AKHIR Mei kemarin beberapa fungsionaris mahasiswa Universitas
Mulawarman Samarinda terbang ke Departemen P&K Jakarta.
Dipimpin ketua Senat Mahasiswa Sosial Politik Abdul Haifa,
mereka mengadu ke Menteri Muda urusan Pemuda Abdul Gafur. Mereka
juga bertemu dengan para pejabat Ditjen Pendidikan Tinggi. Soal
Normalisasi Kehidupan Kampus lagi?
Kepada Gafur mereka mengutarakan kegelisahan atas Surat
Keputusan Rektor Universitas Mulawarman 23 Maret. Abdul Haifa
sendiri bersama rekan-rekannya -- Awang Yusrani ketua SM
Pertanian, A. Harry Bachroel ketua SM Ekonomi, Sumaryono ketua
SM Kehutanan dan Awang Riduansyah ketua SM Fak. Keguruan dan
Ilmu Pendidikan -- diberhentikan dari kepengurusan Badan
Koordinasi Kemahasiswaan. Rektor Unmul, ir Sambas Wirakusumah
MSc dalam pertimbangannya menuduh mereka menghalangi usaha NKK
dan karenanya harus ditindak. Tapi rektor tetap memperkenankan
mereka mengikuti kegiatan perkuliahan. Jadi apa sebenarnya yang
terjadi?
Rektor Sambas dengan SK 6 Pebruari telah menetapkan kenaikan SPP
dan biaya bimbingan skripsi untuk tahun perkuliahan baru. SPP
untuk tingkat Sarjana Muda misalnya, dari Rp 20 ribu menjadi Rp
30 ribu sedang untuk tingkat Sarjana dari Rp 60 ribu ke Rp 90
ribu setahun. Sementara bimbingan skripsi Sarjana Muda dari Rp
15 ribu menjadi Rp 35 ribu. Memang kalau dikaitkan dengan harga
pasar kenaikan itu tidak besar. "Bagi saya pribadi tidak berat.
Tapi bagi teman-teman sangat memberatkan," kata Abdul Haifa di
Jakarta.
Bukan Turunnya Rektor
Yang merisaukan para fungsionaris -- seperti mereka nyatakan
dalam SK bersama 5 Senat Mahasiswa 14 Pebruari -- adalah dasar
hukum penetapan SPP dan biaya skripsi. "SK Rektor itu sama
sekali tidak punya dasar hukum, bahkan bertentangan dengan SK
Menteri Keuangan dan P&K," sebut Abdul Haifa. Seperti diketahui
SK bersama 2 Menteri itu (yang dijelaskan dengan SK Menteri P&K
27 Oktober 1977), menetapkan besarnya SPP bagi setiap perguruan
tinggi. Penyesuaian kembali, setidaknya mesti disetujui Menteri.
Apalagi SK bersama itu, sama sekali tidak membenarkan pungutan
di luar SPP. Kalau toh ada biaya bimbingan skripsi dananya
diambil dari SPP.
Tapi kenapa hanya lantaran dipecat dari kepengurusan BKK para
fungsionaris terbang ke Jakarta? "Kami kuatir ada tekanan di
bidang akademis," sahut Abdul Haifa. Dengan cara menemui pejabat
di Dep P&K ia sebenarnya juga ingin menempuh tertib hukum yang
benar -- tanpa memasang plakat segala di kampus. "Yang kita maui
bukannya turunnya rektor. Tapi turunnya SPP," tambah Haifa.
Namun dari Samarinda Sambas membantah. "Apa yang telah saya
lakukan sama sekali tidak bertentangan dengan SK bersama itu,"
katanya. "Universitas boleh mengambil kebijaksanaan tentang SPP,
demikian pula uang bimbingan skripsi." Mungkin Sambas kurang
memberi penjelasan kepada para mahasiswa, hingga mereka yang
semula menyetujuinya jadi menentang.
Soalnya sederhana. Unmul seperti banyak PT Negeri di daerah
menghadapi kesulitan dana dalam mendatangkan 'dosen terbang'
dari Jawa, apalagi setelah Kenop-15. Dalam upaya itulah Rektor
Sambas mengambil kebijaksanaan. "Ini untuk mahasiswa juga. Tak
ada persoalan lagi, Menteri sudah setuju," ungkap Sambas.
Dirjen Pendidikan Tinggi Prof. Dody Tisnaamidjaja sudah sejak
lama sesungguhnya menerima keluhan itu. "Secara ohyektif dana
yang ada itu memang kurang. Apalagi standar ketika SPP
ditetapkan dengan sekarang sudah beda jauh," kata Prof. Dody.
Persoalannya kemudian, "agar mahasiswa tidak menganggap
kebijaksanaan Unmul itu merupakan keputusan dari pusat,"
tambahnya.
Banyak saran sudah diajukan untuk menanggulangi persoalan itu.
Mulai dari penambahan subsidi untuk biaya menerbangkan dosen,
sampai upaya memeratakan dosen ke berbagai daerah terpencil.
Tapi tampaknya yang akan dilakukan Jakarta adalah yang pertama.
"Kita sedang berusaha merumuskan pedoman penyesuaian SPP,"
ungkap Prof. Dody. Itu berarti SK bersama dan Instruksi Menteri
P&K akan ditinjau kembali. Dan SPP akan naik juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini