Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Rajam

Tapi untuk apakah hukuman itu sebenarnya? Untuk Tuhan?seakan-akan Tuhan menginginkan? Keinginan adalah pertanda kekurangan, tapi bukankah kita menyebut-Nya sebagai Dzat yang Mahasempurna?

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA ikat tubuh itu di sebuah pasak. Di seputar tiang kayu itu digali lubang sedalam setengah meter. Puluhan orang mengelilinginya. Satu demi satu, makin lama makin cepat, makin serentak, orang-orang itu pun melemparkan batu?berpuluh-puluh butir batu?ke tubuh yang tak bisa mengelak itu. Beberapa belas butir menghantam dada dan selangkangan. Beberapa belas lain menghajar kepala. Ada yang menembus biji mata, menghancurkan hidung, melubangi jidat. Darah mancur, jangat robek, tengkorak retak, otak muncrat, mata pecah, lepas. Sebuah proses setengah jam. Mungkin lebih. Lalu akhirnya si terhukum pun mati, pelan-pelan?. Saya tak pernah menyaksikan rajam?dan saya tak ingin menyaksikannya. Tapi saya tahu itu telah terjadi di negeri saya, belum lama ini, dan apa yang saya gambarkan adalah sebuah bayangan yang seperti sebuah film horor yang bisu yang mengharu biru mimpi, yang jangan-jangan tak jauh berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi. Tuan mungkin bertanya kenapa saya tak menyebut apakah si terhukum lelaki atau perempuan. Ah, apa bedanya? Yang pasti: ada rasa sakit, ada siksaan, ada kematian. Biadab? Sungguh, saya tak tahu apa arti ?biadab? di zaman ini, tapi saya lebih tak tahu kenapa untuk membunuh seorang pendosa cara yang seperti itu yang dipilih. Tuan mungkin akan berkata: karena kau tidak tahu titah Tuhan. Saya akan bertanya, seperti saya bertanya kepada diri sendiri: tapi untuk apakah hukuman itu sebenarnya? Untuk Tuhan?seakan-akan Tuhan menginginkan? Keinginan adalah pertanda kekurangan, tapi bukankah kita menyebut-Nya sebagai Dzat yang Mahasempurna? Saya tak pernah membayangkan-Nya sebagai Kuasa yang harus dipuaskan?apalagi dengan sajian sebatang tubuh yang telah jadi onggokan daging, hancur, berdarah. Di zaman dulu, di negeri Inca, konon ada upacara yang mempersembahkan korban manusia di hadirat Dewa Matahari. Tapi Tuhan saya bukan Dewa seperti itu. Tuhan saya adalah Sang Pemberi yang Mulia: Ia tak pernah menuntut pembayaran kembali. Tentu, tak hanya bangsa Inca yang membunuh atas nama (atau atas titah?) sesembahan mereka. Tiap agama punya saat kekejamannya sendiri. Dalam Perjanjian Lama kita baca bagaimana Yahwe yang murka hendak ?menyulah kepala? orang-orang yang berbuat salah. Kita baca pula bagaimana Bani Israel merajam mati satu keluarga, termasuk anak-anak, yang ayahnya ditemukan bersalah mencuri sebagian hasil peperangan. Dalam sejarah Kristen kita bisa baca bagaimana pada tanggal 22 Juli 1209 satu pasukan atas nama Paus menyerbu dan menjarah Béziers di Prancis Selatan, untuk membinasakan para penganut sekte Cathar di kota itu. Ketika ditanya bagaimana cara tentara harus membedakan mana yang penganut Cathar dan mana yang Katolik sejati, sang utusan Takhta Suci menjawab, ?Bunuh saja semuanya. Tuhan nanti akan mengenal umat-Nya sendiri.? Hari itu 15.000 orang dibantai: lelaki, wanita, anak-anak. Juga kita tahu bagaimana kekuasaan Inkuisisi, yang ditegakkan di tahun 1233 (dan di Spanyol berakhir secara resmi di tahun 1834), mengusut kemurnian iman siapa saja yang dicurigai, dan mengirim ratusan orang ke tiang pembakaran atas tuduhan berbuat bid?ah. Kata auto de fé, sebenarnya berarti ?laku keimanan?, menjadi identik dengan laku kebengisan. Dan bukan ha-nya Gereja Katolik yang melakukannya: dari Calvin di Jenewa sampai dengan Ku Klux Klan di Amerika (yang anti-Katolik, Yahudi, dan orang Hitam) menirunya. Tapi hukuman sekeras itu tak bisa bertahan. Apa yang sekian abad yang lalu bisa diterima dengan terpaksa atau tidak, kini, terasa berlebihan. Manusia selalu bisa bernegosiasi dengan hukum yang paling menuntut: Musa melakukannya dengan Yahweh, Isa Almasih tetap bekerja di hari Sabbath, dan Muhammad tak menerima begitu saja perintah Tuhan agar umatnya bersembahyang 50 kali sehari. Zaman bukan saja berubah bersama norma. Zaman juga kian menyadarkan orang yang arif bahwa kemurnian hukum tak pernah bisa mutlak di antara kita. Tentu bisa didalihkan bahwa rajam di hari ini adalah usaha meniru keaslian hukum yang ada di zaman Nabi. Tapi apakah ?keaslian? sebenarnya? Keaslian bermula dari sebuah dasar, yaitu asal. Tapi asal adalah sesuatu yang nisbi. Hukuman rajam tak berasal dari zaman Muhammad. Ketentuan itu sudah ada dalam hukum zaman Musa. Bahkan dalam masa hidup Isa masih ada kelompok yang hendak menghukum seorang pelacur dengan lemparan batu, sampai Yesus mengingatkan mereka dengan satu kalimat yang terkenal: ?Siapa yang tak pernah berdosa, biarlah ia melontarkan batu pertama.? Bagi saya, itu juga berarti: siapa yang tak pernah menempuh sejarah, ialah yang berhak menjalankan hukum yang ?asli?. Sejarah tak pernah membikin sesuatu yang murni tetap murni. Yang murni hanya ketika Adam di Taman Firdaus, sebelum ia dan Hawa turun ke bumi dan jadi subyek yang bermandat penuh, su-byek yang merdeka?dan dalam kemerdekaan itu bisa berpikir, menafsir, mungkin berbuat salah, tapi justru itu ia tahu dirinya da?if, fana, terbatas. Sebab itu ia tak punya hak atas hidup manusia lain: ia tak bisa menyamakan yang lain dalam rangkumannya, secara total. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus