Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
The Fault in our Stars
Sutradara: Josh Boone
Skenario: Scott Neustadter dan Michael H. WeberBerdasarkan novel karya John Green dengan judul sama
Pemain: Shailene Woodley, Ansel Elgort, Nat Wolff, Laura Dern, Sam Trammel, Willem Dafoe
Berkatalah Cassius kepada Brutus: "The fault, dear Brutus, is not in our stars/ But in ourselves, that we are underlings."
Ucapan yang tertera dalam drama terkemuka Julius Caesar karya William Shakespeare ini sebetulnya berkisah tentang keriuhan politik. Bahwa apa yang terjadi pada mereka bukan karena yang sudah ditetapkan takdir, melainkan karena mereka adalah bawahan Julius Caesar. Sepotong kalimat itu kemudian dijadikan judul novel remaja karya John Green yang meledak dan dipuji The New York Times sebagai karya yang merupakan "campuran melankoli, manis, filosofis, dan lucu", dan berhasil bertahan pada area "realisme tragis".
Dengan mengangkat karya keenam novelis John Green yang sama sekali jauh dari kisah politik itu, apalagi dengan memilih pemain yang sudah menjadi idola remaja, film ini sudah mendapat perhatian karena kepopulerannya. Ringkasnya, film ini berupaya mengangkat sepasang remaja pengidap kanker yang dimabuk cinta. Tapi sutradara John Boone, seperti juga novelis John Green, agaknya ingin mencegah segala yang klise dari berbagai cerita novel dan film yang melibatkan pengidap kanker. Kotak tisu tentu harus menjadi kawan remaja yang menyaksikan film ini. Tapi duo Scott Neustadter dan Michael H. Weber-sebelumnya menulis skenario 500 Days of Summer dan The Spectacular Now-menunjukkan sepasang remaja ini adalah dua anak muda yang bukan hanya cerdas dan unik, melainkan juga mencoba menjauhi segala melankoli justru karena menyadari usia mereka sangat terbatas.
Pertemuan mereka yang tentu saja tak biasa, yaitu di sebuah pertemuan kelompok pendukung pengidap kanker, sudah menunjukkan karakter Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley) yang anti-sentimental dan mencoba realistis dengan situasi kehidupannya. Sikapnya itu, dan juga tentu saja wajahnya yang cantik dengan sepasang mata yang penuh kilatan daya hidup, membuat Augustus Waters, si pemuda tampan (dimainkan oleh Ansel Elgort), langsung saja jatuh hati dan terus-menerus menggoda dan mendekatinya. Hazel Grace, demikian Augustus memanggilnya, ragu untuk berhubungan serius karena "saya adalah sebuah granat," katanya mengingatkan. Sebuah ledakan bisa saja terjadi pada saat mereka berdekatan.
Harus diakui, semula tema ini sungguh mencurigakan karena film yang bertema pengidap kanker dan segala kepedihannya sudah digarap berulang-ulang. Dari film klasik seperti Ikiru (Akira Kurosawa, 1952); Love Story (Erich Segal, 1970); Terms of Endearment (James L. Brook, 1983), hingga yang lebih baru, seperti My Sister's Keeper (Nick Cassavetes, 2009) dan August: Orange County (John Wells, 2013).
Film The Fault in Our Stars mungkin tidak bisa dideretkan dengan rangkaian film klasik tersebut-meski judulnya menyarankan sesuatu yang dalam dan serius-tapi sebagai sebuah film dengan segmen penonton remaja, film ini berhasil mengusir segala yang klise dari yang lazim disajikan film-film bertema penyakit yang mematikan hingga sudah pasti plot itu akan berkisah tentang bagaimana sang protagonis mengisi sisa-sisa hidupnya.
Bahwa Hazel punya keinginan besar mengetahui lanjutan dari novel yang disukainya berjudul Imperial Affliction-karena novel itu sengaja diselesaikan di tengah sebuah kalimat yang belum selesai-sudah menunjukkan betapa uniknya karakter dan betapa uniknya plot film ini. Bahwa kemudian Augustus mengupayakan Hazel untuk bertemu dengan sang penulis yang "bersembunyi" di Amsterdam, Belanda, setelah namanya meroket karena keberhasilan novel tersebut, juga sebuah plot yang menarik.
Adegan-adegan di Amsterdam, termasuk yang mengambil lokasi Hotel American dan Museum Anne Frank, yang menjadi tempat bersejarah bagi pasangan yang tengah dilanda asmara itu, menjadi menarik bukan hanya karena pemandangan yang indah secara sinematik. Amsterdam juga diletakkan sebagai bagian dari cerita yang relevan, bukan sekadar untuk turis-turisan seperti dalam banyak film Indonesia masa kini. Di Amsterdam, Hazel kemudian menyadari bahwa dia bukan sebuah granat. Dia sebuah bintang yang menerangi hidup Augustus.
Penampilan Shailene Woodley sungguh berkilat-kilat. Sesudah Jennifer Lawrence dan Emma Stone, kita tak bisa tidak akan jatuh sayang sejak penampilannya dalam film The Descendant sebagai putri sulung George Clooney. Tapi Ansel Elgort, betapapun gantengnya dia di mata remaja putri yang tak henti-hentinya mencericit terpesona setiap dia muncul di layar, belum bisa menyamai kedalaman dan keluasan seni peran Woodley. Ekspresi yang terkadang kaku dan repetitif selalu saja terbanting oleh penampilan Woodley yang begitu bersatu dengan layar perak di hadapan kita.
Maka akhirnya "fault in our stars" dalam film ini lebih berkisah tentang perjuangan mereka mencapai hari-hari yang "biasa" menjadi "luar biasa". Seperti yang diutarakan tokoh Hazel kepada Augustus, dia tak merasa dia butuh dikenang oleh banyak orang, tapi yang penting dia dikenang oleh seseorang yang sangat dicintainya, yaitu Augustus.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo