Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kenangan Senyap Dua Perupa

Andy Dewantoro dan Davy Linggar sama-sama mengolah foto menjadi lukisan. Kritik terhadap kemunafikan dan upaya membekukan kenangan yang menggelisahkan.

17 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH video seni sepanjang 6 menit 21 detik itu berputar berulang-ulang tanpa putus di salah satu dinding Galeri Vivi Yip Art Room di Jalan Warung Buncit Raya Nomor 98, Jakarta Selatan. Video bertajuk Silentscream itu menggambarkan kesunyian di sudut-sudut bangunan.

Ruang-ruang kosong tanpa manusia. Pintu, jendela, pilar, dan lorong-lorong seperti di rumah-rumah tua yang sudah ditinggalkan. Bilah-bilah cahaya menerobos ke dalam, tapi hanya menjadi jejak yang mempertegas kekosongan ruang. Rangkaian potret kesunyian itu diakhiri ketika kamera memusat pada sebuah pintu terbuka yang terang—satu-satunya benda bercahaya di sana—yang makin jauh, mengecil, dan akhirnya hanya serupa lubang tikus di sudut kamar dengan sebuah bohlam lampu menyala di langit-langit.

Video karya Andy Dewantoro bersama kelompok Monoproject itu termasuk finalis Indonesia Art Award 2010, salah satu lomba seni rupa terbesar Indonesia, yang juga akan dipamerkan bersama para finalis lain di Galeri Nasional Indonesia, pertengahan Juni mendatang. Tapi, kali ini, video itu menjadi pembangun suasana dalam pameran seni rupa Cold Memories di Vivi Yip Art Room.

Pameran yang berlangsung hingga akhir Mei itu memamerkan tujuh lukisan karya Davy Linggar serta tiga lukisan dan satu seri lukisan karya Andy Dewantoro. Keduanya adalah fotografer dan pelukis yang sama-sama berangkat dari foto atau gambar untuk menghasilkan lukisan. Proses kreatif ini mirip genre fotorealisme yang muncul di Amerika Serikat pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Bedanya, fotorealisme menggunakan foto untuk menciptakan lukisan yang sangat realistis seperti sebuah foto, sedangkan kedua perupa muda Indonesia ini memanfaatkan foto hanya sebagai bahan awal yang kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan lukisan yang lebih personal. ”Mereka menciptakan genre sendiri, yang bisa disebut fotorealisme dengan sikap yang konseptual. Bisa dibilang lebih liar dari fotorealisme,” kata Rifky Effendy, kurator pameran.

Menurut Andy, proses penciptaannya berangkat dari ”riset artistik” dengan memotret sendiri atau mencari foto atau gambar karya orang lain di berbagai sumber sesuai dengan keperluannya. Alumnus Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung yang pernah bekerja di dunia arsitektur ini tertarik pada arsitektur bangunan dan jalan layang, yang kemudian sering muncul sebagai obyek-obyek dalam lukisannya. ”Foto-foto orang lain itu sebenarnya hanya sebagai pembenaran secara struktural. Misalkan, kalau saya menggambar jalan dengan mengarang saja, otomatis secara struktur salah. Jadi saya membutuhkan foto yang diambil di lokasinya,” kata pemuda kelahiran Tanjung Karang pada 1973 ini.

Foto atau gambar itu lalu difotokopi dan diperbesar, kemudian diubah sesuai dengan keinginan Andy. Dia, misalkan, akan menambahkan pohon di tempat yang dirasanya perlu diletakkan pohon. Dia juga menyapukan kuas dengan warna pilihannya sendiri. Walhasil, ”Sebenarnya sudah 70 persen berubah karena saya cuma mengambil item jalan layang atau gedungnya,” katanya.

Hasilnya adalah lukisan-lukisan dalam citra hitam-putih yang didominasi warna hitam. Lukisannya menyajikan obyek gedung, jalan, dan pohon-pohon dengan sapuan akrilik di atas kanvas dalam beberapa lapis. Lukisan Infinite Sadness #3 berupa 18 seri lukisan kecil dengan ekspresi samar (blur). Adapun tiga lukisan lain dalam kanvas besar seluas 145 x 200 sentimeter. Pada lukisan besar ini terlihat lelehan cat hitam dan putih yang mengesankan sebuah pemandangan dari balik jendela yang tersiram hujan. Kedua teknik ini sama-sama menghasilkan kesamaran, yang memperkuat kesan senyap dan dingin.

Andy berkutat lama dengan kesunyian, setidaknya sejak 1989, ketika ibunya meninggal dan dia harus tinggal jauh dari orang tua di tanah rantau. Sejak 2006 dia mulai mengangkat tema kesepian dalam lukisan-lukisannya, yang konsisten dipertahankan hingga kini. Dalam pameran Silent World di Galeri ARK, Jakarta Selatan, pada Desember 2008, misalnya, dia mengangkat tema serupa dalam 13 lukisan besar dan satu seri lukisan yang terdiri atas 24 lukisan kecil. Lukisan-lukisan dalam pameran yang dikurasi Jim Supangkat itu juga menggambarkan gedung, rumah, dan jalan dalam suasana sunyi.

”Ini soal memori yang dingin. Memori yang sudah dipetieskan, yang tak usah dibuka lagi. Saya sedih saja bila hal itu dibuka,” kata Andy, yang enggan mengurai lebih jauh sumber kesepian itu.

Davy Linggar sebenarnya juga berkutat dengan memorinya, kenangan atas kasus kontroversialnya kala membuat karya instalasi Pinkswing Park bersama Agus Suwage untuk CP Biennale II pada 2005. Karya yang menampilkan pose-pose setengah polos bintang sinetron Anjasmara dan model Isabel Yahya itu dipamerkan di Museum Bank Indonesia, tapi Front Pembela Islam menganggapnya sebagai pornografi dan harus dicopot. Menurut Davy, panitia tidak mencopot karyanya, hanya menutup pintu ruang pamer karya itu, sehingga yang terlihat kemudian cuma instalasi Shelf Life karya seniman Amerika, Ann Wizer, yang menyajikan gambar kepala rusa.

Kenangan itulah yang menyeruak dalam pameran kali ini. Lukisan Haram tapi Enak menggambarkan dinosaurus yang menyetubuhi seekor babi dan Killer Pig menggambarkan sebuah tangan teracung seperti pistol dengan ujung telunjuk berkepala babi yang menodong dahi seseorang bertopeng. Adapun Victim menggambarkan seekor rusa yang disapu cat akrilik yang meleleh di tanduknya.

Lukisan Davy juga berangkat dari foto, yang dua di antaranya dengan kamera polaroid. Foto itu kemudian dicetak dalam format besar, lalu disapu dengan cat akrilik di atas kanvas. Menurut Rifky, Davy lebih bermain-main dalam berkarya dan lebih banyak perhatian pada obyek. ”Itu terlihat dari adanya pengulangan-pengulangan dari karya lukisannya dulu, seperti babi. Ia memang senang sekali dengan babi, karena punya makna simbolik baginya,” kata Rifky.

Bagi Davy, lukisan-lukisannya merupakan sebuah kritik terhadap kemunafikan manusia dan mengingatkan soal jatuhnya korban yang sebenarnya tak bersalah. ”Saya ingin menyelesaikan secara personal kasus ini sampai di sini, meski tampaknya belum selesai juga,” kata Davy, yang pernah belajar melukis di Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung dan fotografi di Universitaet Gesamthochschule Essen, Jerman.

Davy dan Andy sama-sama mengolah kenangan mereka dari obyek fotografi, kenangan saat memotretnya, dan kenangan saat mengguratkan cat akriliknya. ”Mereka mengangkat memori mereka yang paling dalam dari fotografi itu. Dan, bukankah fotografi memang untuk menyimpan memori?” kata Rifky. Tapi memori personal itu kini mereka bagi ke publik, sebagai kritik dan estetik.

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus