Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah-kisah dari Siak

Buku tentang Siak diterbitkan Yayasan Lontar. Sebuah potret memikat tentang kerajaan purba yang selamat dari amarah revolusi sosial di awal kemerdekaan.

14 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siak Sri Indrapura Penerbit: Yayasan Lontar, 2007 Fotografer: Desiree Harahap Penulis: Marco Kusumawijaya, Sapardi Djoko Damono Tebal: 153 halaman

ISTANA itu selamat dari amuk massa ketika revolusi sosial melanda Sumatera timur, Maret 1946. Enam bulan sesudah kemerdekaan, para pemuda dengan semangat revolusi membakar istana-istana milik kerajaan Melayu yang dianggap tak berpihak pada Soekarno-Hatta. Mereka menculik dan membunuh banyak keluarga aristokrat, termasuk Amir Hamzah. Penyair dan bangsawan dari Langkat itu tewas dengan kepala dipancung. Tapi istana itu tetap tegak berdiri. Koleksi-koleksinya tetap utuh.

Itulah Istana Siak. Sekitar 1945, istana itu dipimpin Sultan Kasim II. ”Saat proklamasi, Sultan Kasim II mengumumkan Kesultanan Siak berdiri di barisan Republik,” kata Suwardi, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Riau. Itu sebabnya, menurut guru besar Universitas Riau ini, Istana Siak tak tersentuh amarah massa. Apalagi Sultan Kasim II pada Oktober 1945 membentuk Komite Nasional Indonesia dan Tentara Keamanan Rakyat. Sejarah mencatat, untuk membantu perjuangan Indonesia, Sultan Kasim II sempat memberikan mahkota, perhiasan, dan sejumlah uang kepada Jakarta. Mahkota bertabur permata dan emas itu sekarang disimpan di Museum Gajah, Jakarta.

Sebuah buku luks tentang Siak diterbitkan Yayasan Lontar. Buku ini memang tidak khusus mengulas ”nasionalisme” bangsawan Siak. Sebagian besar halamannya diisi informasi mengenai istana yang dibangun Sultan Assayidis Syarif Hasyim Syaifuddin Syah (Raja Siak XII) pada 1889 itu. Buku ini berusaha menampilkan Siak secara utuh, mulai gaya arsitektur istana yang mencampur gaya Timur Tengah dan Barat sampai serba-serbi makanan khasnya.

Siak adalah kabupaten yang bisa dicapai dengan feri atau speedboat dari Pekanbaru, Bengkalis, Batam, dan Tanjung Pinang. Untuk keperluan buku ini, Yayasan Lontar mengirim ahli tata kota Marco Kusumawijaya dan fotografer Desiree Harahap.

Keduanya berduet dengan kompak. Marco memaparkan kekhasan rumah-rumah yang dipengaruhi unsur Cina, Melayu, dan Arab, selain menjelaskan unsur tata kotanya. Jepretan Desiree menghadirkan suasana pasar, pecinan, kelenteng, serta detail-detail seperti keantikan pintu dan jendela bangunan-bangunan itu. Kamera Desiree ”menge-zoom” lambang-lambang kerajaan, dekorasi, ornamen, pilar kayu, tangga melingkar, plakat-plakat emas, dan aneka ruang yang memiliki fungsi berbeda-beda. Di tangan Marco dan Desiree, kekhasan eksterior dan interior Istana Siak dan Masjid Shahabudin, yang terletak tak jauh dari Istana Siak, terasa mencorong.

Istana yang kini menjadi pusat rekreasi masyarakat Siak itu memang masih kukuh, anggun, dan asri. Terletak di Jalan Sultan Syarif Khasyim, istana itu pernah dipugar pada 1973, 1983, 2003, dan 2006. Bangunan utama langsung terlihat ketika kita masuk istana tersebut. Pengaruh Timur Tengah tampak dari banyaknya lengkungan (arch) pada kusen dan arcade pintu masuk utama. Kompleks Istana Siak ini juga dipenuhi taman. Di sana terserak sembilan meriam tembak yang dipasang menghadap ke sungai.

Taman istana merupakan bagian yang menyatu dengan istana itu sejak awal. Taman ini menjadi khas karena mempunyai elemen-elemen yang melingkar. Dulu di sini banyak tumbuh bunga melur. Oleh Sultan, di tempat ini dulu kerap diselenggarakan pesta kebun. Para tamu biasanya dihibur dengan tarian zapin. Istana Siak memang dikenal sebagai salah satu tempat berkembangnya zapin gaya istana.

Masuk ke bangunan utama, nuansa sejuk terasa, kendati bangunan itu tidak dilengkapi alat pendingin udara. Marmer putih abu-abu yang mengkilap membuat ruangan bersekat-sekat itu terasa luas. Di sejumlah tempat tampak dipajang foto-foto lama yang merekam aktivitas Sultan Siak dan permaisurinya.

Di sudut dinding teronggok sebuah brankas setinggi dua meter dengan lebar sekitar 85 sentimeter. Menurut hikayat, brankas itu belum pernah dibuka. Konon, semenjak Sultan wafat, tidak ada yang mampu membukanya. Entah apa isi brankas itu. Disebut-sebut, kunci brankas dibuang Sultan ke Sungai Siak. Tapi soal brankas yang unik itu tidak diulas dalam buku ini.

Yang juga menarik dari buku ini adalah ditampilkannya banyak foto lama milik keluarga turunan Sultan Siak. Misalnya ada foto langka rombongan delegasi Sultan dari Indonesia yang berkunjung ke Belanda pada September 1898. Selain Sultan Siak, di foto itu terlihat Pangeran Ario Mataram, Pangeran Hasanuddin Mangkunegoro, dan Pangeran Amidin Sosronegoro. Tidak dijelaskan bagaimana pangeran-pangeran dari Jawa dan Sumatera itu bisa bersama-sama ke Eropa, meski Eropa sebetulnya bukan hal yang asing bagi kerabat Istana Siak. Pada 1890, misalnya, Sultan Hasyim berkunjung ke Eropa dan ia sempat membeli gramofon buatan Jerman disertai piringan hitam Beethoven, Mozart, dan Schubert.

Bagian penting lain dari buku ini adalah pembahasan tentang Hikayat Siak. Bagian ini ditulis oleh penyair Sapardi Djoko Damono. Disebutkan, misalnya, pendiri dinasti Siak yang mendapat julukan Raja Kecil (1723-1726) ternyata masih keturunan Sultan Johor. Bagian buku yang menceritakan khazanah literatur Siak juga dilengkapi dengan bagian kecil tentang riwayat Suman Hs., penulis novel Kasih Tak Terlerai. Suman adalah orang Batak yang lahir di Bengkalis pada 1904. Ia menjadi guru di HIS, sekolah Belanda, di Siak pada 1923-1930. Ia disebut-sebut sebagai sastrawan yang mampu menangkap kehidupan masyarakat kecil Siak sehari-hari.

Bagian akhir buku ini berbicara tentang masa depan Siak. Fotografer Desiree membidik kesibukan kapal-kapal yang berlabuh, pipa minyak yang melintas, perkebunan nanas, dan jalan-jalan baru. Ia lalu memotret wajah-wajah anak yang cerah di taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan pesantren. Anak-anak berpeci dan berjilbab itu tampak riang. Desiree juga mengabadikan panorama Sungai Siak tatkala senja. Sungai yang paling dalam di Indonesia itu—kedalamannya 29-35 meter—terlihat dibuai langit merah yang luas dan sepi. Siak adalah kota kecil yang mulai menggeliat ekonominya.

Meski proses pembuatannya banyak dibantu pemerintah setempat, buku ini tidak menjadi kecap promosi—walau, dengan deskripsi yang ringkas, padat, dan informatif, bisa membujuk mereka yang belum pernah ke Siak untuk sekali waktu singgah. Mengunjungi sebuah kota yang berdiri di tepi sungai, mengunjungi sebuah istana, tempat dulu zapin senantiasa digelar….

Seno Joko Suyono (Jakarta), Jupernalis Samosir (Siak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus