AGAK kurang sedap, memang. Festival Film Indonesia 1977 nyaris
dibuka tanpa doa, berlangsung tanpa glamor dan warna, dan
berakhir pekan lalu dengan ketersinggungan.
Ceritanya bisa dimulai dari Majelis Ulama Daerah Khusus bukota
lakarta. Untuk upacara pe nbukaan di Gedung Citra di Pusat
Perfilman H. Usmar Ismail, panitia rupanya menghubungi Majelis
itu. Mereka minta agar dari Majelis ada yang berkenan membacakan
doa dalam upacara Sabtu 26 Pebruari itu. Tapi Majelis ternyata
menolak. Dengan bahasa yang halus tapi lugas, isi surat balasan
kurang-lebih bernada "maaf-kami-takbersedia" Baik Majelis
sebagai lembaga, maupun para ularna secara perorangan yang sudah
dihubungi Majelis, menyatakan berat hati. Alasan: film nasional,
"dalam beberapa hal tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia"
....
Tentu saja adanya doa tak Wlaramkan, walaupun dalam FFI '77 ikut
juga misalnya salah satu prestasi film Indonesia: Tante Sex. Dan
doa pun dibacakan oleh H.O.R. Udaya dari Dinas Kerokhanian DKI.
Tapi Majelis Ulama DKI Jakarta nampaknya hanya bermaksud
mengingatkan: bagi sementara kalangan yang cukup bersuara, film
kita justru sedang diragukan "wajah Indonesia"-nya. Harian
terkemuka Kompas, misalnya, dalam tajuk yang menanggapi
hasil-hasil FFI '77, menulis: "Dihadapkan pada persaingan sesama
rekan di dalam negeri dan terhadap film impor, kita mendapat
kesan, unsur komersialisme semakin menonjol pada perfilman kita.
Jarang film yang benar-benar berjiwa dan berwajah Indonesia".
Maka pasti bukan cuma basa-basi bila dalam pidato pembukaan yang
dibacakan oleh Sekjen Departemen Penerangan Soetikno
Lukitodisastro, Menteri Mashuri menyambut gembira tema FFI '77:
"upaya menemukan identitas Indonesia dalam film nasional".
Seraya mengingatkan bahwa identitas nasional tidak boleh diberi
arti yang "sempit dan picik", Menteri memuji kesadaran untuk
tidak membuat film Indonesia "dengan klise film asing".
Di tengah-tengah tuntutan semacam itulah - yang sebenarnya
memantulkan kembali kritik terhadap film Indonesia sejak tiga
tahun yang silam -- FFI '77 berlangsung. Berbeda dengan festival
di Surabaya, Medan dan Bandung, misalnya, kali ini tak ada
"pawai artis". Tak nampak khalayak ramai berkerumun di panas
terik mengelu-elukan bintang-bintang pujaan mereka. Mungkin ini
karena orang lakarta sudah terbiasa dengan tokoih layar putih.
Tapi mungkin pula karena, seperti dikatakan Ketua Kayawan Film
dan Televisi Soemardjono menjelang pembukaan, FFI '77 ini
"disederhanakan, sehubungan dengan pemilu".
Tak kurang penting ialah pendekatan festival tahun ini, yang
diselepggarakan lebih cepat dari seharusnya - juga karena
pemilu. Menurut Soemardjono, "tahun ini pendekaan yang bersifat
promosi dihapuskan". Mungkin dari situ pula bisa dicari sebab,
mengapa festival berlangsung sonder keramaian
tongjring-tongjring, tak nampak bergincu dan berdandan.
Pendeknya, serius. Bahkan Turino lunaidi, Ketua Yayasan FFI,
dalam pidato pembukaan menyatakan tekadnya buat lebih
"meningkatkan mutu". Ia kaitkan tekad ini dengan kenyataan,
bahwa dewan juri - sebagai peniiai buat menentukan siapa yang
berhak mendapatkan piala Citra - "selalu jadi sasaran kritik".
Tidak jelas adakah untuk menghindarkan kritik maka buat FFI '77
uni Turino meminta bantuan Dcwan Kesenian Jakarta untuk memilih
para anggota dewan juri.
Dengan tanpa banyak kesukaran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
menyusun para juri. Sudah sejak 1973 sebenarnya secara tak
langsung DKJ ikut dalam penjurian festival: dari tahun ke
tahun, seorang atau lebih anggotanya selalu termasuk dalam regu
juri. Kali ini prosesnya lebh diperlancar karena Soemardjono
sendiri, yang di samping Turino merupakan motor penggerak FFI,
adalah anggata DIW Komite Film.
Dan regu juri pun dibentuklah: D. Djajakusuma, H. Rosihan Anwar,
Irawati M. Sudiarso, Zulharmans, Setyadi Tryman MS., Dr.
Soedjoko, D. Peransi, TaufKl Ismail, Salirn Said. Sebagian
besar dari mereka pernah duduk sebagai anggota dewan juri lebih
dari satu kali FFI. Setidaknya 7 dari 9 mereka adalah "muka-muka
lama".
Melihat itu, memang tak terduga bahwa keputusan juri FFI '77
ternyata merupakan keputusan yang berbeda dari yang pernah ada
selama ini. Setidaknya jika Tunno mengharapkan bahwa juri kali
ini bisa bebas dari kritik, ia keliru sama sekali. Belum pernah
sebelumnya FFI mernutuskan bahwa untuk satu tahun tidak ada flm
terbaik yang berhak satu piala Citra. Dan belum pernah penilaian
juri terus-terang dicerca orang film seperti dalam FFI '77 ini.
"Orang film biasa bermulut manis, terutama di muka pers", kata
seorang wartawan film, "tapi kali ini tumben tidak".
Suasana yang kurang lazim memang terasa dalam acara penutupan
FFI '77. Dan itu nampak sejak jam-jam sebelum pengumuman juri.
Di luar Gedung Citra di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang
luas itu, tak banyak tanda-tanda bahwa suatu puncak acara sedang
berlangsung di bagian dalam. Tak ada penonton berjubel.
Mobil-mobil tak 'sampai berdesakdesak memenuhi tempat parkir.
Di dalam, para hadirin yang pada duduk di kursi gedung bioskop
itu sebagian esar adalah orang film yang tak pasang dasi.
Pakaian gemerlap dan resmi yang biasanya bermunculan di
penutupan FFI kali ini tak nampak merata. Bahkan musikus Idris
Sardi -- yang malam itu kemudian menerima satu piala Citra untuk
iringan musiknya - cuma berbaju lengan pendek. "Seperti habis
dari lapangan golt", komentar seorang tamu.
Keadaan kian kurang rapi ketika acara diundurkan hampir satu
setengah jam. Para hadirin mengisi waktu sembari bergurau, atau
ngobrol. Juga mereka yang di baris terdepan, di mana sudah duduk
menunggu Menteri Penerangan Mashuri dengan nyonya dan juga
Gubernur Ali Sadikin dengan nyonya. Juga bekas Menteri
Penerangan Budiardjo, kini duta besar untuk Spanyol, yang sedang
di Jakarta. Apa boleh buat semuanya harus menanti naskah hasil
penilaian juri tiba dari kantor Komdak Metro Jaya, di mana
dokumen itu terjaga secara tradisionil dalam sampul yang dilak
supaya jangan sampai dipalsukan atau dibocorkan.
Setelah akhirnya acara dimulai, dengan penyiar TVRI Anita
Rachman di depan mike, ternyata urutan berubah sedikit: Gubernur
Ali Sadikin tak jadi memberikan pidato sambutan. Ia kelihatan
batuk-batuk. Akhirnya langsung Menteri Mashuri yang dipersilakan
ke atas pentas, setelah - dengan isyarat ia sekali lagi
menawarkan kesempatan itu pertama-tama kepada Gubernur (Bang Ali
menggeleng dengan hormat).
Pidato Menteri tak panjang. Dalam baju batik warna coklat dan
santai, Menteri berbicara tanpa teks - dan diselingi humor. Ia
mengingatkan lagi akan pentingnya masalah identitas dalam film
nasional, dan pendekatan integral dalam menanoani masalah film.
Setelah Mienteri Penerangan, sampailah puncak acara yang
ditunggu: pengumuman juri. Rupanya karena panjangnya naskah
pengumuman, para juri menampilkan H. Rosihan Anwar dan Ketua D.
Djajakusuma untuk membacakan hasil penilaian mereka.
Direncanakan bahwa Rosihan akan membaca bagian pertama, berupa
penilaian umum dewan juri terhadap semua film yang ikut FFI '77.
Djajakusuma kemudian akan membacakan siapa-siapa pemenang yang
berhak mendapatkan piala Citra dan piala lain.
Pilihan atas Rosihan sebagi pembaca hasil penilaian umum
ternyata menghasilkan sesuatu yang menarik: Rosihan telah
membikin mata acara itu suatu pertunjukan tersendui. Mula-mula
tibalah perwira kepolisian yang bertugas mengawal dokumen hasil
penilaian juri, ke atas pentas. Disaksikan para hadirin, Rosihan
membuka dan mengeluarkan isi amplop kuning itu. Ia setengah
bergurau: "Supaya dapat disaksikan bahwa para juri pun
memperhatikan faktor sekuriti". Setelah itu ia mulai membaca
dengan suara jelas, berirama dan di sanasini kocak - seraya
tubuhnya tidak menghadap ke hadirin, lantaran mencari cahaya
lampu yang paling efektif.
Agaknya buat pertama kali dalam sejarah FFI sejak 1973, bahwa
hasil penilaian umum dewan juri bisa menarik perhatian seperti
malam itu. Biasanya hadirin mendengarkannya sebagai sekedar
pengantar yang tak perlu. Biasanya mereka tak sabar menanti
pengumuman para pemenang piala Citra. Tapi kali ini, hadirin
pasang kupung. Gaya Rosihan membaca memang memikat, tapi juga
isi penilaian umum itu memang mengagetkan. Sebab di sana tak ada
kalimat ramah yang bisa membungkus kritik. Pukulannya terasa
keras sekali. Antara lain:
"Dari penilaian 27 film cerita itu, Dewan Juri berkesimpulan:
film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser semata-mata
sebagai alat hiburan yang tidak selalu berarti sehat. Produser
film Indonesia menampakkan diri terutama sebagai
pedagang-pedagang impian. Dalam posisi demikian memang produser
tidak berpijak pada bumi Indonesia, sebab mimpi yang indah
selalu berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal".
"Kecuali sebagian kecil, film-film ini samasekali tidak
memperlihatkan keterlibatan sosial. Beberapa fulm mencoba
berbicara tentang masalah sosial, tapi lantaran kurangnya
persiapan dan pengenalan lingkungan, maka masalah sosial yang
ditampilkan terasa sangat dibuatbuat dan semu".
"Dibandingkan dengan tahun 1973 umpamanya terlihat adanya
kemunduran dalam keragaman tema dan lingkungan cerita. Bersamaan
dengan itu keragaman watak manusia juga semakin miskinù"
"Penulis skenario, sutradara dan editor belum menguasai wawasan
dramaturgi yang memadai. Film-film peserta kali ini dipenuhi
kejadian-kejadian kebetulan, tidak bermotif".
"Juga fotografi film kita masih pada tingkat menciptakan
gambar-gambar yang baik. Fotografi dalam film kita belum
memenuhi tuntutan dramaturgi. Demikian juga dalam ilustrasi
musik dan pengarahan artistik".
Tak salah lagi: dewan juri FFI '77 memang menggebrak prestasi
film Indonesia selama tahun 1976. Sebagai klimaksnya bahkan
diputuskan bahwa tidak ada piala Citra diberikan kepada "film
terbaik". Tak ada film yang memenuhi syarat dewan juri FFI '77.
Syarat itu, berbeda dengan syarat dewan juri sebelumnya, rupanya
berdasarkan ketentuan tersendiri: gelar "Film Terbaik" hanya
akan diberikan kepada sebuah film yang berhasil mengumpulkan
empat piah penopang, yakni pengolahan cerita (skenario) terbaik,
sinefotografi terbaik, penyutradaraan terbaik dan
pemaduan-gambar (editing) terbaik.
Dari semua film yang masuk, agaknya hanya Si Dul Anak Modern dan
Sesuatu yang Indah yang hampir saja lulus ke kelas tertinggi
yang ditentukan para juri itu. Kedua film itu, masing-masing
disutradarai oleh Syumanjaya dan Wim Umboh, memang bertanding
dengan sengit dalam rapat-rapat penilaian. Tapi akhirnya Si Dul
hanya memperoleh piala Citra untuk penyutradaraan dan pengolahan
cerita - di samping satu Citra lagi buat aktornya, Benyamin S.
sebagai si Dul. Sesuatu yang Indah hanya memperoleh Citra buat
editing, yang dilakukan Wim Umboh sendiri, di samping Citra
untuk musik dan Citra lain untuk Christine Hakim, pemegang peran
utama wanita.
Dengan komposisi semacam itu, wajar jika tak ada satu pihak yang
puas benar. Apalagi suasana sebelumnya telall jadi panas oleh
gebrakan-gebrakan juri. Di pentas, ketika semua pemenang sudah
berjajar untuk disalami dan aipotret, hanya Syumanjaya yang
nampak senyum-senyum terus bagaikan Jimmy Carter. Wim Umboh
tampak tidak begitu cerah. Dalam jas hitam dan dasi konservatif,
ia nampak capek. Widyawaty yang cantik, yang diantar suaminya
Sophaan Sophian sampai ke tepi pentas juga tak ada menunjukkan
kegembiraan. Sebagai peran pendukung wanita, ia telah berhasil
mengalahkan calon kuat lain, misalnya konon Rae Sita dalam
Cintaku di Kampus Biru. Tapi bintang dalam One Way Ticket ini
agaknya ikut gundah: suaminya marah kepada dewan juri yang baru
saja mengecam film Indonesia secara tajam.
Cuma Christine Hakim yang kemudian mengikuti Syumanjaya dalam
soal wajah riang: dengan pakaian putih mengkilap seperti seorang
puteri dari dongeng Yunani, Christine senyum ke sana ke mari -
sejak penyanyi Brury Pesulima, pacarnya, melepaskannya naik
pentas untuk terima piala. Ini adalah Citranya yang kedua. Di
tahun 1974, Christine menang untuk hal yang sama dalam film
Cinta Pertama.
Sementara itu, cukup banyak juga yang tak datang ke pentas,
ketika nama mereka diumumkan sebagai pemenang.
H. Syamsuddin Yusuf, pemenang sinefotografi untuk film Ateng Sok
Tahu (yang juga film terlaris selama 1976), tak muncul. Roy
Marten, bintang muda baru yang menarDk perhatian sejak Cintaku
Di Kampus Biru, juga tak hadir buat menerima piala Usmar Ismail
sebagai aktor harapan dalam Sesuatu Yang Indah, Sudarsono
Wiryosuwaryo, pengarah artistik buat film Mustika Ibu, juga tak
kelihatan. Mungkin orang yang sama sekali tidak dikenal ini tak
mengharap, bahwa ia akan bisa mendapatkan sebuah Citra --
terutama dalam film yang kata setengah orang dibikin secara tak
serius. Sebaliknya yang punya cukup alasan untuk berharap
menang, tapi ternyata namanya tak disebut-sebut adalah Marini,
untuk peranannya dalam Sesuatu Yang Indah, dan Wahab Abdi, untuk
peran pendukung dalam Si Dul. Kedua pemain berbakat dan serius
ini barangkali termasuk yang kecewa . . .
Tapi suasana sehabis pengumuman yang juga dibacakan oleh Rosihan
Anwar itu, (karena D. Djajakusuma roboh pingsan setelah tiga
kalimat di atas pentas), terutama bukanlah suasana kecewa.
Melainkan tersinggung. Siapa-siapa yang menang Citra bahkan kali
ini tak dibicarakan dan dipersoalkan - satu hal yang juga belum
pernah terjadi dalam FFI yang terdahulu. Di plaza Gedung Citra,
di mana makanan dan minuman disediakan buat para hadirin setelah
gong penutup dipukul enteri lashuri, resepsi jadi hangat oleh
pembicaraan sekitar kritik tajam juri kepada film Indonesia.
"Saya sih tidak mempersoalkan keputusannya", kata Ny. Halidar
Hadiyuwono, produser dan tokoh PPFI (Persatuan Produser Film).
"Komentarnya itu yang menyakitkan hati".
Dari wajah Ny. Hadiyuwono yang tenang, sampai dengan ucapan
bintang film dan praduser Ratno Timur yang memaki, tak pelak
lagi: sebagian besar orang film merasa dewan juri telah
"menghina" mereka atau "menggurui". Bahkan tiba-tiba tertiup
kecurigaan rara juri ditunggangi oleh anggota-anggota Lembaga
Pengembangan Film Nasional (Lepfinas yang baru saja dibentuk
oleh Menteri Penerangan. Sebagai salah satu bukti: Ketua Dewan
Juri Djajakusuma dan anggota Dewan Juri Zulharmans adalah orang
Lepfinas. "Keputusan yang menjelek-jelekkan film nasional itu
adalah bombardemen pertama mereka sebelum Lepfinas bekerja",
tuduh seorang produser yang minta agar namanya dirahasiakan.
Tapi kenapa bombardemen itu, bila betul ada, harus datang dari
Lepfinas? Rupanya ada perkiraan bahwa Lepfinas akan mengarahkan
film ke suatu kecenderungan yang tak menguntungkan para produser
yang telah terbiasa dengan gaya selama ini. Misalnya, dengan
mengurangi aksentuasi komersiil seraya melahirkan film-film
"nyeni" yang biasanya dapat keplok tapi tak laku. Mungkin pula
dengan lebih meneliti soal ijin produksi, sehingga film macam
Tante Sex tidak perlu ada, sementara film seperti Enam Jam di
Yogya dapat dibuat lagi tanpa repot mencari cukong.
Namun apapun niat Lepfinas nanti, nampaknya agak terlampau jauh
juga tuduhan bahwa dewan juri telah diperalat lembaga tersebut.
Tak setiap hal selalu bisa dikait-kaitkan dengan "penunggangan"
dan merupakan hasil suatu konspirasi. "Yang jelas maksud kami
baik", kata Setiadi Tryman M.S., wartawan senior Sinar Harapan
yang juga anggota juri. "Demi kemajuan film nasional juga".
Pembelaan Setiadi bisa dimengerti. Betapapun, bagi orang di luar
memang timbul pertanyaan apa gerangan yang menyebabkan dewan
juri FFI '77 keras berbicara?
Sebuah dugaan menyebutkan, bahwa suara keras itu disebabkan
karena di antara ke-9 orang juri itu tak terdapat tokoh-tokoh
tua seperti Ny. Maria Ulfah Subadio, R.M. Sutarto dan Moh.
Said, yang dalam beberapa penjurian sebelumnya ikut serta.
Seandainya di antara juri itu ada mereka, demikian kata dugaan
itu, pasti juri FFI '77 akan lebih hati-hati dalam merumuskan
kalimat-kalimat kritiknya.
Tapi bagaimana dengan adanya D. Djajakusuma dan H. Rosihan
Anwar? Meskipun lebih muda dari Pak Said, misalnya, mereka bisa
dianggap bukan orang-orang tua yang suka menggebrakkan
pendapatnya di depan publik. Dan mereka dalam FFI '77 bukan
tinggal membacakan kalimat-kalimat yang disusun orang lain. Di
samping itu, mereka sudah punya pengalaman penjurian FFI. Juga
para anggota dewan juri bukan orang-orang baru dalam mengikuti
perkembangan film Indonesia. Dengan kata lain, tak mungkin para
juri FFI '77 termasuk orang yang kaget melihat wajah film
Indonesia --betapapun jeleknya.
Maka bisa saja diperkirakan adanya faktor lain sebagai penyebab.
Mungkin justru karena sudah lama mengikuti perkembangan film
nasional, suara keras mereka itu terdengar. Para juri mungkin
merasa bahwa sudah saatnya kini kecenderungan yang mereka anggap
kurang sehat dalam film nasional diperingatkan dengan tanda
seru. Dari segi bisnis, film Indonesia setidaknya rata rata
bukanlah usaha yang rugi. Kini, dengan adanya PT Perfin dan
keharusan bagi bioskop buat memutar film nasional, tanggungjawab
sosial para produser dan orang film menjadi lebih perlu
disadari. Paling sedikit, termasuk dalam tanggungjawab sosial
itu ialah membuat film yang bermutu, agar bioskop jangan kena
getahnya - suatu tuntutan yang misalnya terdengar di Surabaya
(lihat: Bisnis).
Tapi benarkah itu semua jadi alasan juri FFI '77 buat bicara
keras? Setidaknya dari catatan dua anggota juri, yang ditulis
khusus untuk TEMPO nomor ini, dapat diperkirakan bahwa juri
punya kesan: nampaknya kritik yang sudah lama terdengar terhadap
film Indonesia, oleh para produser kurang diperhatikan. Misalnya
adanya pameran kemewahan yang tak pada tempatnya, munculnya
adegan erotik yang vulger, tak cocoknya latarbelakang sosial
antara cerita film dengan masyarakat yang ada - semua itu masih
berulang dari tahun ke tahun.
Masalahnya, tentu saja, adakah semua hal yang "kurang sehat" itu
semata-mata, merupakan kesalahan orang film? Bagaimana pun juga,
prestasi film nasional selama ini bukan semata-mata merupakan
hasil keinginan mereka sendiri. Struktur perfilman Indonesia
sejak 1973 menyebabkan kehidupan perfilman sangat ditentukan
oleh permintaan pasar, perizinan pemerintah serta restu Badan
Sensor. Pasar, peranan pemerintah dan kekuasaan sensor itu toh
termasuk bagian kenyataan Indonesia yang ikut memberi corak
"wajah Indonesia" dalam film kita - suka atau tak suka para juri
terhadap mutu "wajah" itu.
Kekurangan dewan juri FFI '77. mungkin karena mereka seakan-akan
tak memasukkan pertimbangan semacam itu dalam penilaian "galak"
yang mereka umumkan. Kekurangan lain yang bukan kesalahan para
juri - agaknya ialah berubahnya ketentuan penilaian dari tahun
ke tahun, bersamaan dengan berubahnya susunan juri.
Di dalam FFI '77 misalnya, para bintang yang suaranya terdengar
di layar putih karena hasil dubbing suara orang lain, tidak
dapat biji tinggi. Ini tak berlaku di festival sebelumnya -
hingga pembuat film tak siap agaknya buat menghadapi perubahan
itu. Juga tak adanya film terbaik dalam FFI '77 adakah
berdasarkan ketentuan dewan juri tahun ini semata-mata. Mungkin
sikap teguh ini baik. Tapi tidakkah kini timbul kesan bahwa film
Si Dul Anak Modern seakan-akan lebih jelek dari Si Mamat, film
terbaik FFI '74? Atau bahwa Yang Indah lebih jelek dari
Perkawinan, pemenang film terbaik FFI '73? Jawabnya, tentu saja,
"belum tentu". Sebab kriteria berbeda. Tapi di situlah justru
soalnya: kenapa FFI tak punya pegangan yang agak tetap?
Walhasil, FFI '77 menimbulkan perdebatan. Seperti FFI
sebelumnya, hanya lebih keras kali ini. Dan para juri FFI '77
terkena kritik - seperti para juri sebelumnya, hanya jauh lebih
keras kali ini. Mungkin semua itu justru menarik bagi suatu
dialog, jika nanti para produser - seperti direncanakan Turino
Junaidy - jadi bertemu dengan dewan juri. Turino sendiri,
sebagai Ketua Yayasan Festival Film, mulai dikecam oleh
rekan-rekannya. Ia ikut bertanggungjawab dalam soal ini, seperti
dikatakan Wim Umboh akhir pekan lalu kepada TEMPO.
Tapi setidaknya suara keras dan kontroversi dalam FFI '77
menunjukkan satu hal yang patut dibanggakan: bahwa festival film
Indonesia berbeda dengan sementara festival di luar negeri yang
cuma merupakan acara bagi-bagi hadiah, lalu ajojing dan cincay.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini