Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
Metafora,” kata Beatriz Gonzalez kepada ibunya. Dan itu sudah cukup membuat sang ibu hampir pingsan. Ia, sebagaimana diceritakan oleh Antonio Skarmeta dalam novel il Postino yang terkenal, tahu benar, sebentar lagi anaknya akan mabuk kepayang oleh cinta Mario Jimenez yang selalu merayu dengan puisi penuh metafora. Dan Mario, tukang pos hijau yang polos, sebelumnya juga sudah tersihir oleh metafora dalam puisi-puisi Pablo Neruda.
Metafora, perumpamaan, pengandaian, memang memiliki sihir yang amat kuat. Juga indah. Tidak efisien, tapi jelas lebih cantik dari mengatakan tentang sesuatu dengan kata aslinya. Mungkin seperti ukiran pada kursi. Keindahan dan sihirnya ada karena ia mampu mengeluarkan kita dari kejemuan pengungkapan yang itu-itu saja, yang lurus-lurus saja. Setelah manusia berhasil menemukan kata untuk mewakili setiap sesuatu, manusia mulai bosan dan mencari cara pengungkapan lain yang lebih kreatif. Kreatifitas adalah kuncinya.
Metafora dan teman-temannya tentu saja tidak hanya milik puisi. Sejumlah produk bahasa, seperti peribahasa, juga menggunakan perandaian, perbandingan, perumpamaan, atau kias. Dan kita tahu, di masa lalu, peribahasa dan bentuk-bentuk perumpamaan lainnya juga lazim digunakan dalam bahasa pergaulan sehari-hari.
Sayang, penggunaan bahasa indah lewat metafora dan yang sejenis, tak berkembang, bahkan cenderung menyurut. Tentu, kita masih dapat menjumpainya dalam puisi, bahkan tulisan bergaya features yang membolehkan penulisnya berindah-indah dan nyastra. Tapi dalam bahasa lisan sehari-hari, amat jarang digunakan. Anak muda mana yang berani merayu pacarnya dengan metafora. Risikonya terlalu berat: ditertawakan atau dibilang norak.
Mungkin ini karena zaman modern terlalu menuntut efisiensi. Seperti halnya arsitektur Modernisme yang taat pada falsafah ”bentuk mengikuti fungsi”, bahasa kita juga cenderung seperti itu. Modernisme menuntut bangunan yang efisien, lurus, minimalis, tanpa lekukan tak bermanfaat. Modernisme juga menuntut kita berkata ringkas, padat, tanpa lekukan dan pengindahan. Penggunaan metafora dan pengandaian adalah ukiran Barok yang mubazir.
Tapi, akibatnya, bahasa menjadi kaku, rigid, dan dingin. Persis gaya bangunan minimalis yang kini trennya sudah mati itu. Bahasa menjadi kehilangan pesonanya, kehilangan sihirnya.
Akibat lainnya, kita berubah menjadi bangsa autis. Kita tahu, sebagian penyandang autis tidak mampu memahami metafora dan pengandaian. Bagi mereka, kata harus dipahami secara tekstual. Pengandaian hanya akan membuat mereka bingung. ”Aku pikir memakai metafora sama saja dengan berbohong sebab mana mungkin serigala berbulu domba,” kata Christopher John Francis Boone, tokoh autis dalam novel The Curious Incident of the Dog in the Night-Time.
Bukti itu semua adalah tidak berkembangnya peribahasa dan perumpamaan dalam bahasa Indonesia belakangan ini. Buku kumpulan peribahasa terbitan tahun 1960-an isinya tak beda dengan buku kumpulan peribahasa yang terbit dua tahun lalu. Dari zaman kuda gigit besi, kita selalu mengatakan, ”Bagai air di daun talas,” untuk menisbahi orang yang tak kuat pendiriannya.
Peribahasa dan perumpamaan tidak ikut berkembang bersama dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Akibatnya, ada jarak antara peribahasa dengan anak-anak sekolah dasar yang wajib menghapalkannya di luar kepala. Bisa dipastikan, sebagian besar mereka, terutama yang tinggal di perkotaan, tidak tahu kenapa harus daun talas yang dipakai dalam perumpamaan di atas. Karena mereka memang tak tahu daun talas itu seperti apa. Mereka juga mungkin tidak tahu seperti apa mayang terurai yang mereka hapal sebagai deskripsi tentang rambut ikal.
Jarak itu terbuka karena kita memang tidak lagi memproduksi perumpamaan dan peribahasa baru. Kreatifitas yang menjadi tulang punggung metafora dan perumpamaan, mati. Yang kita pakai adalah perumpamaan lama yang tentunya diambil dari lingkungan sekitar nenek moyang kita.
Sangat jarang kita mengangkat hal-hal di sekeliling kita (kini) sebagai perumpamaan, dan cenderung memakai perumpamaan lama agar lebih praktis dan mudah. Di antara yang jarang itu adalah yang diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, pertengahan tahun ini. Saat ditanya siapa yang melindungi seorang jenderal dalam penimbunan senjata ilegal, Juwono mengaku tak tahu dengan mengatakan: ”Itu sama saja dengan tanya kapan bajaj belok.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo