Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Indonesia Tumpah Darahku

31 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo*

Dua hari menjelang Kongres Pemuda yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), Muhammad Yamin merampungkan sajaknya bertajuk Indonesia Tumpah Darahku di Tanah Pasundan. Ditulis dengan napas panjang, hingga mencapai 88 bait, sajak itu menggambarkan pergeseran pandangan Yamin mengenai "tanah air" yang semula di sekitar Andalas, pulau kelahirannya, menjadi Indonesia nan luas (lihat telaah Deliar Noer, "Yamin and Hamka: Two Routes to an Indonesian Identity", dalam Perceptions of the Past in Southeast Asia, suntingan Anthony Reid dan David Marr).

Bait pembuka sajak itu hanya mengesankan tentang lukisan pemandangan yang dilamunkan oleh seseorang yang kesengsem pada keelokan alam: "Duduk di pantai tanah yang permai/ Tempat gelombang pecah berderai/ Berbuih putih di pasir terderai/ Tampaklah pulau di lautan hijau/ Gunung-gunung bagus rupanya/ Dilingkari air mulia tampaknya/ Tumpah darahku Indonesia namanya" (kutipan dalam Ejaan yang Disempurnakan). Di bait inilah tergambar ruang yang lebih luas melampaui "Andalas" yang terasa terbatas. Bait itu diulang empat kali sepanjang sajak untuk memperlihatkan betapa terpikatnya penulis lirik pada keelokan "tanah permai" yang disebut Indonesia.

Boleh jadi Indonesia Tumpah Darahku merupakan tipe sajak mooi Indië atau Hindia molek—meminjam ungkapan pelukis S. Sudjojono untuk menyindir sesama pelukis Indonesia yang berkutat pada tema pemandangan alam yang membuai sebagai ekspresi romantisisme terhadap Tanah Air. Tema yang kemudian mengundang kritik bahwa lukisan seperti itu ingin melupakan persoalan konkret anak negeri kolonial yang hidup berkesusahan. Seperti diketahui, kecenderungan estetika ini terlihat sejak sekitar seperempat hingga separuh pertama abad ke-20, sejalan dengan waktu Yamin bergiat dalam pergerakan nasional dan menulis "sajak kebangsaan" itu.

Ditilik lebih jauh, Indonesia Tumpah Darahku tampaknya memang memantulkan pernyataan "pro-patria": renungan tentang riwayat tanah air yang patut dicinta, dijunjung, dan dibela. Imaji itu tersembul dalam bait: "Tumpah darah Nusa-India/ Dalam hatiku selalu mulia/ Dijunjung tinggi atas kepala/ Semenjak diri lahir ke bumi/ Sampai bercerai badan dan nyawa/ Karena kita sedarah-sebangsa/ Bertanah air di Indonesia." Pada bait-bait selanjutnya, sajak itu melukiskan mozaik lanskap yang sangat berwarna: bentangan luas wilayah geografi, keragaman identitas budaya, kejayaan negeri bahari, tinggalan artefak kuno, ketokohan para patriot, dan seterusnya.

Yamin tampak meyakini bahwa tanah air dan bangsa Indonesia telah "terberikan" secara alamiah. Sejauh sumber yang bisa ditelusuri, dia melihat ada dua "sumpah" terjadi sebelum Sumpah Pemuda. Sumpah pertama di kaki Bukit Siguntang, Palembang, pada 683 Masehi, yang mengukuhkan Kedatuan Sriwijaya sebagai "negara nasional" sampai sekitar seribu tahun kemudian. Disusul sumpah kedua pada abad ke-14, ketika di paseban Keraton Majapahit, Mahapatih Gajah Mada bertekad meluaskan kekuasaan keprabuan itu melampaui kawasan Gunung Penanggungan, pusatnya bertegak di Jawa Timur. Terakhir, Sumpah Pemuda adalah simpul persatuan bangsa Indonesia yang terasakan sampai sekarang.

Menguatkan argumennya tentang genealogi kebangsaan itu, Yamin juga berkeyakinan bahwa bahasa Melayu merupakan warisan tua bangsa Indonesia. Katanya, bahasa Melayu diketahui telah digunakan setidaknya sejak abad ke-6 Masehi dan menjadi "bahasa kerajaan" Majapahit. Bahkan kemudian bahasa itu meluas sebagai lingua franca di kawa­san Asia. Maka tak ada alasan untuk tidak merawat dan mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa identitas bersama. Pada titik inilah Sumpah Pemuda mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang, dalam kata-kata Yamin, sebagai satu "benda ruhani", di samping bendera pusaka dan lagu kebangsaan, melambangkan kedaulatan bangsa.

Barangkali Yamin berada dalam alam pikiran "perenialistik"—meminjam konsep Anthony D. Smith dalam Nationalism: Theory, Ideology, History (2001). Dalam arti umum khazanah Inggris, perennial adalah "tumbuh-tumbuhan yang tetap hijau" atau "abadi". Perenialisme, menurut Smith, didorong oleh gagasan tentang evolusi sosial yang menekankan gradualisme, tahapan perkembangan dan kumulasi sosial-budaya. Maka suatu bangsa yang terbentuk dari proses itu sering dibayangkan sebagai komunitas alamiah yang terjalin oleh perjalanan sejarah yang panjang. Kedengarannya romantis, tapi bahaya perenialisme adalah jika menjelma jadi "berhala" yang menafikan sekadar keliyanan kalaupun bukan perubahan masyarakat itu sendiri.

Mungkin juga Yamin telah "mendahului" Benedict Anderson. Jauh hari sebelum Ben berteori bahwa suatu bangsa merupakan "komunitas yang terbayangkan" dalam risalahnya, Imagined Communities, yang terbit pertama kali pada 1983, Yamin lewat sajaknya itu telah merasakan, "Bangsa Indonesia bagiku mulia/ Terjunjung tinggi pagi dan senja/ Sejak syamsiar di langit nirmala/ Sampaikan malam di hari kelam…."

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus