Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Indonesia, kata Juna Rorimpandey alias chef Juna, punya kekayaan kuliner yang tersebar di 17.500 pulau dari Sabang sampai Merauke. Demikian dia menyampaikan hal itu dalam narasi Kisarasa: Kenali Kisah di Balik Rasa, serial dokumenter yang ditayangkan di YouTube mulai 1 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan misi menggali kekayaan budaya itu, sutradara Cianicolay beserta co-producer chef Juna dan chef Renatta Moeloek bergandengan menyusun serial Kisarasa. Awalnya, ide proyek ini berasal dari kesukaan serta keingintahuan Cianicolay dengan beragam kuliner khas daerah di Indonesia. “Setelah brainstorm, Juna dan Renatta pun punya keinginan yang sama untuk membahas kuliner Indonesia dengan lebih dalam,” kata Cianicolay kepada Tempo, Jumat, 2 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cianicolay, yang kerap menggarap konten-konten video di YouTube, mengatakan mereka juga ingin mengangkat citra film dokumenter. Dia mengutip data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan, per 2020, tercatat ada 3.423 film Indonesia. Namun hanya ada 168 film yang berjenis dokumenter. “Kami mau meng-highlight cerita orang-orang yang terlibat dalam pembuatan satu masakan,” kata sutradara Jade Fifty Production itu.
Cuplikan membuat bebek betutu khas Bali dalam film dokumenter "Kisarasa" episode 1 di Bali. Dok. Dailybox Group
Menurut dia, film dokumenter menjadi media terbaik untuk merekam perjalanan orang-orang di balik masakan-masakan tradisional. Cianicolay cs ingin audiens melihat lebih dekat kerja keras petani beras, kesulitan pengepul kluwek dan peternak sapi, repotnya ibu-ibu tukang masak, dan seterusnya. “Mudah-mudahan bisa membangun apresiasi terhadap masakan tradisional,” ujarnya.
Musim pertama serial ini terdiri atas delapan episode. Film baru dirilis tiap pekan. Chef Juna mengatakan setiap episode Kisarasa menceritakan orang-orang di balik setiap masakan. “Kuliner tradisional tetap relevan di tengah perkembangan zaman karena ada local heroes yang berusaha melestarikannya,” ujar chef Daily Family itu melalui rilis pers, 1 September.
Untuk menyajikan satu hidangan, kata chef Renatta, dibutuhkan kolaborasi yang apik. “Kisarasa adalah serial dokumenter yang menceritakan betapa banyaknya tangan yang terlibat, mulai pemilihan bahan baku hingga menjadi hidangan yang dinikmati oleh banyak orang,” kata dia.
Tantangan Menggarap Film Dokumenter Kuliner
Sutradara Cianicolay mengatakan penggodokan ide berjalan relatif mudah karena seluruh anggota tim berangkat dari visi yang sama. Setiap kru bekerja sama dengan baik, ditambah dukungan Dailybox Group. Yang lumayan sulit, dia melanjutkan, adalah menentukan jenis kuliner dan lokasi. “Karena Indonesia luas,” kata dia.
Setelah melewati banyak diskusi dan bahan pertimbangan, tim memutuskan musim pertama Kisarasa hanya akan berfokus mengeksplorasi kuliner khas Yogyakarta dan Bali. Namun bukan berarti mereka mengabaikan daerah lain. “Cita-citanya, season-season selanjutnya kami bisa keliling sampai ke Sulawesi, Maluku, dan lainnya,” ujar Cianicolay.
Di lapangan, mereka kerap terhambat saat hendak meyakinkan narasumber untuk berbagi cerita. “Beberapa bahkan ada yang enggak berani karena takut ketemu dan dimarahi chef Juna,” kata Cianicolay, tertawa.
Tantangan lain yang mereka hadapi adalah waktu. “Kami sudah atur jadwal syuting dan kami harus mengikutinya,” ujar Cianicolay. Di sana, tim kerap tergoda untuk mengeksplorasi kisah lebih jauh. Namun, karena keterbatasan waktu, mereka kudu menahan diri. Cianicolay mengatakan kedisiplinan mengikuti jadwal itu poin yang penting dalam menggarap Kisarasa. Karena itu, kerja di bawah guyuran air hujan mereka jalani demi memenuhi agenda yang telah disepakati.
Renatta Moeloek (kanan) dalam film dokumenter Kisarasa. Dok. Dailybox Group
Respons Positif Penggemar Masak
Dalam 24 jam pertama penayangannya, episode pertama Kisarasa menuai 3.000 penonton. Sepanjang 35 menit, film ini bercerita tentang bebek betutu Ibu Ray di Denpasar.
Episode ini mengupas perjuangan Ray Kalam dalam menyekolahkan anak-anaknya bersama suaminya, dosen di Universitas Udayana. Kisah ibu paruh baya itu diceritakan melalui menantunya, Tjok Gek; anaknya, Agung Gede Bagus Udayana; dan pemilik warung makan Lawar Nyawan Piring Mas, Ida Ayu Prita Putrayani.
Visualisasi film dokumenter ini dinilai apik oleh penonton. “Pas bagian mulai masak, gue langsung lapar,” kata Tyara Alya, 21 tahun, mahasiswa. Alya, yang gemar memasak di rumah, juga menjadi penasaran dengan cara dan alat menggarap masakan tradisional. “Kalau gue masak di rumah selalu terpaku dengan utensil yang memadai,” kata warga Pamulang, Tangerang Selatan, itu.
Sebagai orang yang awam dalam dunia memasak, Alya merasa terhibur oleh acara-acara yang mengulik gastronomi, terutama hidangan autentik daerah. “Intinya, sih, gue ngiler banget,” ujar Alya.
Alya memuji edukasi yang disajikan dalam Kisarasa. Dari film dokumenter itu, dia baru tahu bahwa bebek betutu betul-betul khas karena menggunakan bumbu-bumbu yang hanya ada di Bali.
Rose, warga Sawangan, Depok, Jawa Barat, segendang sepenarian. “Narasi-narasi yang diperdengarkan di Kisarasa bikin aku semakin paham untuk menghormati dan mencintai makanan,” kata Rose. Perempuan berusia 52 tahun yang sehari-hari mengurus usaha makanan rumahan ini terkesan oleh kutipan pada awal episode yang mengingatkan bahwa makanan adalah kehidupan, ditambah dengan cerita yang membuktikan pernyataan tersebut.
Andini Sekar, warga Condet, Jakarta Timur, merasa tujuan Kisarasa memperkenalkan masakan khas daerah itu tersampaikan. “Benar-benar nunjukin betapa kaya Indonesia,” kata mahasiswi berusia 20 tahun itu. “Gue amazed banget.”
NATHANIA S. ALEXANDRA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo