Penyair Taufiq Ismail adalah salah seorang juri dalam FFI 1977.
Ia sejak lama "penasaran" tentang tuduhan bahwa film Indonesia
"banyak sex", "tidak mencerminkan kenyataan Indonesia",
"memamerkan kemewahan" dan semacam itu. Apa betul? Berapa
persen yang begitu? tanya Taufiq dalam hati.
Maka sejak hari pertama penjurian ia bawa buku catatan dan
menyiapkan satu sistem buat menghitung, seberapa jauh tuduhan di
atas terbukti. Sehabis penjurian ia pergunakan mesin hitung
(jangan lupa, dokter hewan ini pernah belajar statistik).
Hasilnya ia terakan di bawah ini:
DARI 27 film cerita yang ikut Festival Film Indonesia 1977, 23
buah berkisah mengenai manusia kota bertempat di kota (85,1%)
dan 4 buah mengenai manusia desa dengan desa sebagai lingkungan
(14,9%).
Hampir seluruhnya mengenai kelas menengah (92,6%). Hanya dua
film saja murni bercerita tentang petani di pedesaan (7,4%).
Dari dua film selebihnya yang mengambil tempat di desa juga,
sebuah (3,7%) para pelakunya berpindah ke kota, sedangkan satu
lagi (3,7%) pada prinsipnya para pelakunya tinggal di desa saja
walaupun pernah pindah ke kota dalam jangka waktu pendek. Film
terakhir ini misalnya, berkisah tentang dua keluarga di desa:
satu kelas menengah pernah tinggal di kota (orang kaya dengan
sejumlah sawah, kebun dan ternak) dan satu kelas bawah (pedagang
kopi di warung dinding bambu).
Lambang Kekayaan
Mobil Jerman Barat Mercedes-Benz sebagai simbol kekayaan mulai
digeser oleh sedan mahal bikinan Swedia itu, Volvo Lima buah
film secara menyolok memperlihatkan merek-merek mobil ini
(18,5). Mercedes-Benz bersiluncur dengan sedapnya pada tiga
film (satu di antaranya di jalanan desa tak beraspal, milik
petani-peternak kaya itu), dan Volvo pada dua film. Pada dua
film terakhir ini, Volvo terdapat lebih dari sebuah dan lebih
dari satu warna, pada masing-masing film.
Perabot Ukir
Sebagai pertanda taraf ekonomi orang Indonesia yang tinggi baik
juga disebut tentang perabot ukir. Pada 55,5% dari seluruh film
(15 buah), atau 65,2 dari film yang ceritanya bermain di kota,
nampak perabot ukir menjadi unsur penting dalam penataan
artistik. Perabot ukir ini meliputi kursi dan meja tamu, kursi
dan meja makan, lemari hiasan dan lemari pakaian. Lampu gantung
berukir bergantungan di langit-langit. Pada sebuah rumah
pelacuran nampak sampai tiga lampu gantung semacam ini masuk
dalam frame.
Sejalan dengan perabot ukir dan lampu gantung berukir ini juga
hampir selalu digunakan bunga plastik dan permadani. Bunga
plastik tidak selalu tumbuh di rumah tokoll-tokoll Indonesia
kaya saja, tetapi terdapat juga sebagai elemen penataan artistik
di rumah tokoh yang tidak berada. Pada dua film (7,2%) perabot
ukir sedemikian berdesak desaknya dalam adegan, sehingga
kelihatan seperti toko meubel yang tak punya gudang atau rumah
orang kaya Indonesia yang meluap nafsu pamernya. Pada kedua film
tersebut penataan artistik semacam ini tidak lagi mendukung
dramaturgi.
Gejala Anak Tunggal
70,3% film menampilkan tokoh anak tunggal. Artinya tokoh pada
19 film adalah anak satu-satunya dalam keluarga.
Baru pada 8 film selebihnya (29,7%) keluarga Indonesia itu
beranak lebih dari satu orang.
Dari film yang 19 itu, dua film (7,4%) menunjukkan dua anak
tunggal dalam setiap filmnya, sedangkan satu film (3,7%)
menampilkan empat anak tunggal. (Ceritanya begini: dua anak
tunggal berpacaran, kawin dan beranak. Anaknya tunggal pula.
Salah satu tokoh dalam plot cerita juga anak tunggal. Jadi ada
empat anak tunggal dalam satu film).
Bagaimana kira-kira keterangan wajah anak tunggal yang demikian
dominan dalarn film kita ini? Anak yang banyak menyulitkan
penulis skenario. Dia mesti mengarangkan dialognya,
mengembangkan perwatakan mereka, menganyam mereka dalam jalinan
konflik secara rapi, mengatur pengadeganan mereka, pokoknya
repotlah. Kenapa mesti repot-repot amat?
Anak Tunggal Sajalah
Begitu juga dengan tokoh-tokoh tambahan lain, yang dari sudut
pandangan produser menambah biaya saja. Biasa pula jadi korban
adalah pembantu rumah-tangga. Demikianlah kita lihat pada 5 film
(18,5%) ada keluarga Indonesia yang kelas sosial dan secara
ekonomis berkecukupan, tetapi tidak ada pembantu atau babunya,
tanpa alasan yang logis terjalin dalam alur cerita.
Kehormatan
Kelab malam muncul pada 52,1% film yang ceritanya berlangsung di
kota (12 dari 23 film, jadi lebih dari separo). Di setiap adegan
kelab malam selalu ada botol minuman keras dan hostess. Seperti
di sasana tinju, kerja orang Indonesia selalu berantem di kelab
malam.
Pada keenam film (22,2%) di mana diceritakan wanita Indonesia
hidup ekonominya terdesak, Ibu Kita Kartini dipaksa untuk:
menjual kehormatannya,
menyanyi lantas menjual kehormatan, dan
memijat di rumah mandi uap dan akhirnya menjual kehormatan
juga.
Tidak pada sebuah filmpun yang ikut FFI 1977 ini wanita
Indonesia yang hidupnya secara ekonomis sudah terlampau kepepet,
diberi jalan mencari nafkah dengan mati-matian menjahit, jualan
gado-gado, jadi guru, makelaran barang perhiasan, mencuci
pakaian orang, menyapu jalan raya, kerja di pabrik plastik, jadi
buruh batik, atau kerja kasar lainnya.
Semuanya ambil jalan pintas: jual kehormatan.
Hubugan Kelamin
Hubungan kelamin di luar pernikahan yang dinampakkan di layar
putih terdapat pada 11 film, atau 40,7%. Dari 11 film itu, 5
film (18,5%) memperlihatkan adegan hubungan sex dengan pelacur
dan bukan-pelacur, pada satu film (3,7%) dengan pelacur saja,
dan pada 5 film (18,5%) melulu dengan bukan-pelacur.
Dilihat dari jumlah peristiwa hubungan kelamin, maka terdapat 6
peristiwa hubungan kelamin dengan pelacur (37,5%) dan 10
peristiwa hubungan kelamin dengan bukan-pelacur (62,5%). Yang
dimaksud dengan bukan-pelacur itu adalah kekasih, kenalan, babu
dan isteri orang. Indikasi ke arah masyarakat permissive?
Hubungan sex dengan yang sejenis dan masturbasi tidak ada. Kasus
perkosaan tidak dicatat.
Tokoh yang bunuh diri terdapat pada dua film (7,2%) dan yang
mencoba bunuh diri tapi gagal atau digagalkan ada pada 4 film
(14,4%).
Tema dan Cerita
Dilihat dari ceritanya, 20 film (74%) berjenis drama, 2 buah
(7,4%) komedi, sebuah kisah kejahatan dengan suspense (3,7%), 3
buah cerita anak-anak (11,2%) dan sebuah lagi cerita anak-anak
belasan tahun atau remaja (3,7%).
Tiga dari 20 film drama tersebut merupakan film berurai air mata
(15%). Enam buah di antaranya (30%) diramu dengan bumbu dan
cabe sex yang kuat.
Contoh dialog dari salah satu di antara film sex yang pedas itu:
"barangmu itu masih mulus". Nafsu berahi dikatakan "ngumpul di
paha". Dan ketika tante syahwat itu berbaring-baring malas
dengan pejantan sewaan di atas pasir pantai, dia mengelus lutut
sang gigolo dengan tungkai kirinya seraya memuji "bulu maut"
lelaki itu. Lingo di kalangan tante-tante sex umur 40-an adalah
istilah ekonomi input untuk hubungan kelamin dan output untuk
entah apalah itu.
Contoh salah satu adegan Tante Sex (skenario Pitrajaya Burnama,
sutradara Bay Isbahi): kamera menembak reproduksi Venus
Boticelli, pelahan menggusur ke bawah dan Tuty S berbaring
miring, pakaiannya dua potong tekstil hitam agak menerawang yang
dinamakan orang pakaian dalam, dan di depannya anak belasan
tahun (Rano Karno) melotot mempelajari topografi Tante Kita yang
tidak berimbang komposisi hormonnya itu. Exhibisionisme untuk
pendidikan sex?
Dari 27 film ini cuma sebuah yang menggambarkan patriotisme
(3,7%), yaitu mengenai penunaian tugas merebut Irian Barat
(Semoga Kau Kembali, skenario dan sutradara Motinggo Busye).
Yang dalam alur cerita memaparkan revolusi kernerdekaan dengan
adegan pertempuran cuma satu juga 3,7%) yaitu Mustika Ibu
(skenario Sufriamin Umar, sutradara Wisjnu Mouradhy). Namun
kisah utamanya adalah perjalanan hidup seorang pengusaha, sebuah
biografi sebenarnya seorang usahawan perkapalan Indonesia
turunan Cina dari Nam An. Apakah film kita kehilangan tema
patriotisme? Ya.
Berjuang melawan tahayul adalah tema film Apa Salahku (skenario
dan sutradara Sandy Suwardi Hasan), sebuah film drama berurai
air mata, yang satu-satunya menggarap tema ini (3,7%). Tanpa
berkhotbah mengenai modernisasi, tanpa pretensi mau jadi manusia
moderen, Apa Salahku menggambarkan pertikaian di masyarakat desa
yang masih membandel percaya pada kesialan yang dibawa sejak
lahir paa seorang anak perempuan desa kecil, Faradilla Sandy.
Drama satire satu-satunya (3,7%) Si Doel Anak Moderen, skenario
dan sutradara Sjumanjaya, mencemooh pemuda pinggiran yang mau
jadi pemuda ibukota (yang kepingin jadi "anak modern") dan juga
mengejek habis-habisan orang Betawi keturunan Arab Hadramaut
sekaligus orang-orang kampung yang karikatural itu. Orang-orang
kampung itu diberi Syumanjaya kopiah haji di kepala mereka.
Pembukaan wilayah rimba raya Indonesia yang mengundang
mesin-mesin baru nampak sebagai latar belakang pada sebuah film
-(3,7o), skenario Arifin C. Noer, sutradara Wim Umboh, berjudul
Sesuatu Yang Indah. SYI bertema kisah cinta segitiga-segiempat
dua orang penerbang kakak-adik. Masalah manusia Indonesia dengan
alam rimba raya yang perawan dan keras, dengan kerja menggali
tambang dan kontak manusia dengan mesin-mesin baru serta konflik
yang munkin timbul karenanya. tidaklah dipersoalkan dalam SYI.
sebab tidak diangap Penting.
Film anak-anak (11,2%) yang 3 buah itu berturut-turut mengenai
penculikan anak orang kaya, fantasi jadi gubernur Jakarta selama
satu hari dan perlawanan terhadap tahayul orang desa. Sebuah
film remaja (3,7%) berjudul Remaja 76 (skenario Ismail
Soebardjo dan Teguh Esha, sutradara Ismail Soebardjo)
mengisahkan kehidupan biasa anak-anak remaja di sebuah SMA
Jakarta. Alur cerita mendatar tetapi hidup dengan dialog yang
segar, bukan bahasa-buku.
Walaupun kisah drama dengan bumbu dan cabe sex banyak (30%),
tetapi yang bertema kekerasan, hanya satu (5%). Orang biasanya
menggandengkan kecenderungan sex dengan kekerasan. Film dengan
tema cerita rakyat absen dalam festival ini (0%). Meskipun
film-film kita ternyata urban (85,1%), tetapi tema yang
diangkat dari masalah sosial di kota berpusu-pusu di sekitar
soal terbatas benar: narkotika, kesulitan ekonomi (erat dengan
jual kehormatan), cinta tidak sampai, otoritas orang tua pada
anak. Masalah sosial yang aktuil seperti sulitnya mendapatkan
kesempatan kerja, hancurnya industri kecil, krisis perumahan,
berjangkitnya hama pertanian, kepadatan penduduk di pulau Jawa,
mahalnya biaya pendidikan, untuk beberapa misal, belum dipetik
jadi tema yang dikembangkan sebagai kisah manusia Indonesia.
Produser tidak tertarik pada tema-tema ini? Betul.
Film Dokumenter
Ada sebuah film animasi dan 9 dokumenter. Dari yang 9 ini 4
mengenai pembangunan fisik, 2 mengenai olahraga, dan
berturut-turut masing-masing satu mengenai adat, bunga dan
riwayat hidup pemimpin pergerakan nasional.
Sembilan dari 10 film ini bertata-warna, dan sebuah hitam-putih,
yaitu Ki Hadjar Dewantoro.
Sehabis melihat segala yang gemerlapan dari entri festival,
menyaksikan film hitam-putih dokumenter mengenai almarhum Ki
Hadjar, saya jadi terpukau. Film itu secara teknis, miskin.
Dengan teknik wawancara kita dibawa menyelusuri kehidupan
pemimpin tua itu. Wajah Ki Hadjar yang kerut-merut, kurus,
berkemeja katun itu mengingatkan kita bahwa pernah dulu ada di
antara kita keteguhan cita-cita, keluhuran budi dan
kesederhanaan hidup, yang kini begitu menipis di zaman kita ini.
Adegan pemakaman alangkah mengharukan. Kolonel Soeharto,
berbintang tiga, adalah inspektur upacara. Jenazah masuk tanah,
semua mengusap mata: sebuah kesederhanaan telah dikuburkan.
Lampu ruangan hidup kembali dan kita tercenung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini