HUJAN masih turun di akhir Pebruari kemarin. Masa paceklik
tinggal sebulan lagi. Tapi inflasi selama Pebruari kemarin
hampir tak ada artinya. Indeks dari hampir semua bahan keperluan
sehari-hari tak berobah. Indeks bahan makanan bahkan turun
dengan 0,04%. Ini disebabkan karena indeks harga beberapa
makanan pokok seperti beras, daging, telor ternyata turun.
Ada yang menarik tentang inflasi di bulan Pebruari itu. Diukur
dari tingkat tahunan (indeks Pebruari ini dibanding indeks
Pebruari tahun lalu), tingkat inflasi menunjukkan 11,4%: Satu
tingkat inflasi tahunan yang terendah sejak tiga tahun terakhir
ini. Sejak pemerintah mengeluarkan peraturan April 1974 yang
tujuan utamanya membndung inflasi, belum pernah terjadi
penurunan inflasi yang berarti. Tingkatnya masih tetap berkisar
antara 20%, empat sampai lima kali tingkat inflasi negara
tetangga.
Apakah tingkat inflasi yang rendah yang terjadi Pebruari kemarin
akan dapat dipertahankan atau bahkan bisa ditekan lebih lanjut?
Ini tergantung dari beberapa hal. Yang paling penting adalah:
apakah harga beras akan bisa dikendalikan'? Ini menyangkut
pertanyaan sampai di mana sasaran produksi beras tercapai.
Pemerintah menetapkan sasaran produksi beras pada 1976 adalah
16,4 juta ton. Tapi laporan-laporan sementara yang masuk
menunjukkan bahwa sasaran produksi itu tak tercapai -
sekurang-kurangnya 1 juta ton di bawah sasaran. Mungkin sebab
serangan hama wereng tempo hari, dan musim kemarau yang cukup
parah antara Mei - September tahun lalu.
Aman, Kata Bustanil
Bagaimanapun, rendahnya produksi beras pada 1976 mengharuskan
pemerintah untuk memperbesar impor beras. Itu memang sudah
dilakukan oleh Bulog, yang impor berasnya tahun ini akan
mencapai 1,5 juta ton. Jumlah ini akan memperkuat cadangan Bulog
untuk menghadapi kekurangan beras sewaktuwaktu, yang bisa
terjadi antara paceklik sekarang ini sampai Mei 1977 nanti
ketika Pemilu berlangsung. Ketua Bulog Bustanil Arifin sesudah
bertemu Presiden baru-baru ini mengatakan: "Musim paceklik akan
berlalu dengan aman". Bustanil punya cukup alasan untuk berkata
demikian. Dibanding dengan situasi 1972, di mana Bulog hampir
tak siap sama sekali menghadapi paceklik, maka kali ini
persiapan Bulog jauh lebih matang. Kalau pada 1972, Bulog hanya
mampu membeli 18.000 ton beras dari dalam negeri, maka
pembelian kali ini dari dalam negeri akan bisa mencapai 350.000
ton.
Dibanding dengan masa paceklik 1972, maka akibat paceklik tahun
ini nampaknya tak akan separah itu. Dulu harga beras di luar
negeri mencapai 'US$ 500 per lon, kini harganya berkisar US$ 225
per ton. Dulu Indonesia hampir tak punya cukup devisa untuk
mengimpor bras, kini devisa cukup tersedia-- bahkan untuk impor
komersiil sekalipun. Dulu persediaan beras sangat tipis karena
adanya musim kemarau yang panjang di tiap negara produsen utama
beras. Kini, persediaan beras agak melimpah baik di India, RRC
dan Muangthai sendiri.
Sekalipun kini keadaan lebih menguntungkan pemerintah dibanding
paceklik 1972, bukan tak mungkin masih timbul beberapa
persoalan. Mungkin karena banjir dan tanah longsor akibat hujan
keras, pengangkutan beras ke daerah minus mengalami kelambatan
yang menyebabkan terjadinya lonjakan-lonjakan harga beras secara
lokal. Ini akan mendorong timbulnya inflasi. Karena itu putusan
Dewan Stabilisasi Ekonomi Oktober kemarin untuk memberi beberapa
kabupaten tertentu beras sebanyak 250 ton untuk dibagikan dengan
gratis kepada yang tak punya, tak akan banyak artinya, bila
penyalurannya tak dikontrol dengan seksama.
Jual Ternak
Yang lebih parah lagi dengan adanya musim kering panjang selama
1976 adalah merosotnya pendapatan di desa-desa. Banyak petani
yang terpaksa menjual ternaknya dengan banting harga, sekedar
untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari. Dari Jawa Timur
pertengahan September kemarin terbetik berita harga ternak jatuh
dari Rp 70.000 menjadi Rp 30.000 seekor. Ini melukiskan sejauh
mana paceklik panjang mempengaruhi kehidupan penduduk di desa.
Dengan penghasilan yang merosot ini, masih sanggupkah petani
membeli pupuk pada tingkat harga yang sekarang? Latar belakang
inilah yang agaknya jadi dasar bagi pemerintah untuk memutuskan
menurunkan harga pupuk dari Rp 80 menjadi Rp 70 per kilo, yang
mulai berlaku awal Pebruari kemarin. Tapi sekalipun harga pupuk
sudah diturunkan, masih diragukan apakah para petani masih
sanggup membeli pada tingkat harga baru tersebut. Apabila
demikian halnya, maka pemakaian pupuk akan menurun. Dan petani
akan kembali lagi dengan bibit padi varitas lama yang hasilnya
kecil.
Di samping itu, Bank Rakyat Indonesia - yang kini kreditnya
lewat bimas sudah macet sebanyak Rp 20 milyar menghadapi masalah
yang tak ringan. Apabila BRI bersikeras bahwa petani yang
berhutang itu mesti membayar, maka dengan penghasilan mereka
yang menurun sekarang ini, mereka akan mundur dari program
bimas. Ini akan merupakan pukulan bagi program peningkatan
produksi padi. Tapi kalau tak ditagih dan dibiarkan saja,
artinya, BRI akan menderita rugi yang tak sedikit. Sementara
disiplin dan tanggungjawab petani terhadap kewajiban membaar
hutangnya akan semakin kurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini