Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siang itu saya lihat seorang perempuan berjilbab duduk tekun di depan sebuah mikroskop di sebuah lab. Saya teringat Kartini.
Dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902, Kartini mencantumkan seuntai kwatrin:
Door nacht tot licht
Door storm tot rust
Door strijd tot eer
Door leed tot lust
Banyak orang meleset dari sajak pendek ini. Buku kumpulan surat Kartini yang pertama terbit pada 1911 berjudul Door Duisternis Tot Licht. Kalimat itu agaknya dipilih J.H. Abendanon, pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang bersemangat mendukung putri Bupati Jepara itu. Abendanon pula yang menyeleksi surat-surat gadis itu dan menerbitkannya. Penyair Armijn Pane kemudian menerjemahkan buku itu jadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dengan judul itu agaknya orang menemukan sebuah metafor untuk menggambarkan pergulatan Kartini membebaskan diri dari dunia adat yang kuno, kolot, dan mengekang. ”Terang” (licht) adalah kiasan untuk pencerahan sikap dan pikiran: tanda emansipasi dari yang mengekang itu.
Joost Coté termasuk yang berpikir demikian. Peneliti yang menerjemahkan surat-surat Kartini yang lebih lengkap dan menerbitkannya dalam sebuah buku (diterbitkan oleh Monash Asia Institute of Monash University tahun 1992) itu menulis bahwa ”dari gelap terbitlah terang” diambil dari sajak dalam surat Kartini, yang mencerminkan ”kesadaran dirinya tentang perjuangannya yang bersejarah”.
Tapi saya kira tak demikian. Jika kita baca surat yang memuat sajak itu (mungkin karya Kartini sendiri), kita akan tahu bahwa kata ”terang” itu mengacu ke sesuatu yang sama sekali lain: ”terang” adalah saat Kartini menemukan identitasnya sebagai seorang muslimah. Ia mendapatkan ”terang” itu berkat bimbingan ibu kandungnya, yang datang dari keluarga santri, bukan seorang wanita berpendidikan Barat, tapi ”seorang perempuan tua… dari mana aku memperoleh pelbagai kembang yang terbit dari hati”.
Bahwa Abendanon tak mengaitkan kalimat yang dipilihnya itu dengan apa yang sebenarnya terjadi, itu mengungkapkan sebuah perspektif yang tipikal seorang Eropa terpelajar di awal abad ke-20: baginya, perjuangan Kartini adalah tauladan modernisasi. Modernisasi adalah jalan ke Aufklärung, ”pencerahan”. Dan itu pasti bukan jalan ke agama, apalagi Islam. ”Pencerahan” adalah datangnya cahaya yang menggantikan kegelapan tua: irasionalitas, takhayul, dan taklid.
Bagi Abendanon, juga bagi para pemikir modernisasi Indonesia (Takdir Alisjahbana, Sjahrir, Tan Malaka, Soekarno), ruang dan waktu Kartini adalah miniatur sejarah ketika rasionalitas menggedor pintu sebuah masyarakat yang ”terkebelakang”. Maka mereka menyebut Kartini (seperti dalam lagu yang kita hafal) ”pendekar”, khususnya ”pendekar kaumnya untuk merdeka”: merdeka dari adat yang mengekang dan dari kepercayaan yang membekukan pikir.
Tapi bagi Kartini, perkaranya lebih kompleks. Ia hidup di tengah-tengah derap maju rasionalitas itu, namun dan pada saat yang sama ia tahu bahwa agama—yang umumnya dilihat sebagai deretan dogma yang beku—tak terusir ke masa silam.
Mungkin itu sebabnya, perempuan berjilbab dengan mikroskop itu mengingatkan saya kepada Kartini: agama dan rasionalitas bukanlah dua kubu yang bertentangan.
Ada suatu masa, terutama di Eropa, ketika rasionalitas menampik iman. Ilmu pengetahuan pun meninggalkan agama, atau keduanya hidup terpisah, sementara rasio menguasai kehidupan. Tapi dengan kemenangan itu, sesuatu terjadi pada rasio. Seusai pertempuran rasio dengan agama, kata Hegel, agama memang terpuruk, tapi ”rasio… [berubah] hanya jadi intelek semata-mata”.
Dalam Revolusi Prancis, rasio dirayakan, agama diusir. Sejak itu iman hidup dalam batin, bukan dalam kehidupan sosial dan tubuh lembaga seperti Gereja. Agama mundur dari arena, tapi iman menemukan ruang hidupnya yang baru, di dunia privat. Rasio tak merasa perlu mengusirnya—dan ia tak juga mampu menjelaskannya. Maka rasio lebih baik menyibukkan diri dalam soal lain: jadi intelek, atau jadi akal semata (dari mana kata ”mengakali” berasal). Dengan alat itulah manusia mengakali alam dan mengendalikannya. Ia jadi Tuan. Ia menghasilkan sesuatu yang dulu tak ada.
Dulu rasio tak berhenti tergugah akan ketakjuban dunia; dengan itulah filsafat serta ilmu lahir. Tapi pada akhirnya rasio, sebagai akal, ikut membuat hilangnya pesona dunia—dan, dalam pandangan muram Max Weber, pelan-pelan manusia pun terdorong ke dalam ”kerangkeng besi”.
Maka kisah kemenangan rasio juga kisah kekalahannya. Akal budi lupa bahwa ia sebenarnya hanya hadir sebagai ”terang” karena ada ”gelap”. ”Gelap” bukanlah sebuah keadaan defisit dari terang, tapi justru yang membuat terang jadi terang. Ketika gelap ditolak dan dicampakkan, tak ada lagi yang berharga yang tinggal.
Tapi pada saat itulah—dalam mencampakkan gelap—agama dan akal sering bertemu. Saya teringat perempuan berjilbab di depan mikroskop itu: saya teringat Kartini. Jangan-jangan Kartini termasuk orang yang meninggalkan ”malam” (keadaan gelap yang sementara), karena baginya agama dan rasio menghendaki demikian. Bukankah agama dan dunia modern menolak segi yang kacau dan tak terungkapkan dari manusia—misalnya dunia bawah-sadarnya?
Tapi jika demikian, saya takut ia akan buntu: ia akan berhenti memahami hidup. Saya ingat kata-kata Chesterton tentang mistisisme: ”manusia dapat memahami semuanya karena ia dibantu oleh apa yang tak dapat dipahaminya”. Dengan kata lain, manusia memahami hidup karena ia mengakui dan menemui misteri.
Tapi mungkin saja mikroskop di tangan itu lain. Mungkin ia bagian dari ketakjuban yang sedang bangkit lagi—bukan alat akal untuk menaklukkan hidup, tak mengakui gelap.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo