Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman Eko Nugroho menggelar pameran tunggal di ROH Projects, Jakarta, hingga 13 Agustus mendatang.Â
Karya patung fiberglass menjadi andalan seniman asal Yogyakarta itu.Â
Tantangan kehidupan pada masa pandemi dan serba modern menjadi tema pameran kali ini.Â
Tembok setinggi sekitar 6 meter dan panjang 13 meter di sudut gedung pameran ROH Projects, Menteng, Jakarta Pusat, itu tidak lagi polos. Mural berkelir hitam dan putih menghiasi tembok yang terbagi menjadi tiga bagian. Musababnya, ada dua pula beton yang menjadi tulang dari tembok besar tersebut.
Mural tersebut bertema hutan dengan berbagai macam daun. Namun muncul beberapa pasang mata yang seakan-akan menggambarkan ada orang yang mengintip di balik rimbunnya hutan. Mural ini merupakan salah satu bagian dari pameran tunggal seniman Eko Nugroho, berjudul Cut the Mountain and Let It Fly, yang dihelat sejak 15 Juli lalu hingga 13 Agustus mendatang.
Persis seperti judul pameran, lukisan mural dari cat semprot dan cat akrilik itu diberi judul yang sama. Uniknya, ibarat membeli gorengan yang digoreng dadakan, mural ini dibuat Eko beberapa hari sebelum pameran dibuka. "Saya kerjakan selama empat hari," kata Eko, Jumat lalu.
Menurut Eko, lukisan mural ini bercerita tentang sebuah perjuangan untuk mewujudkan mimpi dan harapan. Pria berusia 46 tahun itu mengatakan muralnya ini sangat berat untuk dinikmati. Alasannya, lukisan tersebut cenderung meledak-ledak, kacau, serta harmonisasi visual yang saling menyakiti. Sama halnya dengan ego setiap manusia yang kontradiktif dengan kehidupan nyata.
Gambaran hutan dan pepohonan yang rapat juga merefleksikan beratnya pertempuran yang dihadapi manusia saban harinya. "Bagaimana kita menyelamatkan diri, berusaha menata, mengembalikan hal-hal yang bisa dibilang nyata dan tidak nyata," kata Eko.
Karya berjudul We Are Human. TEMPO/ Indra Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya patung fiberglass raksasa Eko Nugroho berjudul We Are Human juga menjadi pusat perhatian pengunjung. Betapa tidak, patung tersebut berukuran tinggi 4,3 meter, panjang 2,7 meter, dan lebar 2,7 meter. Bentuk patungnya pun unik. Sekilas mirip robot alien atau makhluk luar angkasa.
Patung ini juga mirip dengan tandon air. Bentuknya bulat lonjong seperti telur, tapi memiliki lima kaki yang berbentuk seperti bambu dengan 13 ruas di setiap kakinya. Patung tersebut berkelir kuning kehijauan dengan warna berkarat di beberapa sudut.
Menariknya, badan patung yang berbentuk seperti balon itu dihiasi beberapa kapsul transparan berkelir merah muda. Masing-masing kapsul dilengkapi dengan hiasan mata. Seolah-olah ada manusia yang tinggal di dalamnya dan mengintip para pengunjung.
Menurut Eko, karya yang ia buat pada tahun ini tersebut terinspirasi oleh pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, bahkan dunia, sejak awal 2020. Akibat wabah flu virus dahsyat itu, kehidupan manusia berubah. Karena tuntutan membatasi pergerakan sosial, manusia cenderung mengurung diri di rumah atau tempat tinggalnya.
"Karya ini cerminan manusia saat ini yang semakin teralienasi. Manusia hidup seperti mesin atau hidup bersamaan, tapi tetap merasa asing," kata Eko.
Adapun jendela kapsul dan mata menggambarkan manusia yang melihat ke berbagai arah, tapi sejatinya mereka terkurung sendiri. Keterasingan ini membuat kegiatan bersosial manusia hanya terjadi di lingkup media sosial. Selain media sosial, dunia manusia yang semakin modern dan digital sejatinya ikut mempermudah kehidupan di masa keterasingan akibat pandemi.
Eko mengatakan kemudahan kehidupan serba daring memudahkan manusia mengerjakan beberapa hal, seperti mengirim uang, membayar tagihan, membeli makanan, bahkan membeli dan mengirim kado ulang tahun untuk orang yang spesial tanpa harus keluar rumah.
"Tapi kita tidak nyata secara manusia, yang datang memberikan pelukan dan ucapan hangat atau sekadar memegang tangan teman yang sakit untuk menenangkan."
Karya Ala Carte Modern Slavery. TEMPO/Indra Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, ada karya patung berjudul Ala Carte Modern Slavery yang menggelitik. Patung itu berukuran seperti pria dewasa. Ia memakai kemeja putih, celana panjang bahan berkelir hitam, dan mengenakan kalung tanda pengenal kantoran. Bedanya, ia memakai topeng berbahan kulit kerbau. Sekilas topeng tersebut mirip beberapa lembar wayang kulit yang dirangkai menjadi satu.
Selain topeng, keunikan patung itu terletak pada tangan kiri yang diubah menjadi capit kepiting. Adapun tangan kanannya menjuntai seperti cemeti lantaran memiliki belasan ruas.
Sekilas, patung tersebut terlihat hidup. Bahkan salah seorang pengunjung bernama Putri Karina sempat mengira patung tersebut sebagai seni instalasi hidup. "Saya pikir itu bakal menari atau bergerak, ternyata patung," kata Putri.
Meski begitu, Putri menyebutkan karya patung tersebut menunjukkan kepekaan terhadap kehidupan saat ini. Menurut dia, para pekerja kantoran memiliki tantangan dan tanggung jawab pekerjaan yang semakin berlebihan. "Istilah anak zaman sekarang tentang budak korporat itu memang nyata," kata dia.
Adapun Eko Nugroho menyebutkan karyanya itu merupakan rangkuman cerita kehidupan modern saat ini, sebagai manusia yang bekerja sesuai dengan sistem dan standar kerja terukur. Meski begitu, manusia yang menjadi bagian dari sistem modern tersebut tidak akan pernah bisa merdeka seutuhnya.
"Karya ini secara satire mengatakan ini adalah ala carte dari perbudakan modern. Ini tidak terjadi di Indonesia saja," ujar Eko.
Selain itu, masih ada puluhan karya lain dari Eko Nugroho berupa patung fiberglass, lukisan di atas kanvas, dan rajutan kain.
Karya berjudul Reconstruction Dream. TEMPO/ Indra Wijaya
Bagi Eko, pameran tunggal ini ibarat penghilang dahaga. Sebab, ini pertama kalinya Eko menggelar pameran tunggal setelah pergelaran serupa di Komunitas Salihara pada 2015. Seniman asal Yogyakarta ini mengatakan, dalam pameran kali ini, ia membawa sejumlah tantangan dari kumpulan ide yang ingin ia tumpahkan pada karya hingga tantangan memakai material sampah plastik daur ulang.
Selain itu, Eko sedang mengumpulkan ide yang hendak ia tuangkan dalam pameran tunggal berikutnya di Jepang pada Maret 2024. "Ada dua proyek lain yang belum bisa dipublikasikan untuk saat ini," kata dia.
Eko merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang punya latar belakang seni jalanan dan berbasis komunitas. Selain menciptakan patung, ia membuat lukisan, sulaman, mural, serta seni yang bertema kehidupan lingkungan perkotaan.
Eko kerap mengikuti sejumlah pameran tunggal dan kolektif di luar negeri. Sebagai contoh pameran Lost in Parody di Arario Gallery, Seoul, Korea Selatan (2020); pameran Nowhere Is My Destination di Artfront Gallery, Tokyo, Jepang (2019); serta pameran Plastic Democracy di Arndt Art Agency, Berlin, Jerman (2018).
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo