Belanda di Irian Jaya, Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962
Penyunting : Pim Schoorl
Penerbit : Garba Budaya & KITLV, Jakarta, 2001
KEKUASAAN kolonial Belanda di Nugini berjalan sangat singkat. Pada 1942, Nugini-Belanda ditaklukkan militer Jepang, kecuali Onderafdeling Merauke dan Boven-Digul. Sesudah pendaratan sekutu di Tanahmerah dan Hum-boldtbaai di pantai utara pada April 1944, seluruh Nugini-Belanda dikembalikan kepada Belanda. Sejak itu, dikeluarkan keputusan agar Nugini menjadi satu wilayah administratif. Dari 1944 hingga 1949, daerah itu menjadi keresidenan dan kemudian, sampai penyerahan kedaulatan 1962, menjadi sebuah gubernuran. Daerahnya dibagi-bagi menjadi beberapa afdeling (keresidenan), onderafdeling (kabupaten), dan distrik.
Membaca bunga rampai "catatan lapangan" bekas para ambtenaar (amtenar) Binnenlandsch Bestuur di Papua Barat ini, kita banyak bisa memahami hubungan kebijakan pemerintah kolonial dengan masyarakat Papua Barat. Catatan lapangan yang bersifat empiris ini sekarang telah dibukukan dengan judul Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962, yang disunting Pim Schoorl. Sudah lazim bahwa pemerintah kolonial Belanda dalam melakukan kolonisasi menggunakan "Indologie", yang menurut George J. Aditjondro dalam pengantar buku ini adalah "sebuah ilmu gado-gado antara ilmu antropologi dan ilmu pemerintahan".
Artinya, intelektual kolonial menafsirkan kebudayaan, adat-istiadat lokal, untuk digunakan saat menjalankan roda birokrasi kolonial bagi kepentingan perusahaan-perusahaan asing di Nugini-Belanda, seperti Imex (Import en Export Maatschappij), yang menguasai gelondongan kayu besi dan kayu lain yang berharga. Agar orang-orang Irian tidak protes saat sumber alamnya dikeduk demi keuntungan perusahaan-perusahaan Belanda, Belanda menempatkan orang-orang lokal sebagai penguasa.
Peranan para amtenar yang bertugas di Nugini-Belanda agak berbeda dengan amtenar yang bekerja di Jawa atau Sumatra. Peranan amtenar yang bertugas di sana lebih sebagai "agen untuk pembangunan", membentuk masyarakat Irianjaya yang terbelakang menjadi modern. Tetap saja yang dinamai perintah halus hingga perintah memaksa merupakan karakter relasi kolonial yang perlu ditegakkan. Namun, jika kedua perintah itu sulit dilakukan, amtenar meminta bantuan kepada pihak zending gereja agar ma-syarakat Nugini-Belanda mau melaksanakan perintah. Di sisi lain, para penguasa lokal lebih banyak berdiri di belakang pihak amtenar, berperan sebagai asisten, dan di kemudian hari setelah penyerahan kedaulatan mereka menjadi petinggi di pulau "kepala burung kasuari", seperti Izaac Hindom.
Seluruh daerah Nugini-Belanda diperintah secara langsung, artinya tidak ada lapisan pemerintahan para raja dan bupati seperti, misalnya, di Jawa. Bahkan fungsi penasihat, yang dalam peradilan disediakan untuk warga setempat, karena kurangnya pegawai Papua yang terdidik, pegawai-pegawai semacam ini hampir selalu dijabat oleh pegawai bawahan keturunan Maluku atau Kei. Penduduk Papua, yang sangat terpencar-pencar dan hanya sewaktu perang mem-punyai pemimpin, memaksa kontrolir bekerja hingga jenjang yang paling rendah. Sedangkan di lapangan mereka mempunyai hubungan langsung dengan orang Papua di desa-desa sedekat para dokter atau aktivis gereja. Di sisi lain, kebijakan mereka diarahkan langsung dari Den Haag, kemudian dipoles oleh gubernur atau residen.
Memang, secara halus, proyek-proyek kolonial diperuntukkan bagi kesejahteraan warga Papua. Tetapi, jika diperhatikan lebih saksama, ternyata banyak proyek yang dipersiapkan untuk pengurasan bumi Papua, dengan membuka lembah Baliem, membuat landasan pacu pesawat di Timika untuk kepentingan masuknya modal Eropa. Untuk membangun infrastruktur ini, Den Haag tidak mau banyak mengeluarkan biaya. Maka, dikerahkan tenaga kerja dari penduduk Papua untuk membuka rawa dengan alasan agar mempermudah perdagangan di antara mereka. Padahal, lapangan terbang ini dipergunakan untuk membawa buruh dan peralatan tambang Kota Tembagapura.
Tugas amtenar yang tidak kalah pentingnya adalah memungut pajak. Caranya, amtenar menghitung jumlah pohon kelapa yang ditanam penduduk. Jawatan Penerangan menegaskan bahwa pembayaran pajak ini untuk mendekatkan antara penduduk Papua dan amtenar, yang secara teoretis merangsang pertumbuhan ekonomi desa. Diharapkan, di daerah-daerah yang belum terjamah oleh perekonomian uang, untuk membayar pajak itu penduduk akan mengusahakan hasil bumi untuk ekspor: suatu bentuk lain yang lebih halus dari Tanam Paksa di Jawa. Pemerintah kolonial kadang-kadang menyelenggarakan sedikit pelayanan kesehatan, sementara kontrolir dengan gampangnya melarang perang dan pengayauan dan mengancam dengan hukuman berat kepada yang melanggar.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa Den Haag begitu cepat menyerahkan Nugini-Belanda ke pangkuan pemerintah Indonesia. Buku ini tidak menyajikan jawaban karena hanya berisi nolstagia para amtenar. Sebenarnya, penyerahan Papua Barat ke Republik antara lain berkat campur tangan Amerika Serikat, yang ingin mengeksplorasi bumi Papua. Dari sini, AS memulai intervensinya dengan memasok senjata-senjata modern, dan ketegangan terus berlanjut dan memaksa pemerintah Belanda mendatangkan UNTEA.
Seiring dengan datangnya komisi PBB ini, Presiden Sukarno terus melancarkan orasinya melalui radio bahwa Papua akhir tahun 1962 harus sudah kembali ke pangkuan Republik. Sedangkan Presiden Kennedy mencegah proposal Belanda untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Nugini. Pemerintah Amerika Serikat lebih memilih Nugini-Belanda diserahkan kepada Republik Indonesia agar dapat mencairkan politik eksklusif Belanda dan mempermudah pergerakan modal di Papua Barat seperti yang berlangsung dewasa ini.
Razif—sejarawan, pengajar Universitas Pelita Harapan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini