Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in Malaysia, Indonesia and the United States
Penulis : Amy L. Freedman
Penerbit : Routlegde, 2000
INILAH etnis yang paling disorot oleh dunia. Sekitar 55 juta orang Cina berdiam di sekujur tubuh dunia, mulai Chinatown di Kota New York hingga berbagai da-erah urban di Indonesia. Mereka adalah keturunan di luar wilayah RRC dan Taiwan. Kebanyakan mereka yang disebut Chinese overseas itu bertempat tinggal di Asia Tenggara dan Amerika Utara, dan hingga kini perkembangan kehidupannya selalu menimbulkan banyak kontroversi. Di satu sisi, mereka dilihat sebagai pihak yang sangat berjasa dalam berputarnya ekonomi suatu negara, blok regional, bahkan bisnis dunia. Namun, di sisi lain, mereka sering mendapatkan label atau stereotip yang buruk sebagai orang-orang yang culas, greedy, mementingkan kelompok atau komunitasnya alias bersifat tertutup, dan lainnya yang sejenis. Mereka dikenal sebagai suatu fenomena network capitalism.
Tapi, apakah demikian "hitam-putih"-nya gambaran etnis Cina tersebut? Setidaknya Amy L. Freedman, asisten profesor dari Franklin and Marshall College, menganggap persoalannya tak sesederhana itu. Dalam penelitiannya, ia mencoba membandingkan etnis minoritas ini di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat (Monterey Park, California, dan New York). Ia mengaitkannya dengan partisipasi politik etnis Cina di kediaman mereka tinggal dan tempat mereka bekerja. Penelitian ini menjadi menarik karena lazimnya kita hanya mengaitkan etnis Cina dengan sepak terjangnya dalam dunia bisnis dan ekonomi. Pertanyaannya: kapan dan dalam keadaan seperti apa kalangan etnis Cina ini menjadi aktif dalam proses politik? Apakah keterlibatannya dalam bentuk mobilisasi atau hanya terbatas pada mereka yang aktif dalam organisasi? Dengan menggunakan pendekatan etnis, kelas, dan kelembagaan di satu sisi, dan keterlibatan etnis Cina dalam partisipasi politik di sisi lain, Freedman berupaya mendapatkan gambaran.
Di Indonesia, meskipun persentase etnis Cina hanya mencakup tiga persen dari populasi, mereka menguasai 70 persen ekonomi negara, khususnya dalam perdagangan dan distribusi sembako. Namun, yang harus diingat, kehadiran mereka, terutama pada zaman Orde Baru, bisa dilihat dari dua aras, yakni aras elite bisnis Cina dan masyarakat Cina pada umumnya. Di tingkat elite, mereka menggunakan informal channels dan cukong influence untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan, khususnya Soeharto, keluarga, dan antek-antek birokratnya. Artinya, meskipun mereka dihalangi secara politik formal, dalam nuansa informal mereka sangat berpengaruh. Tapi, di aras lain, masyarakat Cina pada umumnya masih bergerak di sektor-sektor ekonomi perdagangan kecil yang termarginalisasi. Celakanya, jika ada amuk massa, merekalah yang selalu paling menjadi sasaran karena alasan etnis. Setelah kejatuhan Soeharto, mereka mulai terlibat di dunia politik dengan mendirikan partai politik atau masuk dalam partai-partai politik baru.
Di Malaysia, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah sudah sejak awal melibatkan etnis Cina dalam politik, dan ini ditunjukkan, misalnya, dengan keterlibatan mereka dalam Malaysian Chinese Association (MCA) sebagai salah satu pilar pendukung partai berkuasa UMNO di bawah Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Tapi, dalam tahun-tahun terakhir, pengaruh mereka di dunia politik justru menurun seiring semakin kuatnya kelompok-kelompok menengah bisnis pribumi yang semakin independen.
Sementara itu, di AS, lambat tapi pasti etnis Cina semakin terlibat dalam dunia politik. Mereka mulai mencalonkan diri sebagai gubernur atau wali kota, dan ini kaitannya dengan kepentingan bisnis mereka. Di sini, yang menjadi perhatian adalah perubahan-perubahan regulasi yang melindungi atau memberikan lebih banyak peluang bagi aktivitas bisnis mereka. Sebaliknya, mereka juga menjadi sasaran perebutan suara dari mereka yang bertarung dalam arena politik tempat etnis Cina, dalam jumlah populasi, sangat signifikan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa etnis migran Cina ini memang bukan suatu entitas yang monolitik. Ini semua sangat berkaitan dengan lingkungan dalam dan luar dari diri mereka. Kemudian, mereka juga bukan entitas yang statis. Sebaliknya, mereka terus berkembang, baik dalam jumlah maupun dalam melebar dan meluasnya aktivitas mereka pada berbagai bidang, khususnya ekonomi dan politik.
Memang, masalah etnis Cina ini bisa dibilang?terutama di Indonesia?masih jauh dari selesai. Tapi Indonesia seolah mengabaikan keberadaan dan perkembangan mereka. Padahal, warga etnis Cina adalah bagian dari warga yang ikut menentukan berbagai kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Tapi, sayangnya, dalam banyak kasus, mereka selalu menjadi target amuk massa. Untuk itu, apa yang ditulis Freedman ini bisa membantu kita memetakan masalah etnis Cina di berbagai tempat yang serba kompleks.
Nur Iman Subono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini