Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Kiai Penyuka Kitab Al-Hikam

Achmad Hasyim Muzadi berpulang dengan setumpuk warisan luhur. Pesantren mahasiswa, dialog antariman, dan ketegasannya soal bentuk negara.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUHNYA yang kurus terbaring lunglai saat beberapa kerabat dan sahabatnya menjenguk. "Saya sedih kiai yang biasanya penuh canda ini rebahan dalam diam," ujar Mahfud Md., mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, sahabatnya. Begitupun ketika Presiden Joko Widodo membesuknya pekan lalu. Beberapa menit Jokowi melakukan kontak melalui bahasa isyarat dengan Kiai Hasyim Muzadi. Sebelum pulang, ia berpesan kepada masyarakat agar mendoakan sang kiai supaya cepat sembuh.

Tapi takdir berkehendak lain. Kamis pekan lalu, pukul 06.15, Kiai Haji Achmad Hasyim Muzadi wafat pada usia 72 tahun di rumahnya yang bersebelahan dengan Pesantren Al-Hikam, Cengger Ayam, Malang, Jawa Timur, setelah dirawat intensif selama beberapa hari di rumah sakit. Jenazahnya kemudian diterbangkan ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, lalu beriringan menuju lokasi permakaman di pesantrennya yang kedua yang belum lama ia dirikan, Al-Hikam di Depok, Jawa Barat.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi inspektur upacara pemakaman anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu pada Kamis sore pekan lalu, yang dilakukan secara militer. Salahuddin Wahid, sohibnya dari Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, berpidato mewakili keluarga. Sejumlah menteri, pimpinan partai politik dan organisasi kemasyarakatan Islam, serta beberapa duta besar tumplek di tengah ribuan pelayat dengan backsound Surat Yasin, tahlil, dan zikir yang mengalun tanpa henti.

Almarhum meninggalkan seorang istri, Nyai Mutammimah, dan enam anak. Ia juga menitipkan warisan berharga: dua pondok pesantren khusus mahasiswa yang sama-sama dinamakan Al-Hikam di Malang dan Depok. Sejatinya Kiai Hasyim berencana mendirikan satu lagi cabang Al-Hikam di kawasan Bogor, Jawa Barat. Ia sudah blusukan mencari tanah di sana. "Semua waktu, uang, dan harta beliau didedikasikan ke pesantren," ujar Arif Zamhari, menantunya.

Al-Hikam adalah nama favorit Hasyim. Sesungguhnya ini tak lain judul kitab tasawuf klasik yang kerap diajarkan di pesantren, yakni karya magnum opus Syekh Ibnu Atha’illah (wafat pada 1309), mursyid ketiga Thariqah Syadziliyah yang berasal dari Kota Iskandariyah (Alexandria), Mesir. Al-Hikam berisi suluk dan aforisme, pepatah-petitih dalam menempuh perjalanan spiritual agar manusia selalu dekat dengan Sang Pencipta. Sesekali Hasyim mengajar mengaji kitab ini di hadapan santri-santri senior di Malang dan Depok.

Saking cintanya pada petuah kitab itu, sampai-sampai ketika sakit, Hasyim berpesan kepada seorang santri senior agar menuliskan kembali nukilan kitab itu, lalu ditaruh di dinding kamarnya. Ia pun berwasiat agar dimakamkan di Al-Hikam Depok, supaya dekat dengan santri dan mendengar alunan mereka mengaji di pesantren itu. Di Depok, Kiai Hasyim pernah mengisahkan cita-citanya. "Saya ingin menampung santri mahasiswa yang penghafal Quran di sini," katanya kepada Tempo ketika fondasi pondok pesantren itu sedang dibangun. Kala itu masjid utama yang juga dinamai Al-Hikam sudah berdiri megah-dengan daun pintu dari kayu jati solid.

Dunia pesantren dan Nahdlatul Ulama seolah-olah menjadi panggilan jiwanya-"Ini hobi saya," ujar Hasyim suatu saat, terkekeh. Ia pernah mondok di pesantren modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, juga nyantri di pesantren tradisional di Senori, Tuban, Jawa Timur, dan Lasem, Jawa Tengah. Lalu ia melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Malang. "Kiai Hasyim adalah sosok ulama yang paham betul lektur tradisional sekaligus modernitas pesantren, sehingga mewarnai cara berpikirnya yang luwes dan cerdas," kata Komaruddin Hidayat, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat.

Hasyim muda merintis karier sebagai aktivis Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di Indonesia, sejak dari pengurus ranting di Bululawang, Malang. Setahun kemudian, ia menjadi Ketua Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor di kota yang sama, lalu terpilih sebagai Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Malang. Dari sini namanya melejit memimpin NU Jawa Timur pada 1992-1999. Sejak itu, Hasyim dijagokan memimpin NU di pusat.

Ternyata benar. Ketika Abdurrahman "Gus Dur" Wahid menjadi presiden, Hasyim terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam muktamar di Kediri, Jawa Timur, pada 1999. Ia memimpin hingga dua periode. Belakangan, Hasyim kalah bersaing dengan Said Aqil Siroj dalam muktamar di Makassar. Seusai pemilihan, Hasyim mengaku prihatin terhadap perkembangan muktamar-yang dia sebut mirip pemilihan kepala daerah: ramai baliho, tim sukses, dan salam tempel di luar kewajaran.

Koleksi humor Hasyim yang khas pesantren juga bentuk warisan lainnya. Ia selalu meng-update guyonan ala pesantren, termasuk bertukar joke dengan Gus Dur meski sudah menjadi presiden. Dalam pelbagai kesempatan, ketika bertausiyah dan berpidato, Hasyim selalu menyentilkan humor dan pelesetan untuk menyegarkan suasana. "Dia ucapkan dengan permainan kata yang jitu dan mengejutkan," ujar A.S. Hikam, mantan menteri dan teman lamanya.

Mau tahu contoh sindiran Kiai Hasyim? "NU itu tempatnya salah paham dan sudah biasa menghadapi paham yang salah. NU itu sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat, tapi belum terbiasa dengan perbedaan pendapatan." Agar meyakinkan lawan bicaranya, Hasyim kerap menegaskan lelucon ini bukan rekaan, maka dia bilang asli. Ia ucapkan huruf "s" yang dipelesetkan seperti huruf shad sehingga mulutnya rada dimoncongkan. Atau dia bilang ini guyonan "ressssemmmi lho"-dengan logat kenes, maksudnya resmi, benar-benar ada.

Warisan lain Kiai Hasyim yang tak kalah penting adalah sikapnya yang tegas ihwal bentuk negara yang sudah final dan tak perlu diotak-atik lagi. Ia juga membuka diri bagi munculnya perbedaan pandangan dalam agama. Hasyim sangat mengutuk sikap dan perbuatan anarkistis dan intoleran, meski ketika menerima pengaduan dari semua pihak, ia tak mudah langsung bereaksi dan emosional. Dia sering terlihat bersikap tenang ketika merespons isu sensitif menyangkut paham keagamaan. Sebagai pemimpin kaum nahdliyin, Hasyim masih menjaga garis batas "pedoman akidah organisasi", sehingga tak serta-merta bisa membenarkan sepenuhnya pendapat Jaringan Islam Liberal dan Ahmadiyah. Tapi prinsip perlunya ditegakkan sikap toleransi dan inklusif itu sering diucapkannya di forum internasional dalam kapasitasnya selaku Ketua World Conference of Religions for Peace atau Sekretaris Jenderal Konferensi Internasional Sarjana-sarjana Muslim.

Sebagai organisasi atau jam’iyyah, Nahdlatul Ulama boleh bersikap tegas kembali ke khitah 1926, yang emoh berpolitik praktis. Tapi sikap politik Kiai Hasyim, terutama selepas memimpin NU, jelas melakukan preferensi politik alias pemihakan. Dalam kampanye pemilihan Gubernur Jawa Timur tempo hari, misalnya, dia memilih berada segaris dengan Khofifah Indar Parawansa, kini Menteri Sosial, yang kalah tipis saat berhadapan dengan duet Soekarwo dan Saifullah Yusuf. Di pentas politik nasional, Hasyim juga terpikat ketika ditawari sebagai calon wakil presiden berduet dengan Megawati Soekarnoputri. Meski masuk putaran kedua, duet ini kalah telak ketika bersaing dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla pada 2004.

Dukungan politik Hasyim pada pemilihan presiden 2014 berlabuh kepada Joko Widodo, yang bersanding dengan Jusuf Kalla, versus Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Ia pun menjadi pendamping istimewa Jokowi ketika umrah menjelang pemilihan langsung. Khalayak pun menyaksikan foto yang kemudian menjadi viral: Jokowi mengoleskan balsam ke lutut Kiai Hasyim yang kelelahan setelah melaksanakan umrah. Foto ini kembali diunggah Jokowi ketika ngetwit saat mendengar kabar duka tokoh yang dia segani itu.

Kelelahan Kiai Hasyim tampaknya memuncak. Karena itulah dia meminta kamarnya diberi pajangan khat Arab berisi petuah mendalam dari kitab yang sangat digandrunginya, Al-Hikam: istirahatkan dirimu dari mengatur segala sesuatu yang sudah diatur Tuhan. Kiai Hasyim, selamat beristirahat.…

Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus