Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN teperdaya oleh penampilan. Wajah cantik dan kulit mulus bukan berarti tidak menyimpan kesadisan. Rosa Hehanusa, 42 tahun, warga Bratanggede, Surabaya, adalah salah satu contohnya. Tidak ada yang menyangka bahwa wanita berkulit putih itu ternyata pelaku pembunuhan sadis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahasia kebrutalan pemilik wajah cantik itu terbongkar setelah Rony Alinoa, keponakannya, melapor ke polisi awal Mei silam. Menurut Rony, pada 27 April silam, si tante meminta bantuannya untuk mengubur mayat Muhamad Yusuf di dalam rumahnya. Kepada siswa SMU kelas 1 itu Rosa juga mengaku baru saja membunuh korban. Atas dasar pengakuan itulah polisi melakukan penggerebekan di rumah Rosa, 6 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersangka tidak berkutik ketika aparat hukum itu menemukan jasad Muhamad Yusuf tertanam di ruang tengah rumahnya. Barang bukti lain, di antaranya tiga bilah pedang berlumur darah kering serta dompet, sisir, sandal, dan KTP milik korban, juga ditemukan di sana. Dilihat dari kondisi mayat, pembunuhan itu memang tergolong sadis. Bayangkan saja, leher korban hampir putus dan dua pergelangan tangannya dipotong. Jasadnya hanya dibungkus seprai dan ditanam dengan kedalaman 30 sentimeter.
Tim forensik RSU Dr. Soetomo, Surabaya, yang di kirim ke lokasi menemukan bekas luka di sekujur tubuh korban akibat benturan benda keras. Bagaimana seorang wanita bisa menganiaya dan membunuh lelaki yang usianya 6 tahun lebih muda dari dirinya? Semula Rosa melemparkan tanggung jawab kepada Ajun Komisaris I Ketut Swabawa, anggota polisi dari Kepolisian Wilayah Bojonegoro, kekasih gelapnya. "Saya hanya membantu mengubur mayatnya," katanya kepada penyidik.
Upaya lempar tanggung jawab ini tak berhasil. Swabawa membantah tudingan itu. "Saat peristiwa pembunuhan terjadi, saya sedang apel siaga di Polwil Bojonegoro," katanya. Alibinya dibenarkan oleh provos Kepolisian Daerah Jawa Timur yang melakukan pengecekan. Akhirnya, tante cantik ini, menurut pengacaranya, Sumarso, mau mengakui perbuatannya.
Keterangan itu dibenarkan Sekretaris Direktorat Reserse Polda Jawa Timur, Ajun Komisaris Didik Tatok Prijandono. Hingga Jumat pekan lalu, tersangka masih menjalani pemeriksaan di Markas Polda Ja-Tim. Hanya, belakangan, ia seperti orang kebingungan dan sering membenturkan kepala ke tembok, sehingga para wartawan belum bisa mendapatkan cerita rekonstruksi pembunuhan tersebut darinya. "Saya harap teman-teman maklum, dia sedang syok berat," kata Sumarso kepada pers.
Lantas, apa motif Rosa? Utang Rosa kepada Yusuf yang tak bisa dilunasinya. Hal ini diakui oleh keluarga Yusuf. "Saat ke rumah Rosa, sebenarnya menantu saya hendak menagih utang Rp 50 juta," kata mertua korban.
Menurut keluarga Yusuf, perkenalan mereka terjadi di Kantor Polda Ja-Tim, dua bulan silam. Saat itu, korban sedang mengurus penangguhan penahanan familinya dalam kasus ledakan tabung amoniak milik PT Petrokimia Gresik. Mengetahui niat itu, Rosa, yang mengaku mempunyai banyak kenalan perwira polisi di Polda Ja-Tim, menawarkan jasa mengurus dengan imbalan uang. Yusuf percaya saja. Uang yang disepakati itu pun akhirnya diberikan kepada Rosa beberapa hari kemudian. Sampai waktu yang disepakati, janji Rosa tak terlaksana. Karena didesak terus agar mengembalikan uang itulah Rosa panik dan nekat menghabisi Yusuf.
Melihat "curriculum vitae" Rosa, dunia kejahatan rupanya bukan hal baru baginya. Beberapa bulan lalu, Rosa pernah dipenjarakan karena kasus penculikan anak. Selain itu, saat ini, tersangka pembunuhan kelas berat itu sedang menghadapi pengaduan kasus penipuan di Polwil Bojonegoro dan Polda Ja-Tim.
Semarang
SEJALAN dengan era keterbukaan, gugatan kepada media massa kini juga semakin terbuka. Penggugatnya pun beragam. Rabu pekan lalu, Wati (bukan nama sebenarnya), seorang pemijat, melaporkan tabloid X-HOT di Semarang ke polisi karena dianggap melakukan fitnah dan penghinaan. Ihwal gugatan itu berasal dari berita X-HOT edisi 19 April silam.
Dalam pemberitaan itu, Wati disebut pernah melayani kebutuhan seks beberapa anggota DPRD Semarang dengan tarif sekali "main" Rp 200 ribu. "Berita itu sama sekali tidak benar. Saya juga tidak pernah diwawancarai wartawan X-HOT," kata Wati. Lantas, dari mana cerita X-HOT itu berasal? Wati menduga berita itu berasal dari percakapan dirinya dengan seorang tamu yang minta dipijat pada awal April silam. Seperti biasa, saat pemijatan berlangsung, ia pun mengobrol dengan konsumen.
Di sela-sela pembicaraan itulah tamu berambut lurus itu bertanya tentang latar belakang dirinya. Wati pun bercerita, termasuk tentang saat bertugas di DPRD Semarang sebagai juru masak pada 1989-1999. "Saat itu, berkali-kali tamu itu menanyakan apakah saya pernah diajak berhubungan seks dengan anggota dewan," ujar Wati.
Ibu dua anak itu tegas-tegas mengatakan tidak pernah. Namun, betapa kagetnya wanita yang mengaku sudah pisah ranjang dengan suaminya itu tatkala tanpa sengaja ia membaca berita di X-HOT. Apa jawaban X-HOT? Sayang, TEMPO kesulitan menemukan alamat redaksinya. Perumahan Graha Estetika di Jalan Argobogo, Salatiga, yang disebut sebagai kantor tabloid itu ternyata fiktif. Ketidakjelasan alamat redaksi ini juga menyulitkan polisi untuk menyelidiki pemilik tabloid tersebut.
Pengalaman sejenis dialami tabloid Kriminal, akhir April lalu. Kali ini yang melaporkan media itu ke polisi adalah 30 anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Guru diekspos juga? Bukan. Mereka memprotes karena gambar-gambar vulgar kaum hawa di media itu "bisa punya pengaruh jelek kepada perilaku anak didik kami," kata Agus Siswanto, sekretaris PGRI Semarang.
Yogyakarta
SEBERAPA pentingkah batas usia pensiun bagi seorang dosen? Bagi Profesor Soemitro Djojowidagdo, 64 tahun, dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, hal itu sangat berarti, bahkan kalau perlu diperjuangkan sampai ke pengadilan. Gara-gara permintaan perpanjangan pensiun hingga usia 70 tahun tidak ditanggapi rektor, Soemitro melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Sleman.
Menurut penggugat, pihak UGM, dalam hal ini rektor, sudah melawan hukum karena tidak memproses permintaan itu. Padahal, segala persyaratan sudah dipenuhi dengan benar dan lengkap. Selain itu, berdasarkan rapat dosen Jurusan Teknologi Hasil Ternak pada 29 April lalu, tenaga Soemitro masih dibutuhkan.
Guru besar Fakultas Pertanian itu akan memasuki usia pensiun pada Februari 2002. Pada 12 September 2000, melalui rektor, Soemitro mengirim surat permohonan itu kepada Menteri Pendidikan Nasional. Namun, saat ia menunggu jawaban dari pusat itu, tiba-tiba muncul surat tembusan atas nama rektor dari pembantu rektor II, yang menyatakan perpanjangan usia pensiun tidak dapat diproses.
Atas keputusan itulah Soemitro melakukan gugatan. Selasa pekan lalu, gugatan perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri Sleman mulai disidangkan. Soemitro menuntut ganti rugi Rp 207 juta. Selain itu, penggugat meminta kepada pengadilan agar menetapkan usul perpanjangan batas usia pensiun sesuai dengan yang diajukan.
Kuasa hukum Rektor UGM, Marcus Priyo Gunarto, membenarkan bahwa persyaratan yang diajukan Soemitro sudah lengkap. Namun, berdasarkan surat edaran dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang menyatakan agar universitas tidak melakukan perpanjangan usia pensiun, permohonan itu akhirnya ditolak. "Jika itu dilakukan, seluruh biaya menjadi tanggung jawab universitas," katanya.
Karena itu, gugatan tersebut mereka anggap tidak pada tempatnya. Sebaliknya, ucapan Soemitro bahwa rektor tidak transparan dan memberikan informasi secara sembunyi-sembunyi merupakan pencemaran nama baik rektor secara pribadi maupun institusi UGM. Pihaknya pun akan segera melayangkan gugatan balik kepada Soemitro. Lakon berubah, dari rekan menjadi lawan.
Bandarlampung
KASUS yang melibatkan para petambak PT Dipasena Citra Darmaja rupanya tidak kunjung usai. Jumat pekan lalu, ribuan petani udang yang tergabung dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) mendatangi Markas Kepolisian Daerah Lampung. Mereka menuntut agar kasus kriminal yang melibatkan perhimpunan itu dihentikan pengusutannya. Selain itu, Dana Sehat Petambak (DSP) yang disita sebagai barang bukti dikembalikan.
Setelah melalui negosiasi cukup alot, sembilan wakil petambak itu akhirnya diterima oleh Kepala Polda Lampung, Brigjen Suprihadi Sahadi. Seusai pertemuan, "Polisi mengarahkan penyidikan agar kasus perusakan rumah milik petambak kelompok lain dituduh merupakan rekayasa P3UW secara organisasi," kata Alpian, pengacara P3UW.
Tudingan itu dibantah Brigjen Suprihadi Sahadi. "Kami hanya menjalankan tugas. Karena ada pengaduan, kami proses sesuai hukum," katanya. Selain itu, barang bukti berupa DSP yang selama ini dianggap berada di tangan polisi juga dibantah Suprihadi. Selama ini, DSP disimpan oleh pihak manajemen PT Dipasena.
Saat ini, lebih dari 20 pengurus P3UW sudah diperiksa pihak Polda Lampung sebagai tersangka. Hal itu berkaitan dengan aksi perusakan ratusan rumah milik petambak dari kelompok Tim Pelaksana Perjuangan Petani Tambak (TP3T), Petambak Peduli, dan Petambak Poros Tengah, November tahun lalu.
Aksi perusakan itu sendiri bermula ketika kelompok petambak TP3T melakukan unjuk rasa ke DPR dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di Jakarta. Mereka menuntut agar BPPN segera mengucurkan dana Rp 7 miliar kepada PT Dipasena, sesuai dengan hasil pertemuan dengan Komisi IX DPR ketika berkunjung ke Lampung beberapa waktu sebelumnya. Sebaliknya, P3UW menuntut agar dana tersebut jangan dikucurkan sampai Dipasena menyelesaikan kasusnya dengan para petambak. Saat kelompok TP3T sedang ke Jakarta itulah aksi perusakan rumah milik mereka terjadi. Tindakan brutal itu akhirnya dilaporkan kelompok TP3T kepada polisi.
Cimahi
DIAM-DIAM, sejak 7 Mei lalu, status kota administratif (kotif) pada Cimahi, Jawa Barat, dihapus. Hal itu dinyatakan oleh Maskun Rasyim, Kepala Humas Kabupaten Bandung, Kamis pekan lalu. "Keputusan itu sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang tidak mengenal wilayah administratif," katanya.
Selanjutnya, semua kewenangan administrasi daerah tersebut akan "dikembalikan" ke kabupaten. Bersamaan dengan terhapusnya status kotif pada Kota Cimahi, beberapa perubahan juga terjadi. Selain aset pemerintahan menjadi milik Kabupaten Bandung, status para pejabat daerah itu ikut berubah.
Menurut Maskun, para pejabat daerah itu tetap menerima tunjangan jabatan sampai Desember 2001. "Namun, hal itu tidak berlaku bagi pejabat yang mendapat jabatan baru di Bandung," katanya. Tercatat ada sepuluh jabatan struktural di sana. Kendati Cimahi tidak lagi berstatus kotif, urusan administrasi yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat masih dilakukan di sana.
Selain itu, tidak tertutup sama sekali bagi Cimahi untuk menjadi daerah otonom. Kemungkinan itu masih terbuka jika Pasal 5 UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah bisa dipenuhi. Syarat itu, antara lain, mempunyai kemampuan secara ekonomi, sosial budaya, dan sosial politik. Selain itu, jumlah penduduk dan luas wilayah bisa menjadi pertimbangan.
Saat ini, luas wilayah Cimahi sekitar 4.037 hektare, dengan jumlah penduduk di atas 370 ribu jiwa. Sedangkan status kotif diterima Cimahi pada 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1975?terdiri atas 3 kecamatan dan 15 kelurahan. Selama ini, pendapatan asli daerah Cimahi Rp 18,6 miliar. Tak jelas apakah dengan kondisi tersebut Cimahi telah memenuhi syarat atau belum untuk menjadi daerah otonom.
Johan Budi S.P. dan Kontributor Daerah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo