Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT Kabinet Dwikora pagi itu, 11 Maret 1966, bubar di tengah jalan setelah Presiden Sukarno menerima laporan ada pasukan tak dikenal merangsek ke Istana Negara. Sukarno buru-buru meninggalkan ruangan dan mengungsi ke Bogor dengan helikopter.
Menteri Dalam Negeri Mayor Jenderal Basoeki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Panglima Kodam V/Jaya Brigadir Jenderal Amirmachmud mengikuti Bung Karno ke Bogor. Presiden bertanya kepada tiga tamunya cara mengatasi keadaan Jakarta yang genting.
"Alah, gampang, Pak. Bapak perintahkan saja Pak Harto. Bapak tahu beres...," kata Amirmachmud, menirukan kembali ucapannya kepada Bung Karno, dalam wawancara dengan Tempo pada 1986.
Sebelum berangkat ke Bogor, ketiga jenderal itu menghadap Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat. Soeharto absen dalam rapat kabinet pada 11 Maret 1966 pagi dengan alasan sakit. "Pak Harto juga berpesan sanggup mengatasi keadaan kalau Bapak Presiden memberikan kepercayaan."
"Kepercayaan apa lagi yang harus kuberikan kepadanya? Soeharto sudah kuangkat menjadi Panglima Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Tapi sampai sekarang tidak aman dan tidak tertib," kata Bung Karno.Di Jakarta, demonstrasi menuntut pembubaran Partai Komunis Indonesia semakin bergolak.
"Mungkin diperlukan kepercayaan lebih lagi, Pak," ucap Amirmachmud."Semacam surat perintah, misalnya."
Menurut Amirmachmud, konsep surat perintah kemudian dibuat Basoeki Rachmat dengan ditulis tangan. Ada tiga poin, tapi yang paling utama adalah perintah kepada Soeharto untuk "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan, ketenangan, dan kestabilan".
Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kelak disebut Supersemar itu kemudian dibawa ke Markas Besar TNI Angkatan Darat. Rapat memutuskan Partai Komunis Indonesia harus dibubarkan. "Siapa yang punya gagasan? Pak Harto," kata Alamsjah Perwiranegara, yang saat itu menjabat Asisten Menteri Panglima Angkatan Darat, kepada Tempo pada 1986.
Maka, pada 12 Maret 1966, Soeharto, atas nama Presiden, mengeluarkan Keputusan Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/PBR Nomor 1/3/1966. Isinya: membubarkan PKI dan semua organisasi yang terkait serta menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang. Supersemar menjadi tonggak lahirnya Orde Baru, yang bertahan hingga 32 tahun.
Menurut sejarawan Bonnie Triyana, sejak mendapatkan Surat Perintah 11 Maret, pelan-pelan Soeharto mempereteli kekuasaan Sukarno. Sebanyak 15 menteri Kabinet Dwikora ditangkap. Resimen Cakrabirawa dibubarkan. Fraksi PKI di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dibekukan. Sebanyak 62 anggotanya ditangkap.
Soeharto mengangkat Jenderal A.H. Nasution sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Keputusan pertama lembaga ini mengukuhkan Supersemar lewat Ketetapan MPRS Nomor IX Tahun 1966 agar tak bisa dicabut oleh Sukarno.
Presiden Sukarno semakin terkucil, sedangkan Soeharto merangkak naik ke kursi kekuasaan. Setelah Supersemar dikunci dengan ketetapan MPRS, Soeharto menjabat Ketua Presidium Kabinet, setara dengan perdana menteri, hingga Maret 1967. Setelah itu, ia diangkat sebagai pejabat presiden hingga terpilih sebagai presiden pada 27 Maret 1968.
Pasukan tak dikenal yang menyelinap ke Istana sebenarnya dikomandoi Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris. Menteri Pertanian saat itu, Frans Seda, mengatakan sehari sebelum Supersemar terbit, ia bertemu dengan Kolonel Ali Moertopo dan Soeharto. Dalam pertemuan itu, Soeharto mengatur strategi agar mahasiswa mengepung Istana selama sidang kabinet berlangsung esok harinya.
Soeharto meminta pasukan tanpa tanda pangkat dan simbol lainnya berada di sekitar Istana untuk melindungi mahasiswa."Menurut Pak Harto waktu itu, pasukan itu akan membuat panik Presiden dan menteri-menterinya," kata Frans Seda kepada Tempo pada 1986.
Siasat Soeharto berhasil dan Sukarno menyesali tindakannya. Dalam peringatan kemerdekaan Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, Sukarno berorasi: "Dikiranya SP 11 Maret adalah penyerahan pemerintahan! Dikiranya SP11 Maret itu satu transfer of authority. Padahal tidak!"
Menurut Bonnie Triyana, Sukarno meralat Supersemar tiga hari kemudian, tapi perintahnya tak ampuh lagi.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo