Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piring plastik itu dilempar ke udara. Benda bundar tersebut berputar-putar ke atas. Sampai titik tertentu, dia mulai bergerak ke bawah dengan tetap berputar dan bergetar sebelum akhirnya jatuh ke lantai. ”Ini bukti teori gerak dan gravitasi Newton,” kata Yudistira Virgus, mahasiswa Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung, pertengahan April lalu. Para hadirin—kebanyakan siswa SMA di Bandung—yang memadati Ruang Boscha, ITB, bertepuk tangan.
Itu adalah sebagian dari acara rutin Klab 102 Fisikawan Muda ITB atau disingkat Klab 102 FM, yang digelar dua kali dalam satu semester. Mereka menamai kegiatan itu Fisikasyik. Dalam setiap ”pertunjukan”, pengurus Klab menjelaskan teori dan fenomena fisika secara ringan, baik melalui tebak-tebakan, lelucon, maupun eksperimen. ”Fisika bukan sesuatu yang rumit, melainkan hal yang fun,” ujar Yudis, peraih medali emas di Olimpiade Fisika Internasional 2004, yang juga salah satu pengurus Klab.
Ya, fun, namun tetap mengajak orang berlogika dan berpikir. Lihat saja situs mereka, http://102fm.nicecorners.net, yang penuh dengan teka-teki fisika, lelucon, bahkan puisi cinta ala seorang fisikawan. Ada tebak-tebakan: mengapa Superman tidak bisa menyedot minuman yang terletak 10 kilometer di bawahnya dengan sedotan? Teka-teki berjudul ”Superman kasihan deh loe” ini dijawab dengan cara mengukur tekanan udara ala Torricelli, fisikawan asal Italia penemu barometer.
Ada juga cerita tentang seorang anak yang bertanya kepada Isaac Newton dan Albert Einstein. ”Mengapa bebek-bebek ketika menyeberang jalan selalu berbaris rapi, mengikuti pemimpin dengan baik?” Newton menjawab dengan hukum Newton: ”Bebek-bebek yang sedang diam akan cenderung terus diam, sedangkan yang sudah bergerak cenderung bergerak menyeberang jalan berbaris bersama dan mengikuti pemimpinnya”. Einstein menimpali dengan hukum Relativitas: ”Apakah bebek yang ’menyeberangi jalan’ atau ’jalan menyeberangi bebek’, itu tergantung cara Anda memandangnya.”
Berdiri sejak April 2004, Klab 102 FM awalnya adalah grup diskusi sejumlah mahasiswa Jurusan Fisika ITB yang menyukai kajian fisika dasar. Tak puas sekadar diskusi, Reinard Primulando, salah satu pendiri Klab, mengubah gaya kelompok mereka dari model kajian internal menjadi ”dakwah”. Mereka tidak lagi terkungkung di ruang-ruang debat, melainkan langsung mengajarkan fisika kepada publik, terutama siswa SMA secara mudah dan mengasyikkan. Untuk itu, diciptakanlah acara Fisikasyik pada 2006.
Bahkan kini mereka sedang menyusun komik dengan tokoh utama Si Pinsil. Ceritanya, Si Pinsil, yang berupa sebatang pensil, bertualang mengikuti berbagai hukum fisika. Serial pertama adalah tentang teori gravitasi Newton. Menurut penjelasan dalam situs mereka, komik fisika ala Klab 102 FM dibuat sesuai dengan kurikulum sekolah dan dimaksudkan untuk dapat mengganti buku teks yang sulit. ”Baru akan diluncurkan, menunggu selesainya riset,” kata Ryan Alfian, seorang pengurus Klab 102 FM.
Klab juga akan menerima anggota dari kalangan siswa SMA, bukan hanya para mahasiswa seperti dulu. Menurut Ryan, kini sudah cukup banyak anak SMA yang ingin menjadi anggota Klab. Targetnya tak sekadar bisa menang di berbagai kompetisi fisika. ”Mudah-mudahan kami juga bisa menghasilkan karya gemilang seperti Mbah Einstein,” ujar Ryan.
Tidak hanya Klab 102 FM yang giat berbagi ilmu fisika dengan anak-anak dan remaja. Di Yogyakarta, ada Hiddenleaf, kelompok studi fisika yang didirikan mahasiswa Teknik Industri dan Elektro Universitas Gadjah Mada (UGM). Cerita awalnya mirip Klab 102 FM, yaitu hanya menjadi ajang mahasiswa penggemar fisika menyalurkan hobi bereksperimen atau berdiskusi. Pada 2005, enam bulan setelah berdiri, mereka mulai aktif memberikan model pembelajaran fisika—di SD disebut sains—kepada sejumlah sekolah dasar di Yogyakarta.
Sejak itu, mereka aktif mengenalkan gaya baru pembelajaran sains ke anak-anak. Caranya, mereka diboyong ke luar kelas, membuat eksperimen dan permainan untuk menjelaskan berbagai fenomena alam. Alat peraganya sederhana, bahkan dari alat-alat bekas. ”Yang penting logika konsepnya masuk ke anak-anak,” ujar Ketua Hiddenleaf, Arkhadi Pustaka.
Di markas Hiddenleaf, Jalan Nogosari Lor 3, kompleks Keraton Yogyakarta, sekali seminggu para murid dan guru datang untuk ikut bermain. Atau, anggota Hiddenleaf diundang ke sekolah untuk mengajari fisika secara asyik. Kelompok juga melatih anak-anak sekolah menjelang perlombaan sains yang digelar sejumlah lembaga. Tak jarang, anggota Hiddenleaf diminta menjadi juri olimpiade sains anak-anak. ”Misi kami terutama ingin membangun sikap dan pola berpikir ilmiah anak melalui sains dan teknologi,” kata Arkhadi.
Yang dilakukan mahasiswa Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, sedikit berbeda dengan Klab 102 FM dan Hiddenleaf. Sejak dua tahun lalu, mereka mendirikan Science Center bekerja sama dengan mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang. Target mereka bukan para siswa, melainkan guru-guru fisika di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.
Science Center memberikan mentoring cara mengajar fisika kepada para guru fisika SMP dan SMA. Menurut Doktor Triwikantoro, Ketua Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, ITS, hingga kini Science Center sudah membina SMP dan SMA di 17 kota dan kabupaten di Jawa Timur. ”Para guru mengakui metode ini (yang diterapkan Science Center) adalah yang mereka cari,” kata Tri kepada Sunudyantoro dari Tempo, Kamis pekan lalu.
Contohnya begini. Pada 20 menit pertama pelajaran fisika, siswa diajak keluar kelas untuk mengidentifikasi beberapa gejala fisika, misalnya hijau daun, pagar besi berkarat, dan kerangka pintu yang melengkung. Setelah itu, mereka kembali ke kelas, lalu si guru menjelaskan gejala tersebut. ”Jika mereka sudah paham logika gejala itu, baru diajarkan rumusnya. Bukan rumus dulu yang diajarkan seperti pengajaran biasa,” kata Tri.
Demam fisika agaknya memang menyebar bak virus. Mulainya memang baru terbatas di kota-kota yang memiliki perguruan tinggi ternama seperti Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Walau demikian, bukan tidak mungkin akan terus menyebar ke kota-kota lain. Apalagi, di tingkat sekolah juga banyak tumbuh klub studi fisika seperti yang ada di SMA Sutomo, Medan, SMA 4 Denpasar, dan SMA Taruna Nusantara, Magelang.
Juga, karena ada daya tarik yang lain: olimpiade fisika, baik di level lokal maupun internasional. Menurut Wakil Pembina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), Rachmat Widodo A.S., ajang seperti olimpiade banyak manfaatnya. Semangat berkompetisi tak hanya memicu prestasi, tapi juga mendongkrak mutu. ”Gaya pengajaran sains di sekolah berubah, klub-klub sains sebagai alternatif pembelajaran di luar sekolah juga marak,” ujarnya.
Efek positifnya kini sudah dirasakan. Menurut Yohanes Surya, pendiri TOFI, dulu sulit sekali mencari bibit ”ilmuwan muda” yang bisa diikutsertakan di ajang kompetisi internasional. Kini, setelah fisika makin digandrungi, tugas menjaring kandidat peserta olimpiade jauh lebih mudah. Bukan tidak mungkin, keinginan Ryan Alfian untuk mengikuti jejak Einstein bisa tercapai.
Widiarsi Agustina, Rinny Srihartini (Bandung),Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo