MISALKAN Anda penganut aliran kepercayaan seni yang mentakrifkan bahwa seni adalah ungkapan emosi dan kepribadian individu. Sekaligus -- untuk menyertakan juga segi yang agak obyektif ungkapan kenyataan yang menakjubkan. Bahwa hasil seni, oleh karena itu, penuh daya gugah dan hal-hal yang tersirat, kaya makna, hingga pada dasarnya rancu. Bahwa kerja seni itu banyak kespontanan, banyak improvisasi, tak dapat dikendalikan secara intelektual, tidak dapat berencana. Maka, Anda, tentul akan tertarik menengok pameran Konstruktivis -- Realis, yang menyajikan karya grafis 33 seniman Republik federal Jerman, di Goethe Institut Jakarta, sampai 15 April. Soalnya: sekitar separuh dari karya yang dipamerkan itu bertolak belakang dengan kepercayaan Anda. Itulah karya para perupa yang oleh Institut Hubungan Kebudayaan Asing Stuttgart, perancang pameran ini, diberi label "konstruktivis". Mereka tak tertarik kepada ungkapan emosi atau ungkapan diri -- tidak berminat kepada "ekspresi". Amati saja dari Josef Albers hingga Erwin Heerich. Mana ada garis, raut, olesan warna, barik atau tekstur yang "ekspresif"? Ciri buatannya malah mirip buatan mesin. Teknik telah dimanfaatkan ke situ: cetak saring (hampir semua) dan cetak offset (hanya pada Heerich). Mereka tak menaruh perhatian kepada surprising reality alias kenyataan menakjubkan, yang ditemukan seniman dalam pengalaman emosional -- gagasan tentang hakikat seni yang berkat Van Peursen dan semangat taklid mulai menyebar di kalangan seni rupa kita. Mereka tidak membuat citra atau representasi dan tidak membuat abstraksi dari kenyataan mana pun. Mereka membuat kenyataan baru, obyek baru. Yaitu, karya mereka itu, yang tidak kurang kongkret dari benda-benda sekitar kita. Oleh karena itu, juga tak ada yang hendak digugah. Tak ada yang tersirat. Semua yang hendak disampaikan adalah semua yang "tersurat" pada bidang gambar. Dan ini adalah raut geometris sederhana, yang ditata beraturan, dan warna yang rata atau halus. Kejelasan, presisi, matematika, sistem yang tampak di sana menunjukkan kerja berencana dan pengendalian intelektual. Agaknya, karena itulah mereka dinamakan "konstruktivis". Pekerjaan para seniman itu menunjukkan betapa semangat ilmu menyusup ke dalam kerja seni. Maka, penciptaan sejajar dengan penelitian. Mereka meneliti warna sebagai yang terlihat: tampak berkembang atau tampak menyusutnya warna. Pengaruh warna yang satu terhadap yang lain dalam berbagai hubungan. Pengaruh warna terhadap raut (shape), dan lain-lain. Terkadang, warna dipandang sebagai ekuivalen cahaya. Misalnya, pada Josef Albers, Ruppracht Geiger, Raimund Girke, Lothar Quinte. Atau menyigi efek cahaya (Gunther Uecker). Atau efek optis (Almir da Silva Mavignier). Memang, konsep "penelitian" telah masuk ke dalam kerja seni melalui seni semacam itu, bukan melalui sebarang penciptaan seni. Juga bagi mereka yang percaya kepada semboyan all arts aspire to the condition of music (semua seni mengarah kepada kondisi musik) untuk mengesahkan anggapan bahwa seni abstrak itu ujung, atau puncak, perkembangan seni rupa. Karena itu, mengapa pameran Konstruktivis -- Realis ini menarik. Jika konstruktivisme memberi warna kepada seni Jerman tahun 50-an dan 60-an -- seperti karya konstruktivis yang dipamerkan di Goethe Institut bertarikh 60-an, dan beberapa 70-an, maka "realisme" adalah yang segera menyusul kemudian (karya yang dipamerkan hampir semua bertarikh 70-an). Dengan "realis" di sini agaknya dimaksudkan, para seniman yang bertolak dari lingkungan sekitar sebaai sumber pencitraan mereka, bagaimanapun gaya atau corak gambar yang dihasilkan. Banyak di antaranya tampak sebagai khayal yang mencekam (Horst Antes, Bernhard Jager, Hors Janssen, Paul Wunderlich untuk menyebut beberapa contoh). Atau karya ekspresionis yang tegang mengungkapkan kecemasan (misalnya Reiner Schwarz). Ada yang menyindir secara konseptual (Thomas Bayrle), misalnya gambar orang yang tersusun dari gambar pesawat telepon kecil-kecil. Ada yang menyajikan citra yang cermat dari lingkungan sehari-hari, dengan tekanan kepada kesepian atau kehampaan (Bon Willikens, Lienhard von Monkiewitsch, dan Rolf Escher). Yang menarik bagi kita ialah, tidak ada keengganan untuk berkomentar tentang kehidupan masyarakat atau politik, tidak ada tabu untuk "ilustratif" atau "literer" suatu tabu yang sering kita dengar dilontarkan di kalangan perupa kita. Apa pun sikap dan pandangan kita masing-masing terhadap karya-karya yang dipamerkan, pameran ini adalah paket yang menarik karena relevan dengan kehidupan seni rupa kita. Satu hal yang tentunya penting diperhatikan oleh berbagai lembaga kebudayaan asing yang bergiat di negeri kita. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini