Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Koper, yang Fana, dan Kematian

Koper menjadi medium yang tak habis-habisnya digali Hardiman Radjab. Karyanya mampu membawa kita ke perenungan yang sublim.

25 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPULUH tahun lalu, Hardiman Radjab mengadakan pameran tunggal di Galeri Utan Kayu, Jakarta, bertema ”Riwayat Koper”. Semua materi karyanya adalah koper-koper tua. Koper yang sepengetahuan kita hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan barang kala bepergian menjadi beragam rupa yang tak pernah terpikir sebelumnya. Koper itu menjelma menjadi apa saja.

Tiba-tiba, di bagian atas sebuah koper, Hardiman memasang sebentuk sumur kecil. Segera imaji kita melenting bahwa sumur itu berada dalam sebuah dataran kosong yang demikian senyap. Sebuah sumur yang sendiri dan tanpa dasar. Atau pada koper lain, Hardiman menyajikan bagian dalam koper sebagai maket kuburan, tempat orang mati bisa membawa seluruh harta kekayaan ke dalam tanah. Termasuk brankas dan toilet.

Lewat satu dekade, pesona koper masih membius perupa alumnus Jurusan Kriya Institut Kesenian Jakarta ini. Hardiman terus-menerus menggali berbagai kemungkinan koper. Ia intens. Jarang ada perupa Indonesia yang setia mengolah satu medium tapi tak mengulang-ulang apa yang sudah dicapai sebelumnya. Dalam pameran di Galeri Cipta 2 Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini, Hardiman membuktikan petualangannya dengan koper makin menimbulkan imaji-imaji tak terduga.

Variasi jenis kopernya pun bertambah. Hardiman, misalnya, memanfaatkan koper-koper jinjing gramafon atau piringan hitam yang tak terpakai. Ia juga mulai memberikan perhatian pada unsur-unsur kinetik. Ia, misalnya, memanfaatkan kinerja mesin arloji untuk menimbulkan gerak dan bunyi. Ia juga membuat salah satu kopernya mengeluarkan asap. Tapi lebih dari eksplorasi teknis semacam itu, yang paling penting rata-rata karyanya mampu membawa kita ke ranah kontemplatif. Ini sudah jarang kita temukan dalam pameran tunggal.

Tema pameran ini adalah ”Curtain Call”. ”Sesungguhnya judulnya antara ’Curtain Call’ dan ’End Game’,” kata Hardiman. Dua judul itu kita tahu berkaitan dengan dunia teater. End Game karya Samuel Becket. Ini naskah yang menekankan tentang kesia-sia­an hidup dan kegagalan komunikasi. Curtain call adalah istilah bagi prosesi seniman panggung dalam penutupan pentas. Sebelum layar ditutup, mereka memberikan penghormatan kepada penonton. Keduanya berbicara tentang sebuah akhir. Perhatikan poster pameran. Hardiman duduk di sebuah kursi. Ia berkacamata hitam, mengenakan topi laken, jaket jins, dan celana pendek dengan kaki diselonjorkan di atas sebuah koper. Tapi lokasi duduknya adalah sebuah kompleks pekuburan! ”Semua karya saya ingin mengatakan hidup ini adalah panggung sandiwara,” ujar Hardiman. Dan kita melihat ke arah mana refleksi Hardiman. Kematian.

Tengok karya berjudul Real Estate. Sebuah koper aluminium digantungnya di langit-langit. Koper itu tertutup sempurna, kecuali sebuah lubang intip kecil di sisinya. Sebuah senter disediakan di sisi koper. Bila kita menyenter ke dalam lubang, yang terlihat adalah liang lahad sempit, pengap, dan berselimut sarang laba-laba. Dan terlihat ada tujuh bola bulatan. ”Itu perlambang tujuh bantal yang sering digunakan untuk menyandarkan jenazah di liang lahad,” kata Hardiman. Simak Last Journey. Ia menggantung potongan bagian sebuah jendela mobil. Ke arah jendela yang bolong itu, ia membuat sebuah jembatan kecil, dengan sebuah mobil mainan tengah merambat naik. Terasa itu detik-detik terakhir mobil sebelum melompat ke ruang kosong tertentu. Kita bisa merasakan karya ini merefleksikan detik-detik ajal atau maut.

Karya lain yang menarik tentang Ka’bah. Hardiman menggunakan pemutar piringan hitam yang masih berfungsi. Tepat di tengah pemutar, ia memasang patung Ka’bah hitam kecil. Di sekelilingnya, ia menebarkan manik-manik putih. Saat piringan hitam berputar dan mengeluarkan suara lirih ”Allahuma labaik”, manik-manik putih itu seolah-olah ribuan anggota jemaah haji yang bertawaf mengelilingi Ka’bah dilihat dari ketinggian langit. Karya ini seperti menyiratkan kesadaran akan mati yang segera datang. Dan Allah adalah segala-galanya.

Yang juga menggedor adalah trilogi Already, Ready, Not Yet. Already adalah karya sosok patung setengah badan yang menampilkan wajah Agoes Jolly (almarhum). Dia pematung IKJ sahabat akrab Hardiman. Jolly, yang wafat pada 2013, dikenal luas sebagai performer. ”Patung diri itu dibuat Agoes Jolly semasa dia masih di Yogyakarta. Patung itu ditinggalkan di rumah saya,” ucap Hardiman. Di bawah patung itu, Hardiman membuat penanda: ”Agoes Jolly 1959-2013”. Di samping patung Jolly, ada karpet hijau dari rumput sintetis terhampar memanjang di lantai. Di atasnya tergantung sebuah koper Echolac hijau dengan plakat hitam bertulisan ”Hardiman Radjab, 1960 -...”.

Di tengah-tengah kedua karya itu, ada koper kaleng cokelat yang secara mekanik bisa membuka-menutup sendiri. Koper itu penuh gantungan slang infus dan tabung oksigen. Proses buka-tutup koper itu laksana orang tua yang sudah kesulitan dan tersengal-sengal bernapas. Karya itu berjudul Ready. ”Karya ini merefleksikan bagaimana sekarang ini ambulans, UGD, dan ICU menjadi prosedur baku kematian seseorang. Manusia seolah-olah tidak punya hak mati secara alamiah,” kata Hardiman. Rangkaian trilogi yang saling menyokong ini terasa menggigit. Apalagi Hardiman membuat makam dan nisan untuk dirinya sendiri.

Banyak hal personal yang diolah Hardiman dalam pameran ini. Ia, misalnya, memiliki biola Stradivarius.”Biola warisan Kakek. Dia dulu pemain orkes,” ujar Hardiman, yang sampai sekolah menengah atas tinggal di Kota Malang, Jawa Timur. Biola itu ia bungkus dengan plastik. Dan wadah biola ia buat seperti sosok mumi Mesir. Biola tersebut tak ubahnya bungkusan jenazah. Karya ini diberi judul Stradipharaoh.

Karya yang paling mencolok mata adalah karya yang menghadirkan mobil betulan: mobil lawas Fiat 1948. ”Sejak SMP di Malang, saya sudah menyetir mobil ini. Dia sudah seperti istri kedua saya,” katanya. Mobil itu disajikan sebagai rongsokan. Roda dan bagian lain hilang. Hardiman memasang sebuah video hitam-putih yang merekam berbagai kenangannya bersama mobil itu. Ada foto teman-temannya bersama Fiat antik itu. Ada video saat ia melakukan perjalanan dengan ”istri keduanya” tersebut. Terasa mobil itu sendiri menjadi saksi bagi Hardiman, yang sebagaimana subjudul pameran ini merasa makin menuju renta dan silam.

Di tangan Hardiman, mobil betulan dan mobil mainan bisa secara cerdas menjadi alegori bagi fananya kehidupan. Lihat karyanya yang menggunakan peti kemas yang ditunggingkan. Di dalam peti kemas terdapat banyak mobil mainan yang menghadap ke layar. Segera kita menangkap ini cermin suasana bioskop drive-in. Di layar ­drive-in peti kemas itu diputar film betulan. Film itu menampilkan sekelompok pemusik berkulit hitam memainkan jazz.

Yang menarik, bila kita cermati, film itu berkisah tentang jazz funeral. Di New Or­leans memang terdapat tradisi kematian dirayakan dengan musik jazz. ”Para kerabat mengantarkan yang mati pada perjalanan berikutnya dengan riang sambil berpesan, ’Tunggu aku di sana’,” ucap Hardiman. Karya lain yang berurusan dengan musik dan kematian adalah sebuah koper hitam yang disulap Hardiman menjadi sebuah miniatur grand piano. Di atas tuts-tutsnya ada sebuah partitur terbuka menampilkan not-not lagu Stairway to Heaven karya Led Zeppelin. Tangga ke nirwana....

Hardiman bercerita, rumahnya kini dipenuhi berbagai jenis koper. Kerabat dan kenalannya datang menghadiahkan aneka jenis koper, peti kemas, dan kotak penyimpanan. Koper-koper itu banyak yang belum disentuhnya. Tapi, sembari berupaya mengetahui riwayat koper dan pemiliknya, Hardiman terus-menerus memandangi koper-koper itu setiap hari hingga melentikkan ide. ”Koper baru saya garap tatkala sudah bisa saya ajak ’dialog’,” katanya.

Untuk memulai sebuah karya, tampaknya Hardiman membutuhkan proses perenungan yang panjang. Ia tidak akan bergerak bila tak menemukan gagasan dari bentuk dan sejarah unik koper itu sendiri. Itulah yang membuat setiap karya kopernya memiliki bobot makna yang tak repetitif. Itu yang membedakan pamerannya dengan banyak pameran lain. Banyak karya perupa lain yang baru kita mengerti maksudnya atau memberi makna setelah kita membaca penjelasan teks yang diberikan di katalog atau pengantar kuratorial. Sedangkan karyanya sendiri tidak mampu berbicara. Pada karya Hardiman, tanpa melihat judul atau penjelasan, kita sudah mampu menangkap arahnya.

Satu yang juga penting adalah unsur keterampilan tangan. Semua karya Hardiman terasa digarap dengan rasa dan eksekusi yang pas. Dia tak asal-asalan menyodorkan karya. Sebagai lulusan sekolah kriya, agaknya ia tak ingin karyanya tampak belepotan dan tak ingin karyanya terpeleset dari perhitungan-perhitungan estetis. Akhir-akhir ini kita jarang melihat pameran seni rupa yang mampu memberi bekas mendalam di Taman Ismail Marzuki. Pameran Hardiman Radjab boleh jadi pameran yang terkuat di TIM dalam lima tahun terakhir ini. SENO JOKO SUYONO, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus