Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menyemai Padi di Luar Angkasa

Dua eksperimen para pelajar SMA Indonesia mengikuti program riset luar angkasa NASA. Persaingan dan persyaratannya sangat ketat.

18 April 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAPE Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Rabu, 23 Maret 2016. Tepat pukul 11.05 waktu Jakarta, pesawat kargo luar angkasa ATK Cygnus milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) lepas landas. Wahana luar angkasa ini mengangkut 3,3 ton peralatan sains amat penting. Dan, di antara tumpukan barang-barang itu, terselip dua micro-lab putih berukuran tak lebih besar dari sebuah kotak telepon seluler pintar.

Destinasi akhir ATK Cygnus, yang didorong roket Atlas V, adalah Stasiun Luar Angkasa Internasional atau ISS. Bagi NASA, ini adalah misi rutin. Tapi, buat siswa Sekolah Menengah Atas Unggul Del Samosir, Sumatera Utara; Binus School Simprug, Jakarta; SMA 2 BPK Penabur Bandung; Sekolah Pelita Harapan Lippo Village; dan SMA Advent Doyo Baru, Papua, ini merupakan peristiwa bersejarah sekaligus mendebarkan.

Ya, untuk pertama kalinya materi riset siswa SMA di Indonesia mengorbit sejauh 400 kilometer dari bumi. Di dalam dua micro-lab itulah—dibuat oleh dua tim yang berbeda—materi eksperimen tersimpan. Satu micro-lab berisi padi dan lainnya ragi. Tujuan penelitian untuk melihat pertumbuhan padi di luar angkasa dan mengamati perkembangan ragi dalam kondisi gravitasi nol.

Seusai peluncuran roket, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berbincang langsung dengan para peneliti muda ini, termasuk para siswa SMA Unggul Del Samosir di Laguboti, Sumatera Utara, melalui konferensi video. "Buat adik-adik semua, Anda semua punya pengalaman yang luar biasa," kata Anies di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta.

Agar kedua micro-lab itu bisa terangkut bukan perkara mudah. Banyak prosedur dan peraturan yang harus diikuti. NASA memberi syarat yang amat ketat. Misalnya, bahan pembuat micro-lab harus sesuai dengan standar NASA. Akibatnya, sebagian besar bahan baku terpaksa harus diimpor. "Kami impor dari Amerika dan Jerman," ujar Bennett Jonathan Krisno, ketua tim peneliti padi, pada akhir Maret lalu.

Sejatinya kedua tim telah menyiapkan micro-lab untuk dievaluasi oleh NASA. Tapi, itu tadi, lantaran persyaratan sangat ketat, micro-lab mereka pun harus dirombak total. NASA mensyaratkan antara lain pada lembar material harus dicantumkan keterangan bahan dibeli dari mana, nomor seri yang jelas, nama perusahaan yang membuat, dan asal negara pembuat.

Setelah semua persyaratan terpenuhi dan mereka mendapat lampu hijau dari NASA, kedua tim lalu menyiapkan micro-lab. Tim padi beranggotakan sepuluh orang, enam dari Jakarta dan Bandung. Mereka adalah Derrick Ansell Harianto dan Natasha Adeline Harianto (Binus School Simprug, Jakarta), Jason Reysan (SMA 2 BPK Penabur Bandung), serta Marie Felicia Surya, Bennett Jonathan Krisno, dan Gisella Austine (Sekolah Pelita Harapan Lippo Village). Empat lainnya dari Papua, yaitu Anastasya Womsiwor dan Stefince I.C. Yocku (SMAN 1 Sentani) serta Bob R.S. Kaway dan Thinus L. Yewi (SMA Advent Doyo Baru, Papua).

Tim bekerja sejak Oktober tahun lalu. Tugas pun dibagi. Bennett dibantu Gisella mengkoordinasi kerja tim. Natasha membuat kantong air, Felicia menyiapkan wadah untuk menaruh padi, Jason membuat program komputer, dan Derrick mengatur komponen elektronika. Adapun empat siswa dari Papua melakukan tugas mengevaluasi data yang dikirim dari NASA.

Semua harus termuat dalam kotak yang kecil itu. Ada lima benih padi Oryza sativa tipe Kitaake yang diambil dari Colorado State University, wadah padi, tempat air, mikroprosesor, pompa angin dan pompa air mikro, serta kamera mikro. Media tempat padi tumbuh menggunakan oasis (busa) dan germination paper, yang memberikan nutrisi pada benih padi.

Kesibukan yang sama terjadi di tim ragi, yang juga beranggota sepuluh orang. Tim ini beranggotakan hanya para siswa SMA Unggul Del Samosir, yaitu Anisa Auvira, Freddy Sahala Simanjuntak, Gilbert Ebenezer Nadapdap, Gomos Parulian Manalu, Hagai Raja Sinulingga, Jonatan Kevin Daniel, Joy Patria Tara Gultom, Junita Sirait, Martin Anugrah Siahaan, dan Rudini Tua Silitonga.

Pada 24 Januari lalu, Gilbert dan Gomos membawa bahan riset mereka untuk dievaluasi di San Jose, Amerika Serikat. Mereka didampingi dua guru, Elin Bawekes dan Arini Desianti Parawi. Di sana, keduanya mengikuti serangkaian tes untuk menentukan apakah micro-lab mereka, yang meneliti tentang micro-aerobic fermentation in space with micro gravity, layak diterbangkan atau tidak. Sampai tahap akhir, mereka dinyatakan lolos.

Dalam melakukan penelitian, tim ini dibagi menjadi tiga kelompok kecil, yakni konseptor, teknik, dan programming. Tim pertama membuat konsep penelitian untuk melihat hasil dari fermentasi alkohol sebagai sumber energi dan antiseptik. Tim teknik membuat robot untuk mengontrol eksperimen. Sedangkan tim programming menjalankan penelitian menggunakan perangkat lunak dari NASA.

Syailendra Harahap, Director Center for Innovative Learning Surya University, yang menjadi koordinator pembimbing kedua tim, menceritakan, keikutsertaan tim Indonesia dalam penelitian NASA tak lepas dari uluran Joko W. Saputro. Ilmuwan Indonesia yang mengajar di banyak universitas di Amerika ini memiliki relasi dengan NASA. Joko meminta Yohanes Surya, ahli fisika Indonesia yang dikenal sebagai pembimbing tim olimpiade fisika Indonesia, membentuk tim peneliti yang terdiri atas siswa SMA.

Surya lantas menunjuk Syailendra sebagai pemimpin tim pada akhir Juli tahun lalu. Pada Agustus 2015, Syailendra mengikuti workshop untuk pembimbing riset di Amerika Serikat. Para pemberi materi adalah pensiunan NASA. Ketika itu, tim inti belum terbentuk dan judul penelitian masih belum terbayang. Padahal judul penelitian harus diputuskan pada saat workshop berlangsung.

"Jadi waktu itu saya dan Pak Joko berpikir judul penelitian apa yang paling cocok. Yang terpikirkan adalah bagaimana menumbuhkan padi di luar angkasa tanpa gravitasi," ucap Syailendra. Seandainya mereka gagal memasukkan judul penelitian pada saat itu juga, micro-lab karya anak-anak SMA itu mungkin tak akan terangkut. "Kita baru bisa ikut tahun depan," ujarnya.

Program penelitian luar angkasa NASA ini dibuka untuk murid sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Amerika. Baru tahun lalu ada negara lain yang ikut, yakni Finlandia. "Tapi eksperimen mereka gagal. Sekarang mereka ikut lagi," kata Joko, yang baru ditunjuk sebagai Direktur Eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia. "Makanya saya memaksakan momentumnya. Soalnya negara lain, seperti Singapura, juga ingin ikut."

Penelitian padi ini, menurut Joko, sesuai dengan tren NASA yang kini banyak melakukan riset bahan makanan yang bisa bertahan di luar angkasa. NASA, belum lama ini, berhasil memanen selada untuk pertama kali di luar angkasa. Selada itu ditanam pada September 2015. "Itu penelitian dilakukan oleh NASA sendiri," ujar Joko.

Itu sebabnya Joko berpendapat penelitian luar angkasa yang dilakukan beberapa pelajar Indonesia ini sangat penting, terutama untuk memberi inspirasi kepada pelajar lain. "Ini frontier. Ini sains garis depan," katanya. "Kalau ini dilakukan di bumi, kita sudah melakukan bertahun-tahun. Tapi space science adalah frontier science."

Tak seperti tim padi yang sudah mantap dengan materi penelitian sejak awal, tim ragi malah sempat mengubah obyek penelitian mereka. Menurut Mirtanina Sisyelin Bawekes, pembimbing tim dan guru biologi SMA Unggul Del Samosir, awalnya tim ingin meneliti sesuatu yang khas tentang potensi Indonesia di bidang maritim.

Yang menjadi obyek penelitian adalah microalgae Spirulina. Sebab, menurut Mirtanina, tanaman ini sangat potensial sebagai sumber pangan masa depan, baik di bumi maupun di luar angkasa. "Tapi kami mengalami kendala dalam menyiapkan sampel keringnya. Akhirnya kami harus mengganti topik dengan meneliti fermentasi di kondisi mendekati gravitasi nol," ujarnya.

Setelah tiga pekan micro-lab putih itu mengorbit, Bennett dan tim padi masih menunggu foto-foto hasil penelitian dari stasiun luar angkasa yang dijanjikan oleh NASA. Di bagian dalam tabung wadah padi, mereka tak lupa mencantumkan nama anggota tim. Nantinya, bersama foto pertama terkirim, nama mereka akan tercatat dalam laporan penelitian pertama luar angkasa oleh pelajar Indonesia.

Erwin Zachri, Amri Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus