Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Berlin, seni rupa kian menyembunyikan visualitasnya. Mengambil ruang penyamaran barunya sebagai "riset" dan "arsip". Di sisi lain, ia kembali bertopang pada drawing, fotografi, pertukangan, dan alat-alat cetak. Istilah "rupa" telah membelenggunya untuk bisa bergerak, untuk menempatkan dirinya dalam berbagai perubahan sosial ataupun politik. Visualitas ini kini lebih difungsikan sebagai perabotan penopang pameran.
Fenomena semacam itu yang terjadi dalam pameran Berlin Biennale ke-8 (Berlin, Mei-3Agustus 2014). Tidak ada hiburan visual. Mata dikembalikan sebagai mata yang mengamati, bukan mata yang menonton. Beberapa karya bahkan dipamerkan sebagai arsip, senimannya telah mati. Di antaranya karya Gaganendranath Tagore (saudara Rabindranath Tagore). Karya kartunnya yang telah dibukukan dipamerkan. Di antaranya Cramming Machine, 1930, dalam bentuk litografi.
Karya Gaganendranath umumnya merupakan kritik terhadap kehidupan agama, politik gender, dan kolonialisme di India. Sedangkan India sendiri menganggap karya-karya Gaganendranath sebagai bagian dari Westernisasi. Karya ini dipamerkan di Museum Dahlem, salah satu tempat di antara tiga tempat penyelenggaraan biennale ini (selain Institute for Contemporary Art dan Haus am Waldsee). Penempatan karya Gaganendranath di Museum Dahlem merupakan bagian dari kerja kuratorial yang dipimpin Juan A. Gaitan.
Dahlem merupakan museum etnologi. Memiliki koleksi sangat kaya untuk artefak etnologi dari Asia, Afrika, serta Mesoamerican. Penempatan biennale dalam museum ini membawa kemungkinan terjadinya pembacaan lain atas koleksi museum. Di antaranya: museum adalah paradoks, karena koleksi ditempatkan di luar konteks atau habitatnya. Dipisahkan dari kemungkinannya untuk kotor, rusak, berubah, atau hilang sama sekali. Hal ini mungkin terjadi jika mereka tetap hidup dalam habitat atau masyarakatnya.
Dua karya lain menambahkan investigasi dari paradoks ini. Pertama, karya para periset Belanda untuk kehidupan gunung berapi di Jawa pada masa kolonial (1850-an), di antaranya Gunung Gede, Merapi, dan Sumbing. Di sini lain, karya Mariana Castillo Deball (You have time to show yourself before other eyes, 2014) yang menampilkan replika arkeologi Mesoamerican, juga di Museum Dahlem.
Karya mereka ditampilkan untuk menata ulang imaji sejarah kita antara sains dan estetika. Karya-karya ini tidak hanya dipandang sebagai data saintifik, tapi juga memiliki muatan estetika. Bandingkan dengan kerja seniman yang hanya membawa estetika. Karya Mariana Castillo Deball, misalnya, mempersoalkan ruang arkeologi Mesoamerican melalui alat-alat ataupun replika yang dimiliki museum. Karyanya menghasilkan instalasi yang memperlihatkan rasa miris dari ruang arkeologi yang telah cacat, diamputasi, kehilangan kaitan satu sama lainnya. Karya-karya ini, termasuk Gaganendranath Tagore, membuat kita melakukan pembacaan imaji sejarah ke tingkat individu dalam transportasi antara arkeologi masa lalu dan arkeologi masa kini. Karya mereka ikut menguatkan tekstur atas narasi post-kolonial dalam biennale ini.
Sebagian besar karya dari 60-an seniman dan kelompok seniman (Amerika, Asia, Afrika, Eropa) memang tidak lagi bermain di tingkat provokasi visual. Kartografi, yang biasa digunakan untuk riset pembuatan peta, menjadi salah satu pendekatan bagaimana seniman dan karya mereka dipilih untuk biennale ini. Produk kartografi, yaitu peta, lebih dilihat pada efektivitas informasi yang disampaikannya. Walau dunia peta juga pernah mengalami visualisasi penuh motif mitologis, dekoratif, pada abad-abad yang lampau.
Tidak semua instalasi kartografi ini hadir sebagai arsip yang informatif. Karya Irene Kopelman, misalnya, semuanya berisi eksplorasi bentuk dan teknik melalui serangkaian drawing yang dibuatnya (2012-2014). Disusun dengan dingin, seperti dalam ruang penyimpanan mayat yang bersih. Serba putih dalam bingkai kaca atau lemari kaca.
Ada dua karya yang saya gunakan sebagai pintu masuk dan keluar dalam membaca pameran Berlin Biennale ke-8 ini: karya Andreas Angelidakis (Crash Pad, 2014) dan karya kelompok seniman Turki yang tergabung dalam Slavs and Tatars (Ezan Çýlgýlarý, 2014).
Instalasi Crash Pad mulai dikonstruksi sejak Januari, empat bulan sebelum Berlin Biennale dibuka. Instalasi ini dibuat dengan membungkus hampir seluruh ruang perpustakaan dan ruang serbaguna dengan karpet-karpet Yunani abad ke-19. Pada zamannya, karpet ini biasa digunakan untuk pertemuan para intelektual dan politikus Yunani. Instalasi ini memunculkan tekstur baru pada sejarah antara karpet sebagai representasi kemajuan ekonomi, politik, serta budaya, dan kondisi Yunani masa kini yang mengalami krisis ekonomi. Pada sisi lain Andreas memainkan istilah Pad sebagai ruang nyata dan sebagai ruang virtual sebagaimana dengan media gadget masa kini. Mengubah label I dengan crash pada pad.
Berlin Biennale menggunakan Crash Pad sebagai ruang berbagai pertemuan antar tim kurator, seniman, perancangan teknis pameran, pertemuan pers, dan berbagai diskusi. Cara Berlin Biennale membangun narasinya ke dalam ataupun ke luar melalui instalasi ruang Crash Pad memperlihatkan bagaimana biennale ini membangun wacana dan ruang publiknya. Wacana yang sejak awal (1998) berangkat dari visi yang disebut Gabriele Horn (Direktur KW Institute for Contemporary Art) sebagai Berlin/Berlin, yaitu bagaimana kurasi biennale menjadi bagian dari kurasi atas perubahan dan pertumbuhan Kota Berlin. Model kurasi yang disebut Gabriele sebagai kebutuhan melihat pandangan Idiosyncratic dari mata kurator dan seniman. Mata yang unik, mata yang berbeda.
Adapun instalasi bunyi (Ezan Çýlgýlarý) karya Slavs and Tatars ditempatkan di lokasi akhir biennale, yaitu di Haus am Waldsee. Bangunan ini merupakan sebuah vila yang pernah mengalami berbagai era sejarah Berlin dari masa Nazi, hancurnya Berlin pada Perang Dunia II, dibangunnya kembali Berlin, hingga penggabungan kembali Berlin Timur dan Barat. Vila ini juga dibangun dengan model arsitektur Inggris zaman kolonial. Vila dengan taman mooi indie (pemandangan rumput dan telaga yang indah) di halaman belakangnya.
Instalasi suara Slavs and Tatars diletakkan di taman mooi indie itu, antara pemandangan rumput dan telaga. Instalasi berupa bangunan mirip buku terbuka, tapi juga mirip piramida terbelah. Dua belahan dengan warna hitam ini berhadap-hadapan, dan sama-sama memiliki lingkaran yang berfungsi sebagai loudspeaker. Dari kedua loudspeaker inilah keluar suara mirip azan dalam bahasa Turki, tapi juga mirip ritual agama Buddha di Thailand. Karya dengan loudspeaker yang diposisikan seperti saling teriak.
Karya mereka berangkat sebagai reaksi atas praktek Islam yang terlalu Arab-sentris. Istilah Allah sebagai Tuhan dalam bahasa Arab diposisikan tidak tergantikan dengan bahasa lain. Bahasa Turki sendiri memiliki istilah Tanri untuk Tuhan. Tuhan dalam bahasa yang memang penting untuk terjadinya proses internalisasi atau eksternalisasi di antara keduanya, sekaligus melihat bagaimana agama menjalankan politik linguistik yang negatif terhadap bahasa-bahasa lokal.
Narasi pasca-kolonial terjalin secara Idiosyncratic antara sejarah Vila Haus am Waldsee, instalasi Ezan Çýlgýlarý, dan Turki sendiri yang khas dikenal sebagai jembatan pertemuan Barat dan Timur. Kekuatan suara ditampilkan lebih spesifik pada karya Mario Garcia Torres (Sounds Like Isolation to Me). Instalasi ini berusaha menampilkan bagaimana suara membangun ruang internal atas teks yang dipamerkan. Teks dalam bentuk surat terketik, beberapa arsip di sekitar John Cage dan artefak-artefak lain dalam lemari etalase kaca. Instalasi berangkat dari kisah Conlon Nancarrow (1912-1997), komponis Meksiko yang mengisolasi diri dalam studionya. Conlon takut menghadapi Amerika yang sedang melakukan naturalisasi, karena ia berpaham kiri.
Torres menyebut instalasinya itu sebagai esai museografis dengan ruang yang memang diinstal dengan tipologi mirip museum yang muram. Instalasi suara yang memunculkan narasi lain ketika kita melihatnya melalui instalasi paduan suara anjing-anjing karya Kemang Wa Lehulere (The grave step, 2014).
Berlin Biennale ini menarik dari sisi kerja kuratorial, pemilihan ruang, dan riset yang dilakukan. Pemilihan tempat biennale masing-masing memiliki konteks sejarah, menghadirkan konteks baru pada kerja biennale. Kerja yang pada gilirannya membuat biennale ini juga dibaca sebagai peristiwa kota. Biennale ini juga membawa pandangan seniman generasi baru di luar abad ke-20. Hanya empat seniman yang lahir sebelum 1950, selebihnya adalah generasi baru yang lahir pada 1970-1980-an.
Saya melihat biennale ini secara keseluruhan juga membawa pertanyaan antara kurasi dan pasar, juga antara nilai seni dan nilai uang. Cara membacanya pun tak bisa dengan cara membaca karya-karya di pasar yang selalu identik dengan uang. Tinggalkan matamu di pasar.
Afrizal Malna, pengamat seni (Berlin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo