Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Konflik-konflik tanpa Tabir

Buku yang mengupas aneka kekerasan kontemporer di Nusantara. Membuka lekuk-lekuk dalam isu kekerasan yang belum banyak disorot sebelumnya.

1 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Violent Conflicts in Indonesia; Analysis, representation, resolution Penyunting: Charles A Coppel Penerbit : Routledge Contemporary Southeast Asia Series, Oxon, 2006 Tebal : 322 halaman

Kita masyarakat yang terbiasa hidup dalam alam budaya yang menyangkal segala yang negatif tentang diri kita dengan membangun dikotomi (kita dan mereka). Tapi membaca Violent Conflicts dengan 19 bab tulisan para pakar dari berbagai lapangan, kita jadi menarik napas, mengerut kening, memandang keluar jendela, mengasimilasi rasa malu, marah, dan penasaran. Peristiwa-peristiwa kekerasan dikupas, diteropong tanpa ampun. Namun, isinya tak dibiarkan mengalir secara tendensius.

Dalam Violent Conflicts kita menelusuri kembali peristiwa-peristiwa kekerasan yang sudah kita baca dan dengar. Bedanya buku ini dengan pembahasan-pembahasan sebelumnya, ia menyorotnya dengan lampu ratusan watt, dan sering pada segi-segi yang mungkin ingin kita dorong jauh-jauh dari ingatan, bila kita punya pilihan.

Nicholas Herriman meneliti latar belakang kehidupan desa-desa tempat kejadian, pola kejadiannya dalam kaitan waktu maupun dari identitas para pelaku dan korban, membuat analisis yang menarik. Dalam Bab 6, ia menelisik pembunuhan orang-orang yang diduga dukun santet di Malang Selatan.

Warga desa, menurut Herriman, melihat ”reformasi” sebagai saat untuk meluruskan segala yang dibengkokkan secara paksa dalam era Orde Baru. Walau dukun santet mungkin bukan bagian dari program keseluruhan Orde Baru, rakyat yang sudah terbiasa harus menerima keadaan, menekan kemarahan dan kebencian terhadap orang-orang yang dianggap mempraktekkan kejahatan ini. Reformasi bagi mereka adalah simbol pembebasan dari semua tekanan, termasuk ketakutan pada orang-orang yang disebut dukun santet ini.

Herriman menepis pendapat beberapa pakar bahwa arus kekerasan ini menandakan terpecahnya masyarakat desa. Dia mengutip Sekretaris Desa Pringgondani bahwa dalam aksi pembunuhan orang-orang yang membuat mereka takut ini, warga desa justru kompak, bersama dan bersatu, malah aparat sempat kewalahan dalam mengambil tindakan hukum.

Kekerasan di Kalimantan Barat dan Papua tidak sespontan atau seotomatis itu. Aparat negara tampak memanfaatkan, bahkan menaburkan, bibit kebencian antargolongan. Nancy Lee Peluso mengupas betapa aparat ”membonceng” tradisi suku Dayak dan menyebarluaskan ceritanya bahwa etnik Tionghoa telah menyerobot lahan mereka. Sekali kayuh dua-tiga pulau terlampaui. Selain tujuannya tercapai, penguasa militer penghasut malah tampil ”bersih”.

Sementara itu, Chauvel menyentuh isu kebijakan pemerintah yang menyepelekan budaya Papua dan menyempitkan ruang ekspresi mereka dengan cara-cara kekerasan. Ironisnya, hal ini justru menguatkan rasa identitas mereka.

Mely Tan juga menghadapkan pembaca pada sisi kolektif kita yang cenderung menyangkal terjadinya hal-hal yang mengerikan dalam masyarakat kita sendiri. Mely mengisahkan perjuangan sejumlah aktivis di bawah pimpinan Saparinah Sadli untuk mendapatkan pengakuan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan yang mayoritas etnis Cina benar-benar terjadi pada Mei 1998.

Yang juga menonjol ialah tulisan Budiawan. Ia mengu-pas novel Merajut Harkat oleh Putu Oka Sukanta, yang membangun ceritanya dari pengalamannya sendiri sebagai tertuduh G-30-S dan mengalami penyiksaan mengerikan dan berkepanjangan dalam penjara, penyiksaan yang nyaris memorak-porandakan jiwa dan mentalnya.

Paulo Coelho, penulis kondang asal Brasil, pernah bercerita tentang satu periode hidupnya. Saat ia dan istrinya secara terpisah ditangkap, dipenjarakan, disiksa lahir-batin, sehingga masing-masing akhirnya yakin bahwa suami/istrinyalah yang berkhianat. Setelah bebas, mereka tidak dapat lagi hidup bersama karena tiada rasa saling percaya yang tertinggal. Mereka harus merajut kembali harkatnya inci demi inci. Dan tulisan Budiawan seakan membawakan tema yang sama, dengan setting berbeda.

Dewi Anggraeni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus