Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Koalisi Seni meluncurkan Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian.
Tindak lanjut atas konvensi UNESCO soal kebebasan berkesenian.
Pelapor bisa sekaligus meminta pendampingan hukum dari YLBHI.
Pelarangan kegiatan kesenian di sejumlah tempat di Indonesia mendorong Koalisi Seni meluncurkan sistem pelaporan bagi seniman dan masyarakat yang aktif berkesenian. Rabu, 10 Mei 2023, sekitar 50 orang yang terdiri atas seniman dan anggota lembaga swadaya masyarakat turut dalam diskusi serta peluncuran sistem tersebut di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari catatan yang dikumpulkan pada 2022, Koalisi Seni menghitung setidaknya ada 48 kasus pelarangan kebebasan berkesenian yang dialami pelaku seni sepanjang 2021. Hafez Gumay, Manajer Advokasi Koalisi Seni, mengatakan jumlah tersebut baru berdasarkan catatan yang diambil dari berita media. "Mekanisme ini kan baru. Jadi, selama ini memang tidak ada yang monitoring,” kata dia saat ditemui seusai acara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hafez mengatakan pelaku seni masih kerap mendapat perlakuan tidak adil sebagai pekerja. Di satu sisi, kebebasan mereka sering dibatasi. Di sisi lain, mereka tidak memiliki jaminan sosial tenaga kerja dan pelindungan lain. "Ini membuat seni menjadi pekerjaan yang jarang dipilih," ujarnya.
Koalisi Seni didukung oleh UNESCO meluncurkan Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 Mei 2023. TEMPO/Ilona Esterina
Mekanisme pelaporan kebebasan berkesenian, menurut Hafez, juga diterapkan di luar Indonesia. Pada 2005, Indonesia meratifikasi hasil konvensi UNESCO—organisasi PBB untuk pendidikan, sains, dan kebudayaan— tentang laporan kebebasan berkesenian. Kala itu, Indonesia menyetujui memberikan laporan per empat tahun. Namun, dia melanjutkan, tidak semua laporan dikirim dan dijalankan Indonesia. "Alasannya tidak punya data," ujarnya.
Karena itulah, UNESCO turut mendukung Sistem Pemantauan Kebebasan Berkesenian yang diluncurkan Koalisi Seni, kemarin. Selain membantu pelaporan, sistem ini berfungsi sebagai pencatatan. Masyarakat ataupun pelaku seni juga dapat mengakses data tersebut. Hingga kemarin, jumlah korban pelanggaran kebebasan berkesenian sebanyak 138 orang, yang terdiri atas 99 seniman dan 39 non-seniman. Sedangkan entitas pelaku diperkirakan berjumlah 162 dan didominasi aparat keamanan.
Pelaporan dapat dilakukan dengan mengakses laman Kebebasanberkesenian.id dan mengeklik "Catat kasusmu di sini!". Koalisi akan memproses laporan dengan lebih dulu memeriksa jenis pembatasan yang diterima. Setelah pemeriksaan lewat sejumlah bukti yang dimiliki pelapor, tim dari Koalisi akan menanyakan kebutuhan pelapor. "Apakah mau laporannya diproses atau sebagai data saja," ujar Hafez.
Jika pemohon meminta proses lanjutan, Koalisi Seni akan membantu penanganan aduan dengan melibatkan lembaga pengacara, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Seni tari merupakan jenis kesenian yang paling banyak menjadi korban, kemudian diikuti film dan seni rupa. Menurut Hafez, angka tersebut dikumpulkan berdasarkan catatan media dan beberapa laporan. "Di lapangan, angkanya bisa jadi lebih besar lagi," ucapnya.
Dari catatan Koalisi, Hafez melanjutkan, angka tertinggi pembatasan kebebasan berkesenian terjadi pada 2014 dan 2016. "Peningkatannya drastis," ujarnya. Menurut dia, tren kenaikan bisa kembali terjadi pada 2024.
Selama tahun politik itu, mereka yang merasa tidak suka dengan karya seni tertentu dapat mempidanakan senimannya. Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan keberadaan pasal karet seperti pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dijadikan senjata untuk memberangus kebebasan berkesenian.
Gietty Tambunan, anggota komite film di Dewan Kesenian Jakarta, mengatakan belum ada pemantauan dan mekanisme pelindungan yang baik bagi pelaku kesenian. Hal itu dapat dilihat dari masih tingginya pembatasan dan pembubaran pertunjukan kesenian. Selain mendorong untuk melapor ke Koalisi Seni, dia menilai seniman perlu membangun jejaring yang kuat. "Yang sudah bisa sendiri bisa membantu memberikan ruang pementasan bagi seniman lain," kata dia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Hilmar Farid, mengapresiasi peluncuran sistem pemantauan ini, "Situs web real time ini bagus untuk mengetahui secara transparan bagaimana angkanya," kata dia. Selain itu, data sistem ini dapat menjadi laporan kepada UNESCO untuk mengukur tingkat kebebasan berkesenian di Indonesia.
Seniman tidak menuntut kebebasan tanpa batas. Hafez mengatakan pembatasan bisa saja diberlakukan sepanjang menerapkan hukum positif dengan menyebutkan detail pasal yang mengaturnya. Selain itu, perlu mekanisme banding bagi seniman yang karyanya dilarang. "Seharusnya (seniman) mendapat kesempatan menjelaskan, tidak dilarang begitu saja," kata dia.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo