Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Dan Karna pun Terpanah...

Kematian Karna dilukiskan Rury Nostalgia secara puitis dalam pertunjukan Padnecwara: Arka Suta.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karna berada dalam pangkuan Kunti. Ia sekarat. Lehernya terpanah oleh Arjuna, adiknya sendiri. Kepalanya berbaring di bahu kanan ibunya. Tangan sang ibu tampak tak kuat menopang tubuhnya. Ibunya dengan posisi setengah jongkok berusaha merebahkan tubuh Karna agar sang anak pada detik-detik penghabisan napasnya bisa senyaman mungkin.

Adegan klimaks kematian Karna ini demikian liris. Posisi tubuh Karna yang berbaring di kedua tangan Kunti mengingatkan pada patung Pieta, yang menggambarkan posisi tubuh Kristus saat detik-detik menjelang kematiannya rebah dalam pangkuan sang ibunda, Maria. Sebuah lamentasi. Bahu Kunti saat menopang tubuh Karna seperti bahu Maria tatkala menyangga tubuh Kristus di pelukannya.

Para penari bedaya lalu membentuk lingkaran mengelilingi Kunti yang tengah "menidurkan" putranya. Kembang melati terhampar di lantai. Para penari bedaya mengatupkan tangan, memberi persembahan. Tanda bahwa Karna, lelaki yang memilih berada di pihak kejahatan itu, diangkat ke surga.

Kisah Karna bukanlah sebuah kisah yang dibaca dengan pandangan hitam-putih. Ini kisah yang bisa terus-menerus ditafsirkan dan memberi alegori tentang lapis-lapis tersembunyi kebenaran. Adapun pementasan Rury Nostalgia di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16-17 Maret lalu, terasa menarik karena ia secara samar-samar menyentuhkan problem tersebut ke kerinduan dan kekecewaan Karna (diperankan Wasi Bantolo) terhadap sang ibu, Kunti (dimainkan Retno Maruti).

Karna adalah putra Kunti. Adapun Kunti memperoleh Karna tatkala pada suatu pagi ia melakukan puja kepada Dewa Surya. Dewa penguasa matahari itu lalu memberinya seorang bayi. Kunti, yang melahirkan sebelum menikah, terpaksa membuang "putra Surya" di Sungai Aswa dalam sebuah keranjang. Bayi merah itu kemudian terbawa arus sampai akhirnya ditemukan oleh Adirata, kusir kereta di kerajaan Kuru.

Klimaks wafat Karna di atas didahului sebuah adegan penting di pertengahan. Karna bertemu dengan Kunti. Untuk pertama kali Kunti membuka diri bahwa dia adalah ibu kandung Karna. Karna menyembah. Ia bersujud di kaki ibunda. Adegan ini cukup kuat digarap Rury. Kunti menyatakan berpuluh tahun ia merindukannya. Kunti menginginkan Karna tak menceburkan diri dalam kancah peperangan. Karna menghormati, tapi secara tegas menampik nasihat ibunya.

Saat Kunti menyatakan:

"Pun ibu ora saguh kelangan, Ngger (Aku tak sanggup kehilangan kau, anakku).

Karna menjawab:

Upami mbenjang kedah kelampahan Prang Ageng Baratayuda, paduka mboten badhe kecalan menapa-menapa (Jika kelak Perang Baratayuda itu terjadi, kau tak akan kehilangan anakmu).

Kalimat Karna ini mengentak. Kalimat bersayap yang mungkin terasa pahit dan menampar Kunti. Sebagai seorang ibu yang telah membuang anaknya, kalimat itu bisa dibaca sebagai sebuah protes atau sindiran Karna bahwa pasti diri Kunti tak akan merasa kehilangan apa pun-bila Karna nantinya mati. Karena toh Kunti pernah menghilangkan Karna. Perasaan bersalah mungkin merayapi Kunti saat itu. Dan Retno Maruti, yang memerankan Kunti, mampu menghadirkan suasana getir tersebut.

Adegan menarik lain adalah tatkala Rury menampilkan dua sosok ibunda Karna di panggung: Kunti dan Nadha. Nadha adalah istri kusir Radhea yang merawat Karna sejak bayi dan dianggap Karna sebagai ibu kandung. Ada adegan tangan Kunthi mengibas ke Nadha tatkala Nadha menghampiri Karna, seolah-olah dia menegaskan bahwa dialah ibu Karna sejati.

Rury ingin menonjolkan kesetiaan Karna kepada Duryudana. Kesetiaan yang mungkin jauh di alam ketidaksadaran Karna terbentuk akibat resistansi terhadap pembuangannya. Rury menyusun sendiri pembabakan dan alur cerita. Setelah menyiapkan kerangka, Rury menyerahkan pembuatan naskah kepada Nanang Hape. Adegan penting yang menunjukkan awal sikap keras Karna adalah adegan latihan di Padepokan Sokalima.

Di situ Karna dengan rendah hati meminta diperbolehkan ikut berlatih memanah, tapi oleh Arjuna ditolak mentah-mentah karena Karna hanya rakyat biasa.

"Drajatmu mung jejer Sudra. Mrosotke adeg lan luhure" (Kau hanya rakyat biasa. Tidak layak berada di sini).

Arjuna terasa angkuh. Saat itulah Duryudana membela Karna. Dan pada momen itu Karna bersumpah akan setia kepada Duryudana. Sayangnya, perasaan Karna dicampakkan kurang tergambar dalam adegan ini.

Karna tahu bahwa dirinya berada di pihak yang salah. Bagian yang menyajikan bagaimana sesungguhnya Karna tahu dan sadar sesadarnya ia berada dalam lingkaran angkara murka adalah adegan Pandawa Dadu. Rury menampilkan Karna menyaksikan bagaimana Drupadi, istri Yudhistira, karena Pandawa kalah bermain, dilucuti gaunnya oleh Kurawa. Pada beberapa pentas lain yang menggarap Pandawa Dadu, adegan ini tak ada. Pentas tari Gelung Drupadi karya Astari Rasjid, misalnya, sosok Karna tak muncul dalam peristiwa Pandawa Dadu. "Saya tahu ada banyak versi Pandawa Dadu. Referensi saya untuk ini adalah serial Mahabharata dari India yang diputar di televisi," tutur Rury.

Tatkala Drupadi (Nungki Kusumastuti) digelandang oleh Duryudana, tiba-tiba beberapa kain merah turun dari langit-langit. Simbolisasi Kurawa mulai melucuti gaun Drupadi ditampilkan dengan kain merah ini jatuh terlepas ke lantai dan menjadi rebutan Kurawa. Tatkala adegan ini terjadi, Karna tampak berdiri kokoh. Ia berusaha menahan emosi. Wajahnya diarahkan ke sudut lain. Ia berusaha tak menyaksikan adegan penistaan Drupadi.

Awal Arka Suta disajikan Rury dalam sebuah kilas balik yang mempertanyakan mengapa Karna kokoh memilih berada di pihak Kurawa. Bukankah itu jauh dari etika? Sebuah perbincangan moralitas. Rury menghadirkan percakapan antara Karna dan Prabu Kresna (Fajar Satriadi).

Basukarna, atimu kang puguh, nis rasa nggonmu sumaguh bebela marang Duryudana sa-Kurawane (Basukarna, begitu besar tekadmu membela Duryudana dan semua Kurawa. Apa pertimbanganmu?).

Kakaprabu, gesang namung sadermi, urip derma nglampahi. Nadyan mekaten, idheping gesang kula mboten nedya lincad saking prasetya (Kakanda, hidup hanyalah menjalani kodrat. Aku tak akan ingkar dari sumpah setiaku. Jika sampai aku salah menilai sebuah kebaikan, betapa dunia akan menganggapku sebagai seburuk-buruk manusia).

Dalam Mahabharata, Kresna dalam kesempatan itu mengungkapkan bahwa Karna adalah putra Kunti. Bahwa ia sesungguhnya adalah kakak tertua para Pandawa. Kresna mengajak Karna agar bergabung dengan Pandawa.

Bukan hanya Kresna atau sang ibu yang membujuk Karna agar lebih baik membela Pandawa. Surtikanti, istri Karna, juga meminta suaminya tak berpihak kepada Kurawa. Rury sendiri yang berperan sebagai Surtikanti. Sembilan penari bedaya muncul saat adegan itu. Tapi hati Karna tetap teguh.

Dan datanglah perang itu. Adegannya dilukiskan secara sederhana. Tanpa tombak-tameng yang riuh. Sebuah Kurusetra yang tak berhias macam-macam tapi berkesan. Delapan penari perempuan yang menghunus belati masuk dari sisi kiri. Pada saat bersamaan, delapan penari laki-laki dengan panah merah masuk dari sebelah kanan. Gending yang ditabuh Blacius Subono dan kawan-kawan dramatis saat para penari berputar, menangkis serangan, saling menghantamkan senjata, hingga akhirnya tumbang bergelimpangan. Set berupa lima tirai yang mengasosiasikan bilah keris cukup menjadi metafora kekerasan.

Di tangan Rury, kita melihat Karna tampil sebagai kesatria halus, yang kehalusannya justru karena ia merelakan diri sebagai korban. Karna, yang mendapat panggilan Arka Suta alias anak matahari, seolah-olah tahu bahwa ia akan mati di pihak musuh. Pihak yang sering dicap sebagai kegelapan. Pihak yang tak disanjung sebagai benar dan terang. Tapi, baginya, itu justru kodrat suci yang harus dijalani. Ia sama sekali tak menyesal. Pilihannya adalah pilihan kudus.

Seno Joko Suyono | Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus