Kanvas berukuran 135 x 285 sentimeter itu terpasang di salah satu dinding di Gedung A
Galeri Nasional Indonesia. Pada kanvas tersebut terlukis pemandangan di sebuah padang berbukit dengan ribuan orang berbaju
hazmat berkelir putih dan biru muda. Mereka sibuk menguburkan peti mati. Ada juga dua alat berat ekskavator dan sejumlah mobil ambulans yang berderet menunggu antrean.
Beberapa karangan bunga mengerubunginya. Sejumlah tulisan terpampang di karangan bunga itu, seperti "Turut Berduka Cita atas Harapan yang Tak Sesuai Kenyataan", "Turut Berduka Cita atas Wafatnya Usaha Kuliner", "Turut Berduka Cita atas Wafatnya Usaha Transportasi", dan "Turut Berduka Cita atas Wafatnya Usaha Pariwisata". Robertus Joko Sulistyo, pelukisnya, memberi judul
RIP pada lukisan itu.
Lukisan karya Djoko Sulistyo. TEMPO/ Indra Wijaya
Ada pula lukisan karya Abdurrohman Wahid berjudul Pandemystic. Lukisan berukuran 150 x 140 sentimeter itu menggambarkan sejumlah orang sedang berjemur di bawah sinar matahari yang panas terik. Ada pula ornamen payung dan sejumlah orang memakai baju hazmat.
Terdapat pula lukisan bikinan Agus Ramantha yang terdiri atas sembilan panel berukuran masing-masing 50 x 40 sentimeter. Lukisan berjudul Tumbuh di Antara Keterbatasan itu menggambarkan tanaman jalar yang tumbuh di dalam dan di sekitar botol minuman keras ternama yang telah kosong. Jenama dari botol-botol itu pun dipelesetkan dengan kalimat menggelitik, seperti "Kapan Reda Pandemi 19", "Jalan Hidup Bagai Disegel", dan "Sampai Kapan Covid 19 Ini Menghantui Kehidupan Manusia".
Lukisan lain yang bertema pandemi Covid-19 adalah karya Tato Kastareja. Tato menggambar tiga orang berpakaian hazmat berjalan di antara planet-planet dalam tata surya. Lukisan tersebut berjudul Indonesia Futuristik.
Lukisan-lukisan tersebut menjadi bagian dari karya yang dihadirkan dalam pameran rutin dua tahunan Manifesto pada 27 Juli-26 Agustus nanti. Dalam pergelaran pameran edisi kedelapan ini, Manifesto mengangkat tema "Transposisi", yang berarti perubahan.
Total terdapat 108 karya seniman yang dipamerkan dalam Manifesto VIII Transposisi. Selain lukisan, ada karya seni grafis, mural, patung, instalasi, kolase, kriya tekstil, fotografi, seni digital, video art, serta realitas virtual.
Kurator pameran, Rizki A. Zaelani, mengatakan isu sains dan teknologi menjadi tema kental dalam pameran kali ini. Rizki menyebutkan isu pandemi mewarnai sebagian karya yang ditampilkan. Pada lukisan Tato Kastareja berjudul Indonesia Futuristik, misalnya. Pelukis mengibaratkan virus Covid-19 datang dari luar bumi. "Pelukis menganggap virus itu benda asing, tapi memberikan dampak berupa sains yang sangat besar," kata Rizki ketika dihubungi, Rabu pekan lalu.
Ia juga menyinggung lukisan RIP karya Robertus Joko Sulistyo. Menurut dia, gambar tentang padang permakaman menyiratkan bahwa bukan sekadar nyawa manusia yang melayang karena pandemi. "Harapan, usaha, dan hal lain dari manusia juga ikut dikubur."
Tema lain yang mewarnai karya para seniman adalah wayang. Sejumlah seniman membuat lukisan hingga seni instalasi dengan mengedepankan tema wayang Nusantara.
Selain di Galeri Nasional, pameran Manifesto VIII Transposisi digelar di Museum Kebangkitan Nasional alias gedung Stovia. Karya-karya itu ditempatkan berdampingan dengan koleksi museum.
Salah satu karya yang cukup unik ditampilkan di Museum Kebangkitan Nasional, yakni instalasi Menunggu Digoreng karya seniman Ary Okta. Ia menyuguhkan puluhan boneka berbentuk ayam warna-warni nan mencolok. Boneka ayam itu dibuat jenaka dengan bentuk mirip kartun dan ditata di atas sebuah bangunan berbahan batu bata merah.
Pengunjung melihat salah satu karya dalam pameran "Manifesto VIII: Transposisi" di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 4 Agustus 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Menurut Ary Okta, karya instalasi itu merupakan bentuk sindirannya terhadap fenomena kehidupan saat ini yang mengedepankan popularitas alias viral secara instan. Ary menggambarkan figur manusia sebagai ayam warna-warni yang diartikan berdandan atau memoles diri secara berlebihan.
Figur ayam ini digambarkan menginjak tatanan kultural yang diwujudkan berupa batu bata. Sudah begitu, ayam-ayam tersebut menampilkan hoaks, setting-an, dan kepalsuan demi meraih ketenaran, salah satunya di media sosial.
"Tak ada lagi rasa malu, bahkan menginjak tatanan sosial hingga kearifan lokal. Kebohongan, kepalsuan, memoles diri tanpa isi seakan-akan menjadi profesi," ujar Ary Okta.
Karena itu, ayam-ayam itu diibaratkan sedang menunggu untuk digoreng. Kata digoreng kini diartikan menjadi sebuah hal yang diramaikan di setiap ruang kehidupan manusia zaman sekarang, termasuk di media sosial. "Karena itu judulnya Menunggu Digoreng."
Dalam karya instalasi ini, Ary Okta membawa pesan pentingnya daur ulang limbah. Maklum, ia menggunakan limbah plastik dan kertas untuk membuat puluhan ayam.
Adapun Rizki A. Zaelani melihat karya Ary Okta sebagai sebuah kreasi seni yang jenaka dalam mengkritik keadaan saat ini. Menurut dia, karya ini menjadi wujud keresahan seniman melihat kondisi masyarakat saat ini yang semakin rapuh. "Penggunaan kata juga tepat. Kata digoreng lekat dengan istilah kekinian."
INDRA WIJAYA