Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Merayakan Sendi-sendi Arsitek

Biennale Arsitektur Venesia ke-14 dibuka Sabtu pertama Juni lalu. Kurator asal Belanda, Rem Koolhaas, mengajak para pengunjung berlanglang buana menyaksikan segmen-segmen kecil dalam arsitektur yang jarang didiskusikan secara khusus atau dilihat bagaimana posisinya sepanjang sejarah dan kemungkinannya di masa depan. Demikianlah, maka pengunjung dapat menyaksikan sejarah toilet dalam sebuah ruangan atau sejarah elevator dalam bangunan dan sebagainya. Untuk pertama kalinya para arsitek Indonesia terlibat dalam acara ini. Paviliun Indonesia mengangkat tema "Ketukangan", yang merujuk pada keterampilan dan nilai hidup yang dilakoni para pembuat bangunan Indonesia terhadap materi kayu, batu, dan lain-lain sejak zaman Borobudur sampai kini. Ikuti laporan Tempo dari biennale yang berlangsung enam bulan sampai 23 November 2014 itu.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhatian arsitek dunia kini terarah kepada pemikiran Rem Koolhaas, 69 tahun. Arsitek Belanda yang pada masa kecilnya, 1950-an, pernah tinggal di Jakarta ini menyajikan sesuatu yang "kontroversial". Sebagai kurator Biennale Arsitektur Venesia ke-14, ia tidak mengajak para arsitek mendiskusikan visi terbaru, terkontemporer, atau tercanggih dari bangunan-bangunan urban, tapi merenungkan hal-hal kecil yang menjadi sendi-sendi dasar arsitektur—sepanjang ratusan tahun.

Datanglah ke kawasan pameran Giardini di daerah Castello, Venesia. Di kawasan sejuk dengan banyak pepohonan ini, Koolhaas menyajikan sejarah segmen-segmen kecil yang selalu dibutuhkan arsitektur tapi tak pernah dibahas khusus: dari sejarah jendela, dinding, balkon, tangga, pintu, langit-langit, sampai sejarah toilet dan sejarah letak penghangat ruangan pada sebuah bangunan.

"Ini adalah detail-detail yang penting tapi kurang dilihat sebagai arsitektur. Pengetahuan tentang hal-hal semacam ini perlu karena barang-barang tersebut harus selalu ada dalam arsitektur," kata Koolhaas dalam konferensi pers.

Lewat video digital atau foto-foto, kita melihat perbandingan. Dan kita mendapat banyak informasi yang tak terpikirkan. Misalnya saat kita berada dalam seksi sejarah elevator dan lift. Elevator dan lift, kita mafhum, adalah barang yang mesti ada di gedung pencakar langit atau gedung bertingkat apa pun. Tapi tahukah kita cikal-bakal digunakannya elevator di proyek-proyek penggalian pertambangan atau gedung-gedung teater?

Juga toilet. Sejarah toilet ternyata panjang. Di pameran ini disajikan fakta bahwa toilet duduk ternyata sudah ada sejak zaman Romawi, abad kedua Masehi. Di sini disajikan perkembangan gradual toilet. Atau saksikan bermacam variasi koridor dalam berbagai kebudayaan. Ternyata banyak tipe lorong. Pameran ini adalah hasil penelitian Koolhaas bersama para mahasiswa Universitas Harvard selama dua tahun.

Fundamental atau hal-hal yang mendasar. Inilah tema utama Biennale Arsitektur Venesia ke-14. Pemilihan tema itu terasa berbeda. "Kuratorial biennale kali ini berbasis riset. Semua riset dibimbing Ram Koolhaas. Tahun lalu, pada Biennale Seni Rupa, kurator Massimiliano Gioni juga banyak menyajikan karya yang berupa dokumentasi catatan ide dan utopia seniman," tulis Paolo Bratta, Direktur Biennale Venesia—baik Biennale Seni Rupa maupun Arsitektur.

Memang, tahun lalu Biennale Seni Rupa Venesia, seperti juga disaksikan Tempo, banyak menyajikan karya yang "tak lazim". Tema Biennale Seni Rupa tahun lalu yang dirumuskan Massimiliano Gioni adalah "Il Palazzo Enciclopedico" ("The Encyclopedic Palace").

Gioni mengambil tema ini dari fantasi seorang seniman otodidak keturunan Italia bernama Marino Auriti. Pada November 1955, menurut Gioni, di garasinya di pedesaan Pennsylvania, Auriti merancang maket sebuah museum imajiner yang dia namakan Il Palazzo Enciclopedico. Ia mendesain sebuah bangunan setinggi 700 meter, yang memiliki 136 ruang, dan seluas 16 blok di Washington, DC. Bangunan itu dibayangkannya akan diisi dengan karya-karya kontemporer dan artefak-artefak sepanjang sejarah kemanusiaan. Bangunan ini tak terwujud.

Maka Gioni berani menyajikan berbagai dokumentasi seniman yang masih berstatus ide. Ia juga berani memilih karya-karya ilmuwan dan aktivis yang statusnya bukan barang seni. Ia, misalnya, menyajikan coretan-coretan tangan ahli psikoanalisis Carl Gustav Jung—coretan-coretan tangan saat Jung banyak mengalami visi apokaliptik.

Kini antara Biennale Arsitektur dan Seni Rupa seperti ada kesamaan perlawanan pemikiran. Koolhaas juga tertarik memfokuskan diri pada hal-hal di luar mainstream. Ia sendiri membagi Biennale menjadi tiga tema utama: "Elements of Architecture", "Absorbing Modernity: 1914-2014", dan "Monditalia".

Sejarah kakus dan lain-lain itu masuk tema "Elements of Architecture". Taman Giardini—tempat pameran tema ini—juga menjadi lokasi pameran negara-negara yang memang sudah memiliki paviliun permanen di situ, seperti Belgia, Belanda, Hungaria, Jerman, Inggris, Prancis, dan Rusia.

Negara-negara yang tidak memiliki paviliun khusus menampilkan pamerannya di Arsenale. Di sini digelar tema "Absorbing Modernity" dan "Monditalia". Sebanyak 65 negara diundang Rem Koolhaas untuk meneliti pengaruh modernitas dalam kurun seratus tahun pada arsitektur nasional mereka, serta mengaitkannya dengan kondisi dan problem faktual. Memasuki paviliun-paviliun ini, kita akan melihat serangkaian riset berkenaan dengan sejarah bangunan-bangunan di tiap negara peserta. Untuk pertama kalinya Indonesia menyajikan paviliun di sini.

1 1 1

Bagi sebagian warga Venesia, mungkin Biennale Arsitektur kurang begitu meriah dibanding Biennale Seni Rupa. Poster biennale memang mencolok langsung menohok mata begitu kita sampai di Bandar Udara Marco Polo. Poster-poster itu juga dipasang di pilar tinggi Piazza San Marco, yang dipenuhi lautan turis. Juga tegak angkuh di deretan tukang buah pasar lokal Cannaregio, daerah yang dikenal antituris. Tapi dengarkan apa yang dikatakan Andrea Giacometti, 35 tahun, pekerja hotel di San Paolo: "Pengunjung Biennale Arsitektur tidak seseru Biennale Seni Rupa. Orang-orangnya terlalu rapi, kurang seronok. Kurang asyik…."

Bahkan, Sabtu pagi itu, pada acara pembukaan sekaligus pengumuman pemenang Biennale Arsitektur Venesia ke-14 di Giardini, tak banyak orang Italia antre mengambil tiket. Dalam udara 28 derajat Celsius, sejak dua jam sebelumnya para pengunjung tampak berdesakan di enam loket yang disediakan. Puluhan polisi, yang tak pernah tampak di sudut Kota Venesia yang lain, kelihatan ketat berjajar mengamati pengunjung. Di dalam podium putih yang dijaga ketat petugas keamanan, dewan juri—Francesco Bandarin (Italia), Kunlé Adeyemi (Nigeria), Bregtje van der Haak (Belanda), Hou Hanru (Cina), dan Mitra Khoubrou (Uni Emirat Arab)—memutuskan siapa-siapa yang diberi penghargaan pada biennale kali ini.

Hadiah khusus, Golden Lion for Lifetime Achievement, diperuntukkan bagi Phyllis Lambert. Perempuan 87 tahun kelahiran Montreal, Kanada, ini menurut juri memberikan sumbangan besar untuk arsitektur. Sejak muda, ia berkutat dalam dunia arsitektur dan heritage. Salah satu karyanya yang monumental adalah Gedung Seagram di New York.

Penghargaan tertinggi, Golden Lion, diraih paviliun Korea, yang menyajikan tema "Crow's Eye View". Metode pameran, penelitian, dan pemaparan arsitektural yang disajikan Korea dalam paviliunnya dianggap mampu mempresentasikan problem arsitektur perkotaan di tengah arus perubahan politik. Sajian paviliun kaca Korea di Giardini ini memang penuh pemaparan segar, dari foto-foto, poster-poster, peta, film, sampai komik. Dikomandani kurator Minsuk Cho, Korea melibatkan seniman dari berbagai disiplin.

"Crow's Eye View" diambil dari puisi penyair Yi Sang (1910-1937). Di paviliun ini, publik diajak secara visual mengunjungi gedung-gedung, monumen, taman kota, dan perumahan rakyat di Seoul dan Pyongyang—dua ibu kota yang sekarang terbelah secara geopolitik, utara dan selatan, dan total berbeda persepsi. Semasa Perang Dunia II, banyak gedung monumental di Pyongyang luluh-lantak dilanda bom, kemudian diganti dengan arsitektur negara sosialis yang hampir seragam.

Adapun gedung-gedung bersejarah di Seoul habis dihajar buldoser, dan Seoul menjadi kota metropolitan tanpa gagasan dasar dan karakter yang berakar. Seoul dan Pyongyang kini dipaut oleh kesamaan nasib. Paviliun ini dengan berani menyatukan Korea Utara dan Selatan. "Paviliun Korea di Giardini adalah hasil sebuah harapan munculnya hubungan baru di antara dua Korea," ujar Hyungmin Pai, salah satu kurator paviliun Korea.

Silver Lion diraih Cile dengan "Monolith Controversies". Kemenangan Cile ini agak di luar dugaan. Di tengah paviliunnya di Arsenale, Cile menampilkan sebuah lempengan bikinan pabrik sederhana. Lempengan itu adalah salah satu panel pertama sumbangan Rusia kepada Presiden Cile Salvador Allende pada 1972. Ketika itu, Cile dan Rusia bekerja sama dalam proyek pembangunan apartemen murah, sehat, dan terjangkau—disebut rencana KPD. Di atas lempengan itu, Allende mencantumkan tanda tangannya.

Lempengan itu diberi judul "Monolith Controversies" karena sesungguhnya menjadi subyek kontroversi politik dan ideologi di Cile. Sebab, kemudian, dalam masa pemerintahan militer Jenderal Augusto Pinochet—yang menggulingkan Allende—panel tersebut mengalami transformasi menjadi ikon Katolik. Pada lempengan itu dipasang dua lampu gaya kolonial di sisi gambar Perawan Maria dan putranya.

Sekarang, setelah terbebaskan dari tanda tangan Allende dan Perawan Maria, panel tersebut dimaknai secara khusus dalam konteks sejarah arsitektur modern Cile. Di Cile, masih tersisa 170 juta panel yang sama di pelbagai apartemen yang dibangun sejak Perang Dunia II sampai menjelang abad ke-20.

Secara keseluruhan menikmati sajian-sajian di pameran ini, terasa Koolhaas memang menghindari munculnya nama arsitek besar. Maka ada kesan "Fundamental" tidak sepenuhnya "disambut hangat" para pesohor dalam dunia arsitektur. Para arsitek kondang malah merasa tidak begitu punya kebutuhan untuk hadir.

"Sebab, kemudian, apa yang harus mereka lakukan di sini?" kata Wouter van Stiphout, pakar sejarah arsitektur yang juga salah seorang kurator paviliun Inggris. Menurut Stiphout, dalam biennale sebelumnya, terutama di gedung Arsenale, para arsitek memamerkan karya-karya spektakulernya. Tapi kebanyakan kini yang disajikan adalah dokumentasi riset. Tapi itu pilihan Koolhaas. Melalui visinya, ia tampak yakin sebuah perspektif baru bisa muncul.

Lea Pamungkas (Venesia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus