Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Maaf, mengapa juri bicara keras ?

Ffi 1977 berakhir dengan ketersinggungan. hasil yg diumumkan dewan juri mengagetkan orang-orang film. kritik yang disampaikan terasa keras sekali, dan tak ada piala citra untuk film terbaik. (fl)

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAK kurang sedap, memang. Festival Film Indonesia 1977 nyaris dibuka tanpa doa, berlangsung tanpa glamor dan warna, dan berakhir pekan lalu dengan ketersinggungan. Ceritanya bisa dimulai dari Majelis Ulama Daerah Khusus bukota lakarta. Untuk upacara pe nbukaan di Gedung Citra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, panitia rupanya menghubungi Majelis itu. Mereka minta agar dari Majelis ada yang berkenan membacakan doa dalam upacara Sabtu 26 Pebruari itu. Tapi Majelis ternyata menolak. Dengan bahasa yang halus tapi lugas, isi surat balasan kurang-lebih bernada "maaf-kami-takbersedia" Baik Majelis sebagai lembaga, maupun para ularna secara perorangan yang sudah dihubungi Majelis, menyatakan berat hati. Alasan: film nasional, "dalam beberapa hal tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia" .... Tentu saja adanya doa tak Wlaramkan, walaupun dalam FFI '77 ikut juga misalnya salah satu prestasi film Indonesia: Tante Sex. Dan doa pun dibacakan oleh H.O.R. Udaya dari Dinas Kerokhanian DKI. Tapi Majelis Ulama DKI Jakarta nampaknya hanya bermaksud mengingatkan: bagi sementara kalangan yang cukup bersuara, film kita justru sedang diragukan "wajah Indonesia"-nya. Harian terkemuka Kompas, misalnya, dalam tajuk yang menanggapi hasil-hasil FFI '77, menulis: "Dihadapkan pada persaingan sesama rekan di dalam negeri dan terhadap film impor, kita mendapat kesan, unsur komersialisme semakin menonjol pada perfilman kita. Jarang film yang benar-benar berjiwa dan berwajah Indonesia". Maka pasti bukan cuma basa-basi bila dalam pidato pembukaan yang dibacakan oleh Sekjen Departemen Penerangan Soetikno Lukitodisastro, Menteri Mashuri menyambut gembira tema FFI '77: "upaya menemukan identitas Indonesia dalam film nasional". Seraya mengingatkan bahwa identitas nasional tidak boleh diberi arti yang "sempit dan picik", Menteri memuji kesadaran untuk tidak membuat film Indonesia "dengan klise film asing". Di tengah-tengah tuntutan semacam itulah - yang sebenarnya memantulkan kembali kritik terhadap film Indonesia sejak tiga tahun yang silam -- FFI '77 berlangsung. Berbeda dengan festival di Surabaya, Medan dan Bandung, misalnya, kali ini tak ada "pawai artis". Tak nampak khalayak ramai berkerumun di panas terik mengelu-elukan bintang-bintang pujaan mereka. Mungkin ini karena orang lakarta sudah terbiasa dengan tokoih layar putih. Tapi mungkin pula karena, seperti dikatakan Ketua Kayawan Film dan Televisi Soemardjono menjelang pembukaan, FFI '77 ini "disederhanakan, sehubungan dengan pemilu". Tak kurang penting ialah pendekatan festival tahun ini, yang diselepggarakan lebih cepat dari seharusnya - juga karena pemilu. Menurut Soemardjono, "tahun ini pendekaan yang bersifat promosi dihapuskan". Mungkin dari situ pula bisa dicari sebab, mengapa festival berlangsung sonder keramaian tongjring-tongjring, tak nampak bergincu dan berdandan. Pendeknya, serius. Bahkan Turino lunaidi, Ketua Yayasan FFI, dalam pidato pembukaan menyatakan tekadnya buat lebih "meningkatkan mutu". Ia kaitkan tekad ini dengan kenyataan, bahwa dewan juri - sebagai peniiai buat menentukan siapa yang berhak mendapatkan piala Citra - "selalu jadi sasaran kritik". Tidak jelas adakah untuk menghindarkan kritik maka buat FFI '77 uni Turino meminta bantuan Dcwan Kesenian Jakarta untuk memilih para anggota dewan juri. Dengan tanpa banyak kesukaran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyusun para juri. Sudah sejak 1973 sebenarnya secara tak langsung DKJ ikut dalam penjurian festival: dari tahun ke tahun, seorang atau lebih anggotanya selalu termasuk dalam regu juri. Kali ini prosesnya lebh diperlancar karena Soemardjono sendiri, yang di samping Turino merupakan motor penggerak FFI, adalah anggata DIW Komite Film. Dan regu juri pun dibentuklah: D. Djajakusuma, H. Rosihan Anwar, Irawati M. Sudiarso, Zulharmans, Setyadi Tryman MS., Dr. Soedjoko, D. Peransi, TaufKl Ismail, Salirn Said. Sebagian besar dari mereka pernah duduk sebagai anggota dewan juri lebih dari satu kali FFI. Setidaknya 7 dari 9 mereka adalah "muka-muka lama". Melihat itu, memang tak terduga bahwa keputusan juri FFI '77 ternyata merupakan keputusan yang berbeda dari yang pernah ada selama ini. Setidaknya jika Tunno mengharapkan bahwa juri kali ini bisa bebas dari kritik, ia keliru sama sekali. Belum pernah sebelumnya FFI mernutuskan bahwa untuk satu tahun tidak ada flm terbaik yang berhak satu piala Citra. Dan belum pernah penilaian juri terus-terang dicerca orang film seperti dalam FFI '77 ini. "Orang film biasa bermulut manis, terutama di muka pers", kata seorang wartawan film, "tapi kali ini tumben tidak". Suasana yang kurang lazim memang terasa dalam acara penutupan FFI '77. Dan itu nampak sejak jam-jam sebelum pengumuman juri. Di luar Gedung Citra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang luas itu, tak banyak tanda-tanda bahwa suatu puncak acara sedang berlangsung di bagian dalam. Tak ada penonton berjubel. Mobil-mobil tak 'sampai berdesakdesak memenuhi tempat parkir. Di dalam, para hadirin yang pada duduk di kursi gedung bioskop itu sebagian esar adalah orang film yang tak pasang dasi. Pakaian gemerlap dan resmi yang biasanya bermunculan di penutupan FFI kali ini tak nampak merata. Bahkan musikus Idris Sardi -- yang malam itu kemudian menerima satu piala Citra untuk iringan musiknya - cuma berbaju lengan pendek. "Seperti habis dari lapangan golt", komentar seorang tamu. Keadaan kian kurang rapi ketika acara diundurkan hampir satu setengah jam. Para hadirin mengisi waktu sembari bergurau, atau ngobrol. Juga mereka yang di baris terdepan, di mana sudah duduk menunggu Menteri Penerangan Mashuri dengan nyonya dan juga Gubernur Ali Sadikin dengan nyonya. Juga bekas Menteri Penerangan Budiardjo, kini duta besar untuk Spanyol, yang sedang di Jakarta. Apa boleh buat semuanya harus menanti naskah hasil penilaian juri tiba dari kantor Komdak Metro Jaya, di mana dokumen itu terjaga secara tradisionil dalam sampul yang dilak supaya jangan sampai dipalsukan atau dibocorkan. Setelah akhirnya acara dimulai, dengan penyiar TVRI Anita Rachman di depan mike, ternyata urutan berubah sedikit: Gubernur Ali Sadikin tak jadi memberikan pidato sambutan. Ia kelihatan batuk-batuk. Akhirnya langsung Menteri Mashuri yang dipersilakan ke atas pentas, setelah - dengan isyarat ia sekali lagi menawarkan kesempatan itu pertama-tama kepada Gubernur (Bang Ali menggeleng dengan hormat). Pidato Menteri tak panjang. Dalam baju batik warna coklat dan santai, Menteri berbicara tanpa teks - dan diselingi humor. Ia mengingatkan lagi akan pentingnya masalah identitas dalam film nasional, dan pendekatan integral dalam menanoani masalah film. Setelah Mienteri Penerangan, sampailah puncak acara yang ditunggu: pengumuman juri. Rupanya karena panjangnya naskah pengumuman, para juri menampilkan H. Rosihan Anwar dan Ketua D. Djajakusuma untuk membacakan hasil penilaian mereka. Direncanakan bahwa Rosihan akan membaca bagian pertama, berupa penilaian umum dewan juri terhadap semua film yang ikut FFI '77. Djajakusuma kemudian akan membacakan siapa-siapa pemenang yang berhak mendapatkan piala Citra dan piala lain. Pilihan atas Rosihan sebagi pembaca hasil penilaian umum ternyata menghasilkan sesuatu yang menarik: Rosihan telah membikin mata acara itu suatu pertunjukan tersendui. Mula-mula tibalah perwira kepolisian yang bertugas mengawal dokumen hasil penilaian juri, ke atas pentas. Disaksikan para hadirin, Rosihan membuka dan mengeluarkan isi amplop kuning itu. Ia setengah bergurau: "Supaya dapat disaksikan bahwa para juri pun memperhatikan faktor sekuriti". Setelah itu ia mulai membaca dengan suara jelas, berirama dan di sanasini kocak - seraya tubuhnya tidak menghadap ke hadirin, lantaran mencari cahaya lampu yang paling efektif. Agaknya buat pertama kali dalam sejarah FFI sejak 1973, bahwa hasil penilaian umum dewan juri bisa menarik perhatian seperti malam itu. Biasanya hadirin mendengarkannya sebagai sekedar pengantar yang tak perlu. Biasanya mereka tak sabar menanti pengumuman para pemenang piala Citra. Tapi kali ini, hadirin pasang kupung. Gaya Rosihan membaca memang memikat, tapi juga isi penilaian umum itu memang mengagetkan. Sebab di sana tak ada kalimat ramah yang bisa membungkus kritik. Pukulannya terasa keras sekali. Antara lain:  "Dari penilaian 27 film cerita itu, Dewan Juri berkesimpulan: film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser semata-mata sebagai alat hiburan yang tidak selalu berarti sehat. Produser film Indonesia menampakkan diri terutama sebagai pedagang-pedagang impian. Dalam posisi demikian memang produser tidak berpijak pada bumi Indonesia, sebab mimpi yang indah selalu berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal".  "Kecuali sebagian kecil, film-film ini samasekali tidak memperlihatkan keterlibatan sosial. Beberapa fulm mencoba berbicara tentang masalah sosial, tapi lantaran kurangnya persiapan dan pengenalan lingkungan, maka masalah sosial yang ditampilkan terasa sangat dibuatbuat dan semu".  "Dibandingkan dengan tahun 1973 umpamanya terlihat adanya kemunduran dalam keragaman tema dan lingkungan cerita. Bersamaan dengan itu keragaman watak manusia juga semakin miskinù"  "Penulis skenario, sutradara dan editor belum menguasai wawasan dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi kejadian-kejadian kebetulan, tidak bermotif".  "Juga fotografi film kita masih pada tingkat menciptakan gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi musik dan pengarahan artistik". Tak salah lagi: dewan juri FFI '77 memang menggebrak prestasi film Indonesia selama tahun 1976. Sebagai klimaksnya bahkan diputuskan bahwa tidak ada piala Citra diberikan kepada "film terbaik". Tak ada film yang memenuhi syarat dewan juri FFI '77. Syarat itu, berbeda dengan syarat dewan juri sebelumnya, rupanya berdasarkan ketentuan tersendiri: gelar "Film Terbaik" hanya akan diberikan kepada sebuah film yang berhasil mengumpulkan empat piah penopang, yakni pengolahan cerita (skenario) terbaik, sinefotografi terbaik, penyutradaraan terbaik dan pemaduan-gambar (editing) terbaik. Dari semua film yang masuk, agaknya hanya Si Dul Anak Modern dan Sesuatu yang Indah yang hampir saja lulus ke kelas tertinggi yang ditentukan para juri itu. Kedua film itu, masing-masing disutradarai oleh Syumanjaya dan Wim Umboh, memang bertanding dengan sengit dalam rapat-rapat penilaian. Tapi akhirnya Si Dul hanya memperoleh piala Citra untuk penyutradaraan dan pengolahan cerita - di samping satu Citra lagi buat aktornya, Benyamin S. sebagai si Dul. Sesuatu yang Indah hanya memperoleh Citra buat editing, yang dilakukan Wim Umboh sendiri, di samping Citra untuk musik dan Citra lain untuk Christine Hakim, pemegang peran utama wanita. Dengan komposisi semacam itu, wajar jika tak ada satu pihak yang puas benar. Apalagi suasana sebelumnya telall jadi panas oleh gebrakan-gebrakan juri. Di pentas, ketika semua pemenang sudah berjajar untuk disalami dan aipotret, hanya Syumanjaya yang nampak senyum-senyum terus bagaikan Jimmy Carter. Wim Umboh tampak tidak begitu cerah. Dalam jas hitam dan dasi konservatif, ia nampak capek. Widyawaty yang cantik, yang diantar suaminya Sophaan Sophian sampai ke tepi pentas juga tak ada menunjukkan kegembiraan. Sebagai peran pendukung wanita, ia telah berhasil mengalahkan calon kuat lain, misalnya konon Rae Sita dalam Cintaku di Kampus Biru. Tapi bintang dalam One Way Ticket ini agaknya ikut gundah: suaminya marah kepada dewan juri yang baru saja mengecam film Indonesia secara tajam. Cuma Christine Hakim yang kemudian mengikuti Syumanjaya dalam soal wajah riang: dengan pakaian putih mengkilap seperti seorang puteri dari dongeng Yunani, Christine senyum ke sana ke mari - sejak penyanyi Brury Pesulima, pacarnya, melepaskannya naik pentas untuk terima piala. Ini adalah Citranya yang kedua. Di tahun 1974, Christine menang untuk hal yang sama dalam film Cinta Pertama. Sementara itu, cukup banyak juga yang tak datang ke pentas, ketika nama mereka diumumkan sebagai pemenang. H. Syamsuddin Yusuf, pemenang sinefotografi untuk film Ateng Sok Tahu (yang juga film terlaris selama 1976), tak muncul. Roy Marten, bintang muda baru yang menarDk perhatian sejak Cintaku Di Kampus Biru, juga tak hadir buat menerima piala Usmar Ismail sebagai aktor harapan dalam Sesuatu Yang Indah, Sudarsono Wiryosuwaryo, pengarah artistik buat film Mustika Ibu, juga tak kelihatan. Mungkin orang yang sama sekali tidak dikenal ini tak mengharap, bahwa ia akan bisa mendapatkan sebuah Citra -- terutama dalam film yang kata setengah orang dibikin secara tak serius. Sebaliknya yang punya cukup alasan untuk berharap menang, tapi ternyata namanya tak disebut-sebut adalah Marini, untuk peranannya dalam Sesuatu Yang Indah, dan Wahab Abdi, untuk peran pendukung dalam Si Dul. Kedua pemain berbakat dan serius ini barangkali termasuk yang kecewa . . . Tapi suasana sehabis pengumuman yang juga dibacakan oleh Rosihan Anwar itu, (karena D. Djajakusuma roboh pingsan setelah tiga kalimat di atas pentas), terutama bukanlah suasana kecewa. Melainkan tersinggung. Siapa-siapa yang menang Citra bahkan kali ini tak dibicarakan dan dipersoalkan - satu hal yang juga belum pernah terjadi dalam FFI yang terdahulu. Di plaza Gedung Citra, di mana makanan dan minuman disediakan buat para hadirin setelah gong penutup dipukul enteri lashuri, resepsi jadi hangat oleh pembicaraan sekitar kritik tajam juri kepada film Indonesia. "Saya sih tidak mempersoalkan keputusannya", kata Ny. Halidar Hadiyuwono, produser dan tokoh PPFI (Persatuan Produser Film). "Komentarnya itu yang menyakitkan hati". Dari wajah Ny. Hadiyuwono yang tenang, sampai dengan ucapan bintang film dan praduser Ratno Timur yang memaki, tak pelak lagi: sebagian besar orang film merasa dewan juri telah "menghina" mereka atau "menggurui". Bahkan tiba-tiba tertiup kecurigaan rara juri ditunggangi oleh anggota-anggota Lembaga Pengembangan Film Nasional (Lepfinas yang baru saja dibentuk oleh Menteri Penerangan. Sebagai salah satu bukti: Ketua Dewan Juri Djajakusuma dan anggota Dewan Juri Zulharmans adalah orang Lepfinas. "Keputusan yang menjelek-jelekkan film nasional itu adalah bombardemen pertama mereka sebelum Lepfinas bekerja", tuduh seorang produser yang minta agar namanya dirahasiakan. Tapi kenapa bombardemen itu, bila betul ada, harus datang dari Lepfinas? Rupanya ada perkiraan bahwa Lepfinas akan mengarahkan film ke suatu kecenderungan yang tak menguntungkan para produser yang telah terbiasa dengan gaya selama ini. Misalnya, dengan mengurangi aksentuasi komersiil seraya melahirkan film-film "nyeni" yang biasanya dapat keplok tapi tak laku. Mungkin pula dengan lebih meneliti soal ijin produksi, sehingga film macam Tante Sex tidak perlu ada, sementara film seperti Enam Jam di Yogya dapat dibuat lagi tanpa repot mencari cukong. Namun apapun niat Lepfinas nanti, nampaknya agak terlampau jauh juga tuduhan bahwa dewan juri telah diperalat lembaga tersebut. Tak setiap hal selalu bisa dikait-kaitkan dengan "penunggangan" dan merupakan hasil suatu konspirasi. "Yang jelas maksud kami baik", kata Setiadi Tryman M.S., wartawan senior Sinar Harapan yang juga anggota juri. "Demi kemajuan film nasional juga". Pembelaan Setiadi bisa dimengerti. Betapapun, bagi orang di luar memang timbul pertanyaan apa gerangan yang menyebabkan dewan juri FFI '77 keras berbicara? Sebuah dugaan menyebutkan, bahwa suara keras itu disebabkan karena di antara ke-9 orang juri itu tak terdapat tokoh-tokoh tua seperti Ny. Maria Ulfah Subadio, R.M. Sutarto dan Moh. Said, yang dalam beberapa penjurian sebelumnya ikut serta. Seandainya di antara juri itu ada mereka, demikian kata dugaan itu, pasti juri FFI '77 akan lebih hati-hati dalam merumuskan kalimat-kalimat kritiknya. Tapi bagaimana dengan adanya D. Djajakusuma dan H. Rosihan Anwar? Meskipun lebih muda dari Pak Said, misalnya, mereka bisa dianggap bukan orang-orang tua yang suka menggebrakkan pendapatnya di depan publik. Dan mereka dalam FFI '77 bukan tinggal membacakan kalimat-kalimat yang disusun orang lain. Di samping itu, mereka sudah punya pengalaman penjurian FFI. Juga para anggota dewan juri bukan orang-orang baru dalam mengikuti perkembangan film Indonesia. Dengan kata lain, tak mungkin para juri FFI '77 termasuk orang yang kaget melihat wajah film Indonesia --betapapun jeleknya. Maka bisa saja diperkirakan adanya faktor lain sebagai penyebab. Mungkin justru karena sudah lama mengikuti perkembangan film nasional, suara keras mereka itu terdengar. Para juri mungkin merasa bahwa sudah saatnya kini kecenderungan yang mereka anggap kurang sehat dalam film nasional diperingatkan dengan tanda seru. Dari segi bisnis, film Indonesia setidaknya rata rata bukanlah usaha yang rugi. Kini, dengan adanya PT Perfin dan keharusan bagi bioskop buat memutar film nasional, tanggungjawab sosial para produser dan orang film menjadi lebih perlu disadari. Paling sedikit, termasuk dalam tanggungjawab sosial itu ialah membuat film yang bermutu, agar bioskop jangan kena getahnya - suatu tuntutan yang misalnya terdengar di Surabaya (lihat: Bisnis). Tapi benarkah itu semua jadi alasan juri FFI '77 buat bicara keras? Setidaknya dari catatan dua anggota juri, yang ditulis khusus untuk TEMPO nomor ini, dapat diperkirakan bahwa juri punya kesan: nampaknya kritik yang sudah lama terdengar terhadap film Indonesia, oleh para produser kurang diperhatikan. Misalnya adanya pameran kemewahan yang tak pada tempatnya, munculnya adegan erotik yang vulger, tak cocoknya latarbelakang sosial antara cerita film dengan masyarakat yang ada - semua itu masih berulang dari tahun ke tahun. Masalahnya, tentu saja, adakah semua hal yang "kurang sehat" itu semata-mata, merupakan kesalahan orang film? Bagaimana pun juga, prestasi film nasional selama ini bukan semata-mata merupakan hasil keinginan mereka sendiri. Struktur perfilman Indonesia sejak 1973 menyebabkan kehidupan perfilman sangat ditentukan oleh permintaan pasar, perizinan pemerintah serta restu Badan Sensor. Pasar, peranan pemerintah dan kekuasaan sensor itu toh termasuk bagian kenyataan Indonesia yang ikut memberi corak "wajah Indonesia" dalam film kita - suka atau tak suka para juri terhadap mutu "wajah" itu. Kekurangan dewan juri FFI '77. mungkin karena mereka seakan-akan tak memasukkan pertimbangan semacam itu dalam penilaian "galak" yang mereka umumkan. Kekurangan lain yang bukan kesalahan para juri - agaknya ialah berubahnya ketentuan penilaian dari tahun ke tahun, bersamaan dengan berubahnya susunan juri. Di dalam FFI '77 misalnya, para bintang yang suaranya terdengar di layar putih karena hasil dubbing suara orang lain, tidak dapat biji tinggi. Ini tak berlaku di festival sebelumnya - hingga pembuat film tak siap agaknya buat menghadapi perubahan itu. Juga tak adanya film terbaik dalam FFI '77 adakah berdasarkan ketentuan dewan juri tahun ini semata-mata. Mungkin sikap teguh ini baik. Tapi tidakkah kini timbul kesan bahwa film Si Dul Anak Modern seakan-akan lebih jelek dari Si Mamat, film terbaik FFI '74? Atau bahwa Yang Indah lebih jelek dari Perkawinan, pemenang film terbaik FFI '73? Jawabnya, tentu saja, "belum tentu". Sebab kriteria berbeda. Tapi di situlah justru soalnya: kenapa FFI tak punya pegangan yang agak tetap? Walhasil, FFI '77 menimbulkan perdebatan. Seperti FFI sebelumnya, hanya lebih keras kali ini. Dan para juri FFI '77 terkena kritik - seperti para juri sebelumnya, hanya jauh lebih keras kali ini. Mungkin semua itu justru menarik bagi suatu dialog, jika nanti para produser - seperti direncanakan Turino Junaidy - jadi bertemu dengan dewan juri. Turino sendiri, sebagai Ketua Yayasan Festival Film, mulai dikecam oleh rekan-rekannya. Ia ikut bertanggungjawab dalam soal ini, seperti dikatakan Wim Umboh akhir pekan lalu kepada TEMPO. Tapi setidaknya suara keras dan kontroversi dalam FFI '77 menunjukkan satu hal yang patut dibanggakan: bahwa festival film Indonesia berbeda dengan sementara festival di luar negeri yang cuma merupakan acara bagi-bagi hadiah, lalu ajojing dan cincay.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus