Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A Single Man
Sutradara: Tom Ford
Skenario: Tom Ford dan David Scearce
Berdasarkan novel karya Christopher Isherwood
Pemain: Colin Firth, Matthew Goode, Nicholas Hoult
SATU hari saja. Satu hari di tahun 1962 ketika Amerika dan Kuba bersitegang; ketika kehidupan selalu kelihatan rapi dan tertata dalam struktur, dan percintaan kaum sejenis adalah sesuatu yang tak mungkin dibicarakan. Satu hari saja, George Falconer ingin menunaikan hidupnya yang sia-sia tanpa kekasihnya yang sudah tiada. Mungkinkah satu hari yang sudah penuh jadwal padat itu dia akhiri dengan kematian yang sudah direncanakan? Mungkinkah?
Inilah satu hari dalam kehidupan Profesor George Carlyle Falconer, dosen Inggris di sebuah universitas di Los Angeles. Adegan dibuka dengan warna putih salju yang menyelimuti seluruh layar, dan kemudian kita melihat sebuah mobil terjungkal, selajur darah merah, dan seorang lelaki muda tampan yang celentang. Tewas. George melangkah, mencium bibir kekasihnya. Dan dia terbangun dari mimpinya. ”Aku tak pernah ingin bangun,” katanya dengan suara yang datar, penuh luka.
Kita kemudian diperkenalkan dengan sebuah dunia dalam diri George Falconer, lelaki Inggris yang hidup di Los Angeles sendirian, setelah kematian kekasihnya, Jim. Di rumah yang rapi, artistik—nyaris tanpa debu—dan terlalu rapi itu, George segera berbenah diri untuk sebuah hari terakhir. Jas, kemeja putih, celana, kaus kaki, pembagian uang untuk urusan rumah, kunci-kunci, semua ditata dengan rapi. Dia membeli peluru untuk senjata; dia ke luar rumah, dan tiba-tiba saja memperhatikan lirikan mata, hidung, gerak bibir orang-orang yang berbicara dengannya. Dada dan punggung pria setengah telanjang yang tengah berbalas tangkis di lapangan tenis menjadi sebuah keindahan semesta. Anak tetangga terlihat seperti pelangi di langit. Inilah hari terakhir baginya.
Tapi, di antara kegiatan kesehariannya, kita terlontar pada masa lalu George di masa-masa bahagia dengan Jim. Adegan-adegan romantik pasangan yang penuh cinta. Sutradara Tom Ford (yang lebih dikenal sebagai bintang dalam rumah mode Yves Saint-Laurent dan Gucci) terlihat sangat menahan diri untuk masuk ke erotisme penuh nafsu dan brutal. Hasrat pasangan ini justru terlihat pada keintiman yang manis saat mereka membaca bersama, mendengarkan musik, atau berjemur di sebuah bukit batu.
Tom Ford seperti seorang sutradara yang sudah menjadi bagian dari sinema seumur hidupnya. Hidupnya dalam dunia mode—yang bergaul dalam garis dan warna—terlihat memberikan kontribusi terbesar dalam caranya bertutur. Tentu saja dengan tim penata artistik yang biasa mengerjakan artistik serial Mad Men, suasana tahun 1962 terasa seperti sebuah dunia imajinasi yang menggiurkan. Lelaki tampan; perempuan jelita dengan kehidupan yang dari permukaan tanpa problem karena licinnya kemeja itu disetrika dan rapinya sasak para ibu rumah tangga. Tidak ada yang pernah tahu di balik wajah tenang dan santun George yang melalui hari itu dengan tenang—bahkan ia sempat makan malam dengan sahabatnya, Charlotte (Julianne Moore)—ada jiwa yang bergejolak, yang siap meledak. Hanya satu lelaki muda ganteng, Kenny Potter (Nicholas Hoult, Saudara-saudara yang pernah menyaksikan dia versi kanak-kanak dalam About a Boy), mahasiswanya, yang memberikan perhatian penuh kepada Pak Dosen. Hanya Kenny yang paham ada sesuatu yang berbeda hari itu pada George.
Adegan-adegan intim antara Pak Dosen George dan pemuda cakep Kenny terus-menerus membuat kita berdebar karena arah percakapan dan bahasa tubuh mereka sudah mengarah ke hubungan seksualitas. Tapi, sekali lagi, Tom Ford memilih ekspresi yang subtil: mata yang bening, berenang bersama, dan pembicaraan tentang rasa kesendirian yang sia-sia.
Di dalam segala imaji kelabu dan upaya menjemput kematian, sebetulnya Tom Ford berhasil menampilkan humor—meski humor yang gelap. George, yang luar biasa rapi dan bersih, bolak-balik mencoba mencari posisi yang terbaik untuk menembak dirinya. Dari atas, dari kepala, di kamar mandi, di dalam sleeping bag, semuanya serba tak enak, karena dia khawatir darahnya berceceran mengotori seprai rumahnya.
Kejutan datang pada akhir film. Ketika akhirnya George membatalkan niat bunuh diri, dan merasa memiliki harapan kembali, tiba-tiba saja ”and it came just like that”. Kematian itu datang begitu saja. Tanpa diundang. Tanpa diduga. Seperti Tom Ford, yang tiba-tiba menyelinap begitu saja dalam kosakata hidup kita.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo