Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Politisasi Kudatuli

26 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang Widjojanto *) Praktisi hukum, advokat senior di Widjojanto, Sonhaji Ass.

Kasus 27 Juli 1997 kembali diekspos beberapa hari belakangan ini. Ada banyak komentar: bukan hanya pro dan kontra tetapi juga ada ironi dan dilema. Bagi korban kerusuhan 27 Juli 1996 (kudatuli), diangkat kembalinya kasus ini relevan bagi tuntutan yang terus-menerus mereka perjuangkan. Tapi, bagi sebagian masyarakat, pengusutan kudatuli tak lebih dari sekadar proses politisasi.

Di satu sisi, sulit mengingkari, ada berbagai fakta yang mengenaskan dan belum terjawab tuntas. Beberapa belas korban kudatuli masih hilang tak jelas rimbanya. Sebagian pelaku tindak pidana masih belum tersentuh hukum. Fakta kejahatan secara keseluruhan belum utuh terungkap sehingga belum jelas betul siapa penyusun skenario dan pemberi order. Juga sejauh mana keterlibatan penguasa sipil ketika itu dan siapa saja mereka.

Keseluruhan fakta ini menjadi ironi karena penguasa sekarang adalah yang dulu menjadi korban. Mereka seolah tak punya kehendak kuat untuk membongkar kejahatan kudatuli. Karena itu, elite partai dan penguasa tak luput dari gugatan korban 27 Juli yang notabene adalah simpatisan dan anggota partai sang penguasa.

Kini, persoalan menjadi bersifat politis karena sebagian orang yang diduga terlibat dalam kasus itu mempunyai posisi politik dan sensitif. Sebut saja bekas Panglima Kodam Jaya Sutiyoso (kini Gubernur Jakarta) dan bekas Kepala Staf Kodam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono (kini calon presiden).

Banyak orang mafhum, kini posisi mereka rawan secara politik. SBY sebagai kandidat yang sudah pasti maju di putaran kedua pemilu presiden harus berhadapan dengan calon lain yang tengah berkuasa. Begitupun dengan Sutiyoso, penguasa yang "dekat" dengan kekuasaan namun belakangan "dinilai" tidak memberikan dukungan pada penguasa serta cenderung "membela" lawan tanding penguasa dalam pemilihan presiden.

Di sisi lainnya, ironi di atas dan sensitivitas posisi politik beberapa orang tertentu juga menciptakan dilema dan potensi politisasi. Bukankah tuntutan sebagian besar korban kejahatan kudatuli, khususnya korban yang mendapat penganiayaan fisik, adalah tuntutan hukum? Kalau begitu, apa yang salah bila kini aparat penegak hukum membongkar kembali kasus kudatuli?

Jika tuntutan korban justified, lalu mengapa tindakan dari aparat penegak hukum harus dipersoalkan? Aparat mestinya diapresiasi karena mau menindaklanjuti kudatuli. Bukankah tuntutan para korban kudatuli juga representasi dari sebagian besar kita semua untuk membongkar dan menghukum siapa pun yang terlibat dalam kudatuli. Apa yang salah dengan aparat keamanan?

Di tengah kehendak itu, publik juga sangat mafhum, mengapa aparat penegak hukum begitu "bersemangat mengutak-atik" kasus ini. Sulit untuk menghindari sinyalemen, mereka bekerja atas kehendak dan kepentingan penguasa. Jadi, bukan kepastian hukum yang ditegakkan atau rasa keadilan dari para korban kudatuli yang diwujudkan. Mereka sekadar instrumen bagi kepentingan elite kekuasaan karena melegitimasi politisasi kudatuli.

Pada titik ini terjadi dilema, apa yang mesti dilakukan oleh aparat penegak hukum: meneruskan atau menghentikan penyidikan/penuntutan kasus kudatuli. Dalam keseluruhan persoalan ini, aparat penegak hukum potensial menjadi korban. Tentu saja, jika mereka memang tak kuasa menolak intervensi kekuasaan kendati telah berupaya menolaknya. Aparat juga bisa dituding sebagai alat kekuasaan kalau mereka melakukan kewenangannya tidak sesuai dengan tujuan dan kepentingan hukum yang semestinya ditegakkan.

Selain itu, proses ini juga memperlihatkan bahwa kepentingan korban hanya akan diperhatikan kalau kepentingan itu bersesuaian dengan kepentingan penguasa. Karena itu para korban tampaknya harus "pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kepentingan kekuasaan dengan menggunakan momentum yang tepat". Dengan cara seperti itulah tuntutan untuk mewujudkan kepastian hukum bisa dilakukan.

Lepas dari segala hal di atas, sebaiknya kudatuli harus dituntaskan demi dan untuk kepentingan kepastian hukum serta keadilan. Kita mafhum betul, ada kepentingan kekuasaan tengah bermain untuk memperlihatkan mereka konsisten menegakkan hukum. Aroma politisasi kudatuli sulit untuk diingkari. Kita bisa menggunakan momentum ini untuk menuntut penguasa dan penegak hukum agar terus istikamah dalam menjamin kepastian hukum dan amanah dalam menggunakan kewenangannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus