ALAT pendingin bioskop Citra tidak sanggup mendinginkan ruangan
yang penuh sesak itu. Gumpalan asap rokok mengambang di atas
kepala sejumlah besar orang-orang film, yang gelisah menantikan
pengumuman dewan juri. Kegelisahan kemudian beralih jadi
kedongkolan. Waktu itu Rosihan Anwar, salah seorang anggota
dewan juri, mulai membacakan pertimbangan dan pandangan dewan
juri terhadap 37 film (27 film cerita, 10 film dokumenter) yang
mereka nilai selama setengah bulan bekerja.
Teriakan terdengar dari berbagai penjuru gedung. Mereka yang
duduk di depan - menteri penerangan, gubernur serta pejabat
tinggi lainnya -- kelihatan asyik menikmati gaya teatral Rosihan
dalam menyampaikan pertimbangan dewan juri itu. Dari belakang,
kelihatan Ali Sadikin tertawa dan mengangguk-angguk justru pada
saat orang film meneriaki kritik dewan juri terhadap film dan
pembuat film Indonesia.
Setelah membacakan tinjauan juri, Rosihan turun dari panggung
untuk memberi kesempatan kepada D. Djajakusuma. Ketua Dewan Juri
ini dapat giliran mengumumkan hasil pemilihan juri. Dari
kursinya ke panggung, D. Djajakusuma, 57 tahun, Anggota Akademi
Jakarta, dan tokoh perfilman senior, diantar oleh teriakan dan
ejekan sejumlah suara. Suara itu menggema dalam gedung yang
makin penuh sesak oleh kegelisahan.
Ketua juri pun mulailah mengumumkan satu pemenang dalam bidang
film dokumenter. Tiba-tiba suara Djajakusuma melemah, bagai pita
perekam yang kehabisan batu batrei. Bahkan badannya
perlahan-lahan doyong ke belakang. Dua artis pengawal piala
menyelamatkan Djajakusuma dari jatuh telentang.
Adegan selanjutnya adalah penggotongan ketua dewan juri dari
panggung ke mobil yang membawanya ke rumah sakit. "Pak Djaja
tidak tahan diejek" komentar Wim Umboh. Tapi dokter di Rumah
Sakit Jakarta dengan yakin menyebut kelelahan sebagai penyebab
robohnya pak Djaja. "Bukan cuma sekali itu terjadi, saya
beberapa kali menyaksikan pak Djaja pingsan selagi bekerja",
kata penyair Taufiq Ismail, anggota dewan juri dan teman serumah
Djajakusuma. Rosihan tampil kembali. Suasana kembali bergema
seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Di Plaza, di ruangan bertenda terpal di kompleks Pusat Perfilman
Haji Usmar Ismail, sejumlah makanan lezat menanti hadirin yang
baru saja bersama menutup Festival Film Indonesia 1977. "Sampai
ketemu di Ujung Pandang, tahun depan", kata Anita Rahman,
penyiar televisi yang memimpin upacara malam itu. Suara Anita
masih lantang, tapi desau suara orang-orang film yang berbicara
- beberapa malah berteriak-menelan suara penyiar cantik itu.
Protes sudah bermula di kursi masing-masing dan meledak tatkala
semuanya sudah berada di Plaza.
Bintang film dan sutradara Ratno Timur -- pemeran terbaik pria
tahun silam di FFI Bandung -- dengan penuh emosi mendatangi
seorang juri yang sehari-harinya bekerja sebagai wartawan.
"Bung, saya ingin belajar bikin film dari wartawan. Bagaimana,
sih, film baik itu? Jangan mentang-mentang wartawan jadi juri
lalu ngomong seenaknya di panggung. Taek, ah". Rosihan Anwar
malah ditantang oleh nyonya Ratno Timur untuk bikin film,
Rosihan tidak menolak. Katanya kepada wartawan TEMPO: "Saya
sekarang ini memang lagi cari duit untuk menghidupkan kembali
Perfini yang ditinggal mati oleh Usmar Ismail".
Kemarahan tidak cuma hinggap pada suarni isteri Ratno Timur.
Sebagian besar orang film malam itu betul-betul marah. "Mereka
sangat tersinggung oleh pernyataan dewan juri", kata Wim Umboh.
Laporan mengenai yang tersinggung, yang marah, yang dongkol
Jnaupun yang (ternyata ada juga) senang dikerjakan oleh
beberapa wartawan TEMPO yang malam itu berada di kompleks Pusat
Perfilman Haji Usmar Ismail. Inilah laporan itu:
Gani Rachman, produser yang mengikutkan dua filmnya dalam FFI
'77 Janji Sarinah dan Dr Firdaus: "Juri kali ini tidak fair.
Buktinya? Silakan lihat sendiri film-film yang menang. Apa
film-film itu pantas dapat piala? Komentar juri keterlaluan".
Nico Pebmonia, sutradara terbaik FFI '76 di Bandung, tahun ini
menyertakan filmnya Tiga Wajah Perempuan: "Saya tahu komentar
juri cambuk. Tapi mestinya yang bersifat mendidik, dong. Ini,
sih, keterlaluan. Dan film saya, itu betul-betul wajab Indonesia
yang saya angkat dari kehidupan gadis pemijat. Saya memang tidak
mencari piala, tapi kalau tadi saya menang, tidak akan saya
ambil. Bagaimana saya bisa menerima penghargaan setelah
sebelumnya saya diejek".
Sophan Sophian, (bintang film yang kini jadi sutradara.
Isterinya, Widyawati, dalam FFI ini menang sebagai pemeran
pendukung terbaik wanita): "Biar saya dianggap kampungan, tapi
bagi saya juri-juri iri hati pada orang film yang kini bisa
hidup lebih baik dari penghasilan di dunia film kita yang maju.
Komentar juri itu memang baik kalau dibacakan di Hyde Park,
London. Tapi di sini suasananya lain. Kalau saja ada kebebasan
politik, saya akan membikin film tentang kasus Budiaji, Krakatau
Steel, atau bahkan mungkin tentang Peristiwa 15 Januari. Juri
mestinya konsekwen, kalau tidak ada film Indonesia yang baik,
tidak usah bagi-bagi piala. Isteri saya tadinya saya larang
menerimanya, tapi Widya merasa tidak enak, ditambah lagi pak
Djaja pingsan. Apa boleh buat, deh".
Yudi Astono Cahaya, pedagang kayu dan produser yang menyertakan
sebuah filmnya, Cinta Rahasia? dalam FFI ini: "Kita terima apa
yang diumumkan dewan juri, tapi saya tidak dapat membenarkan
cara pembeberan yang amat terbuka. Saya tahu juri itu
orang-orang pintar. Tapi orang-orang pintar, kok tega ngomong
begitu di depan umum. Saya harap saja salah satu di antara
mereka membikin film nanti, biar tahu sulitnya keadaan di
lapangan. Ah? tidaklah sama mereka semua".
Drs. H Amura, (panitia FFI): "Keputusan juri kali ini
mengerikan. Tapi di sana tidak tercium bau sabun sama sekali".
Deddy Sutomo, (bintang film? bekas anggota grup teater Rendra di
awal tahun enam puluhan. Tahun ini membintangi dua film yang
ikut FFI Musrika Ibu dan Embun Pagi): "Saya senang dengan hasil
juri. Kalau memang tidak ada film baik? tidak usah diberikan
hadiah. Komentar juri yang keras? Saya juga senang. Juri
memperlihatkan mereka punya sikap".
Drs. Hood Idris, (produser film seri-seri Benyamin yang juga
importir film-film India): "Keputusan uri itu tepat sekali. Ini
cambuk yang baik. Saya akui film kita memang tidak ada yang
bermutu, termasuk film saya sendiri".
H. Turmo Djunaedi, (Ketua yayasan FFI, produser, tapi tidak
menyertakan filmnya dalam FFI '77 ini): "Keputusan untuk tidak
memilih film terbaik terlalu pagi. Saya bukan tidak setuju, tapi
nanti setelah FFI selesai berlangsung di enam kota yang telah
kita tentukan. Tentang pandangan dewan juri, saya kira tidak
pada tempatnya dibacakan di sini. Itu sama saja dengan memaki
didepan hadirin anak-anak kita yang sedang kita kawinkan".
Wim Umboh, sutradara dan produser yang selalu menang sebagai
editor terbaikl: "Ada beberapa juri yang melihat film Indonesia
dengan mata sebelah. Sangat tidak bersahabat dengan film kita.
Saya tidak akan ikut FFI lagi jika orang semacam itu masih duduk
sebagai juri pada masa-masa mendatang. Orang semacam itu sama
sekali tidak mengikuti jatuh bangunnya perfilman kita yang masih
dalam tarap perkembangan. Bagi saya, pertimbangan dewan juri
yang keras itu tidak apa-apa. Cuma saya khawatir tahun depan
makin kurang saja yang ikut FFI".
Benyamin S, (pemeran utama terbaik FFI 1973 dan FFI sekarang):
"Cambukan juri itu baik, tapi tempatnya tidak tepat. Cambuklah
kami di kamar, jangan di tempat umum. Film-film yang saya bikin
sendiri memang tidak saya ikutkan FFI. Terus terang saja, dari
film-film itu saya cuma cari uang. Tapi mulai sekarang saya akan
lebih hati-hati dan akan meningkatkan diri".
Drs. Sjuman Djaja (sutradara dan penulis skenario yang tahun
ini memenangkan dua piala citra): "Saya tidak tersinggung oleh
pertimbangan dewan juri itu. Itu kan masalah kata-kata saja.
Tapi keras macam apapun, saya anggap tetap baik. Dan yang
marah-marah itu 'kan mereka yang bikin film jelek. Film saya
'kan menang".
Soemardjono, (Sekjen Majlis Musyawarah Perfilman Indonesia):
"Saya senang dengan keputusan dewan juri. Saya tidak
berkeberatan mereka mengemukakan latar belakang penilaiannya.
Curna kalau pendirian itu tidak disetujui masyarakat film, harus
diadakan forum terbuka untuk membicarakan hal tersebut. Ialau
juri tidak hisa mempertanggungjawabkan penilaiannya, maka
keputusan mereka harus dicabut. Kalau tidak, kita akan jatuh
pada sinisme yang justru akan mengakibatkan pessimisme".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini