Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYAI Ontosoroh kita kenal sebagai ibu berkarakter keras. Tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia ini adalah seorang pribumi yang memiliki harga diri tinggi. Ia memutuskan hubungan sanak dengan orang tuanya, lantaran mereka tega menjual dirinya selagi kecil. Ia memandang hina suaminya karena tak mau mengawininya secara sah.
Ia fasih berbicara Belanda. Ia ulet memimpin perusahaan. Ia berani habis-habisan melawan pengadilan. Ia tergolong progresif. Bahkan untuk ukuran perempuan masa kini.
Pada 2007, penulis Faiza Mardzoeki mengangkat sosok ibu di awal abad ke-20 itu ke panggung. Ia mendapuk aktris Happy Salma melakonkannya. Secara tak terduga sutradara Wawan Sofwan mampu menjelmakan Happy menjadi Ontosoroh yang tangguh.
Kini pementasan itu diulang, dalam versi yang diperpendek; dimainkan hanya empat orang. Yang menjadi Nyai Ontosoroh adalah Sita RSD. Kita tahu ia penyanyi dan pernah ikut drama musikal seperti Nyai Dasima. Ternyata, sekali lagi, Wawan Sofwan menunjukkan kemampuannya menggembleng aktor. Akting Sita mampu mengubah citranya yang pop.
Hampir dua jam, ia menghadirkan Ontosoroh tanpa tempo menurun. Artikulasinya bersih, staminanya terjaga, dan mobilisasi ruangnya pas. Porsi penampilannya yang lebih banyak daripada Willem Bever (Tuan Mellema), Bagus Setiawan (Minke), dan Agni Melati (Annelies) menjadikan naskah ini setengah monolog. Tubuhnya yang bongsor dan putih berbalut kebaya mahal. Mula-mula kita melihatnya seperti seorang nyonya gedongan yang sedikit judes, bukan seorang yang memiliki masa lalu jelata. Namun lambat-laun aktingnya meyakinkan.
Pertunjukan dibuka dengan sosok Ontosoroh berdiri di depan koper tuanya. Ontosoroh mengeluarkan selendang merah yang dulu dipakainya saat sebagai Sanikem, kembang Sidoarjo, ia dijual seharga 25 gulden.
Ia kemudian seolah melihat masa lalunya. Di panggung aktor Willem Bever sebagai Tuan Mellema keluar membopong Sanikem (Agni Melati). Mellema mengajari Sanikem bahasa Belanda. ”Ik ben Sanikem...,” Mellema mengajari Sanikem agar mencintai buku-buku dan memuji Sanikem lebih cerdas daripada rata-rata perempuan Belanda. Adegan yang puitis adalah ketika Ontosoroh menyaksikan dirinya di masa kecil itu diajak berdansa Tuan Mellema. Ia sendiri kemudian menirukan gerakan dansa itu.
Sementara pertunjukan pada 2007 terasa lamban karena struktur cerita selama tiga jam bertele-tele, kini penonton bisa berkonsentrasi pada Ontosoroh. Sita mampu dengan baik menghadirkan temperamen keras Ontosoroh, terutama pada bagian Ontosoroh naik darah saat menceritakan anak-anaknya tak diakui pemerintah.
”Pendeta menolak pembaptisan mereka kecuali kami kawin di kantor sipil.”
Sita juga kuat saat menampilkan adegan Ontosoroh secara imajiner menceritakan kedatangan Maurits Mellema—anak sah suaminya dari Belanda yang mencacimakinya dan menuduhnya sundal.
”Dia bukan Kristen. Dia kafir. Dosa darah mencampurkan darah Eropa dan pribumi. Dosa tak terampuni!” katanya menirukan suara Maurits.
Sita kemudian secara bagus menirukan bagaimana Tuan Mellema menjadi lemah dan mengiba-iba kepada anak dari istrinya di Belanda itu. ”Maurits... Maurits. Ia juga mantap saat menceritakan bagaimana anak sulung Ontosoroh, Robert, memilih berpihak kepada ayahnya dan membakar foto Ontosoroh.
Penonton juga mampu mendapat kesan bahwa Ontosoroh adalah ibu yang memiliki prinsip, walau oleh orang di sekelilingnya prinsip itu dipandang melanggar norma. Terutama ketika Ontosoroh membela mati-matian sang anak, Annelies yang, walaupun belum kawin, tidur sekamar dengan Minke.
”Aku tak peduli. Aku tak peduli. Yang penting Annelies bahagia!”
Wawan secara efektif mengalirkan adegan-adegan imajiner Ontosoroh itu. Berkali-kali, misalnya, Ontosoroh berteriak memanggil Darsam, centengnya. Meskipun tak ada aktor yang berperan menjadi Darsam, kita merasakan seolah Darsam ada.
Adegan terakhir adalah Ontosoroh seolah duduk di meja pesakitan pengadilan. Telunjuknya menuding. Sita tampak menguras seluruh kemampuan aktingnya. Peluhnya menetes. Ontosoroh yang diperankannya tanpa gentar melawan sehabis-habisnya vonis pengadilan, meski ia tahu pengadilan terlalu kuat baginya. Pengadilan memutuskan menyita harta perusahaan Ontosoroh dan mencabut hak asuh Ontosoroh atas Annelies dan menyerahkan Annelies ke keluarga Mellema di Belanda. Di situ Ontosoroh mencerca hakim-hakim yang diskriminatif. ”Tuan-tuan adalah Eropa yang pemeras,” kata Ontosoroh.
Penonton Erasmus yang membeludak, sampai lesehan di lantai, langsung standing ovation begitu tontonan ini selesai. Minggu ini (20-21 Mei) Sita dan kawan-kawan akan pentas di Tropentheater, Amsterdam; dan Tong Tong Festival, Den Haag. Menarik membayangkan bagaimana respons penonton Belanda di sana. Sebab, ini bukan pentas yang menampilkan masa lalu Belanda di Indonesia secara mooi indie, melainkan kritik tajam tentangnya. Kritik dari seorang gundik.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo