Jalan Kiai Ageng Gribig, Malang, Jawa Timur, itu tampak utuh. Namun, dari samping, bangunan itu melompong dan berantakan. Genting, batu bata, dan kayu teronggok di balik pagar seng. Tak ada tanda-tanda kapan bangunan yang rencananya akan digunakan sebagai Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) itu akan dilanjutkan. ”Kami sulit membangunnya,” kata Priyono, pendeta di gereja yang menggunakan bahasa Jawa dalam ritualnya itu.
Sebelum dibongkar, Februari lalu, bangunan yang didirikan pada 1967 itu adalah rumah tinggal. Beberapa waktu lalu, bangunan itu dibongkar untuk dijadikan gereja. Sejak itulah muncul masalah. Warga sekitar keberatan karena pendirian gereja itu dianggap tidak seizin mereka. Belakangan, Pemerintah Kota Malang juga minta pembangunan gereja itu disetop karena tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). ”Kami sudah mengurus IMB, tapi tidak keluar, sebab syaratnya harus ada izin dari warga,” kata Priyono.
Kesulitan mendirikan gereja di Malang itu salah satu contoh betapa rumitnya mendirikan rumah ibadah Nasrani di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Untuk memperoleh IMB, misalnya, panitia pembangunan gereja harus mendapat izin tertulis dari warga dalam radius 200 meter. Kerumitan ini agaknya gara-gara kaburnya peraturan pendirian rumah ibadah yang berpedoman pada Surat Keputusan Bersama (SKB) l969 yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dan Menteri Agama Muhammad Dahlan.
Repotnya, SKB itu bisa multitafsir dan tak jarang pelaksanaannya menimbulkan konflik. Dalam Pasal 4, misalnya, disebutkan pendirian rumah ibadah harus mendapat izin kepala daerah atau pejabat di bawahnya. Selain itu, harus mempertimbangkan planologi wilayah dan, jika dianggap perlu, kepala daerah bisa minta pendapat organisasi keagamaan dan ulama setempat.
Siapa yang dimaksud pejabat di bawahnya, apa pula yang dimaksud planologi, tak jelas. Sedangkan syarat lain, seperti keharusan minta pendapat organisasi keagamaan dan ulama setempat, yang semestinya tidak mutlak, dalam praktek kerap diartikan sebagai keharusan.
Karena itu, pemerintah merasa perlu merevisi SKB tersebut, yang sejak bulan lalu rancangannya sudah disosialisasi ke masyarakat. ”Ini untuk merespons keinginan masyarakat, sebab aturan dalam SKB dianggap belum cukup,” kata Dr. Atho Mudzhar, Kepala Badan Penelitian, Pendidikan, dan Pelatihan Keagamaan Departemen Agama. Revisi itu sudah tiga kali dibahas bersama 10 wakil organisasi keagamaan yang meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Lebih terperinci dari SKB semula yang hanya enam pasal, rancangan revisi ini memuat sembilan bab dan 30 pasal.
Seperti bisa diduga, pembahasan itu cukup alot. Hingga Kamis pekan lalu, misalnya, baru Bab III (tentang pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB) yang disepakati. FKUB ini—dibentuk untuk memelihara kerukunan beragama—kelak bertugas memberikan rekomendasi penerbitan izin pendirian rumah ibadah yang dikeluarkan kepala daerah.
Perdebatan terjadi dalam pembahasan tentang jumlah dan komposisi anggota FKUB. Dalam rancangan disebutkan, jumlah anggota FKUB ditentukan secara proporsional menurut perbandingan jumlah pemeluk agama. Ketentuan ini ditolak oleh wakil umat Kristen karena dianggap mempersulit pendirian gereja. Akhirnya, jumlah anggota FKUB disepakati 17 orang, terdiri dari para wakil organisasi keagamaan dan tokoh agama, dengan tetap merujuk pada syarat proporsional. Syarat ini tidak mutlak, karena tetap memberikan satu keanggotaan kepada minoritas, meskipun di wilayah bersangkutan hanya ada seorang pemeluknya. Disepakati pula FKUB hanya dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Karena di kecamatan dan desa tak ada FKUB, bagaimana tata cara pendirian rumah ibadah di sana? ”Ya harus mendapat rekomendasi FKUB dan kantor Departemen Agama di kabupaten,” jawab KH Ma`ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, yang ikut dalam pembahasan itu.
Perdebatan alot juga menyangkut syarat pendirian rumah ibadah. Dalam Bab IV disebutkan, pendirian rumah ibadah harus mendapat Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadah (IPPRI) dan Izin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadah (IMBRI) dari bupati atau wali kota. Tapi, untuk mendapatkan IPPRI cukup rumit, karena harus ada rekomendasi FKUB, kepala kantor Departemen Agama, dilengkapi daftar umat pengguna rumah ibadah tersebut. Sebuah rumah ibadah minimal harus digunakan oleh 50 kepala keluarga. ”Tapi, soal itu belum dibahas,” kata Ma’ruf Amin.
Menyikapi rancangan tersebut, ada pemeluk agama minoritas yang khawatir FKUB bakal menyulitkan pendirian rumah ibadah. ”Jangan-jangan, kami nanti malah sulit mendirikan rumah ibadah,” kata E.M. Pattinassarani, Ketua Umum Badan Musyawarah Antar-Gereja Jawa Timur. Hal yang sama juga dikhawatirkan oleh Dawam Rahardjo. Menurut dia, pasal tentang FKUB bisa mempersulit umat minoritas yang hendak mendirikan rumah ibadah.
Presiden The International Institute of Islamic Thought Indonesia itu khawatir FKUB akan menimbulkan politisasi agama dan orang akan berlomba-lomba menguasainya. ”Kalau ini terjadi justru akan mengundang konflik. Persyaratan pendirian rumah ibadah yang harus didukung 50 kepala keluarga juga sulit dipenuhi oleh umat Kristen, karena tempat tinggal mereka berpencar. Seharusnya peraturan dibuat untuk mempermudah, bukan malah mempersulit. Sekarang ini yang dibutuhkan bukan merevisi SKB, tapi menyusun Undang-Undang Kebebasan Beragama,” tuturnya.
Tentang syarat adanya daftar pemeluk agama di sekitar rumah ibadah yang akan dibangun, agaknya mengadopsi peraturan yang dibuat beberapa gubernur. Di Bengkulu, misalnya, salah satu syarat pendirian rumah ibadah ialah daftar umat bersangkutan minimal 40 orang. Sementara di Bali, pendirian rumah ibadah harus seizin gubernur, sementara untuk mendapat izin gubernur diperlukan 12 persyaratan, di antaranya persetujuan lingkungan, desa, dan daftar pengguna tempat ibadah, minimal 100 kepala keluarga.
Tak ayal, persyaratan itu membingungkan warga muslim di sana. ”Lingkungan mana yang dimaksud? Banjar atau perumahan?” tanya Ahmad Hasan Ali, Ketua MUI Bali. ”Sebaiknya pemerintah membuat peraturan yang baku dan proporsional. Jangan sampai jumlah umat di sekitar rumah ibadah hanya lima orang, tapi membuat rumah ibadah cukup besar,” katanya.
Namun, ada pemeluk agama yang minta perhatian terhadap rumah ibadah yang dibangun di tempat khusus, meski di sekitarnya tak ada pemeluk agama bersangkutan. Umat Hindu, misalnya, memerlukan sebuah pura di puncak gunung atau di tepi laut—tanpa penganut Hindu di sekitarnya. ”Saya berharap hal seperti ini bisa diakomodasi,” kata I Nengah Dana, salah seorang wakil umat Hindu yang ikut dalam pembahasan revisi SKB.
Mengatur umat mendekatkan diri kepada Tuhan ternyata tak mudah. Itu sebabnya, kata Atho Mudzhar, rancangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari ketegangan antarumat, sebab selama ini tak ada aturan yang disepakati bersama. Meski alot, dia yakin pembahasan bisa mencapai kesepakatan. Katanya bak filosofi Jawa, ”Pelan-pelan nggak apa-apa, asal dirumuskan dan disepakati bersama.”
Zed Abidien, Bibin Bintariadi, Sunudyantoro (Surabaya), Rilla Nugraheni (Denpasar), Irmawati (Makasar).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo