Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Festival Seni Nasional, Sekolah, dan Kontestasi

Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2024 mengundang kritik. Persaingan dianggap melanggar jiwa seni.

12 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peserta menampilkan tarian dalam kegiatan seleksi Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Jenjang SMP tahun 2024 tingkat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Maret 2024. Dok. Dinkominfo Blora

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggelar Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional atau FLS2N sejak 14 Februari hingga 8 September 2024.

  • Etnomusikolog Aris Setiawan mengkritik nilai kompetisi atau menang-kalah di FLS2N 2024.

  • Hakikat seni sejatinya mempertemukan orang dari latar belakang berbeda untuk menjalin nilai kebersamaan, bukan persaingan.

Fenomena Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Indonesia yang saat ini berlangsung cukup menarik untuk disimak. Semua sekolah di Indonesia dari pelbagai tingkatan turut serta dalam festival itu. FLS2N adalah lomba dalam banyak bidang seni, seperti musik, teater (pantomim), puisi, menggambar, melukis, dan kriya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni, sebagaimana kita ketahui, adalah medium ideal dalam berbagi pengalaman hidup, kebersamaan, empati, dan tentu saja keindahan. Namun FLS2N telah mengubah paradigma itu. Dalam festival ini, seni adalah sebuah kompetisi, hasrat untuk meraih kemenangan, mengalahkan, dan memandang yang lain tak ubahnya lawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harus diakui, di satu sisi, FLS2N memberi kesempatan bagi siswa untuk mengasah bakat seni yang dimilikinya. Namun, di sisi lain, hal itu justru memberi tekanan cukup besar. Di kelas, mereka sudah dihadapkan dengan iklim kontestasi secara terus-menerus untuk merebutkan posisi sebagai juara lewat nilai terbaik dari banyak mata pelajaran. 

Seni hadir sebagai detoksifikasi stres dan tekanan dari kompetisi tersebut. Seni hadir untuk membuncahkan tawa, menghilangkan segala gundah, dan menyemai kebersamaan. Namun hari ini kita melihat bahwa seni tak ubahnya banyak pelajaran di kelas pada umumnya. Lewat FLS2N, seni bermuara pada dikotomi menang atau kalah. Mampu tampil jemawa sebagai juara atau kalah sebagai pecundang.

Peserta bersiap tampil dalam lomba pantomim saat mengikuti Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2024 di SDN Purbasari, Kelurahan Gunung Batu, Kota Bogor, Jawa Barat, 29 April 2024. ANTARA/Arif Firmansyah

Belajar Seni atau Belajar Sesuatu lewat Seni?

Hakikat berkesenian adalah sebuah jalan dalam mempertemukan orang-orang dengan pelbagai latar belakang, tanpa sekat, dan jarak untuk menjalin nilai-nilai kebersamaan. Prinsip-prinsip ini yang senantiasa terus digaungkan. Berkesenian adalah untuk mengetahui dan menerima perspektif berbeda, menghargai sesama, dan memiliki empati pada kehidupan. 

Ini pula alasan kuat bahwa seni mampu menjadi jembatan bagi individu-individu yang berbeda secara sosial, budaya, agama, bahkan ideologi. Dalam konteks demikian, tidak ada sedikit pun ruang untuk memandang yang lain lebih rendah atau kecil. Sebaliknya, lewat seni, kita senantiasa diajarkan untuk menghargai setiap detail keunikan dan ekspresinya. Ini menciptakan ruang atau ekosistem lingkungan tempat setiap orang merasa didengar dan dihargai, juga berkewajiban mendengar dan menghargai. 

Dengan demikian, hadirnya pendidikan seni di sekolah, terutama berbasis tradisi, diperuntukkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan rasa lebih arif dan mengasihi. Seni membebaskan mereka untuk meluapkan ekspresi kegembiraan yang selama ini terkekang lewat kakunya kelas-kelas pelajaran dalam hasrat menjadi juara sekolah. 

Seni menawarkan interpretasi kreatif, membebaskan diri dari kuasa salah-benar, tapi bermuara pada estetika yang indah dan menawan. Hal itu penting dalam membangun pengalaman siswa memahami kompleksitas kehidupan dengan menjadi lebih bijak, mampu menghargai perasaan sesama. Siswa dengan demikian tidak sekadar belajar seni, tapi juga belajar sesuatu lewat seni. Seni sendiri tidak menjadi subyek yang dipelajari, tapi obyek atau jembatan pada hadirnya sesuatu yang lebih intim, yakni rasa dan estetika. Lewat seni, sekolah dapat menciptakan lingkungan inklusif dan mendukung bagi perkembangan karakter positif siswa, welas asih, serta lebih peduli pada orang-orang di sekelilingnya.

Kontestasi di FLS2N

Salah satu perlombaan dalam FLS2N adalah karya musik, katakanlah berbasis tradisi, misalnya, gamelan. Padahal bermain gamelan bukan sekadar membuat komposisi musik atau menguasai teknik permainan belaka. Lebih dari itu, bermain gamelan sebentuk upaya perjalanan mendalam menuju pemahaman lebih terbuka tentang nilai-nilai budaya Jawa. 

Gamelan adalah medium yang menghantarkan siswa menjadi lebih mengerti tentang apa itu mendengar, didengar, dan bekerja sama lewat jalinan komunikasi musikal yang disebut sebagai mad sinamadan. Dalam konteks budaya, gamelan hadir bagi manusia Jawa sebagai keselarasan hidup. Karena itu, ia senantiasa bertaut dengan pelbagai ritual kehidupan, baik kelahiran maupun kematian. Memainkannya adalah upaya mengerti dan memahami semua itu. Gending gamelan melampaui kuasanya sebagai sebuah musik.

Bagi siswa, memainkan gamelan menjadi jalan dalam membuka pintu sejarah, seni, dan filsafat yang melekat dalam kebudayaan Jawa. Ada nilai-nilai penting yang disuarakan melebihi suara musik itu sendiri. Begitu juga dengan seni tari, lukis, teater, dan wayang. Hal yang paling penting adalah hadirnya seni di sekolah tidak semata-mata mengasah kemampuan teknis (keterampilan) dalam bermain, tapi juga ada proses untuk “mengalami” atau “internalisasi” bagi nilai-nilai yang mendasari praktik tersebut. 

Berkesenian secara tidak langsung membawa perjalanan personal, memungkinkan mereka menemukan sesuatu yang baru tentang asal-usul diri, bahkan dunia sekitarnya yang selama ini teralienasi. Seni memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi ide, emosi, dan pengalaman yang mungkin sulit diutarakan lewat kata-kata, atau tindakan dengan ukuran benar dan salah. Dengan kata lain, lewat seni, siswa diajak untuk melihat belantara dunia dari perspektif berbeda, dan perbedaan itu patut dirayakan, bukan dilawan bahkan dikalahkan.

Tentu saja FLS2N membawa manfaat bagi pengembangan bakat seni siswa, tapi harus dicermati sisi negatifnya. Fokus yang terlalu kuat pada kemenangan dan menjadi juara dalam kompetisi itu justru mengeliminasi nilai-nilai intrinsik dari seni itu sendiri. 

Siswa cenderung mengabaikan proses kreatif yang menggembirakan dan membebaskan, tujuan mereka hanyalah pada hasil akhir, yakni kemenangan dan mengalahkan lawan. Lebih penting lagi, kompetisi demikian dapat menciptakan tekanan akut yang tidak sehat bagi mental siswa. Saat mereka dituntut terus bersaing atau menjadi yang terbaik. Hal itu dapat memicu stres dan kekhawatiran berlebih, kecemasan, bahkan perasaan rendah diri saat karya mereka dinilai kalah. Psikologi mereka mungkin terganggu karena hal itu. 

Kompetisi tersebut menghilangkan autentisitas atau keaslian dan keunikan dalam karya mereka sendiri karena ada kecenderungan karya yang ditampilkan menduplikasi gaya atau teknik tertentu yang dianggap “menang”. Hal itu terpaksa dilakukan dengan ambisi menjadi juara, dibanding misalnya mengeksplorasi dan mengembangkan gaya serta “suara” mereka sendiri. Akibatnya, kreativitas menjadi terhambat, inovasi tak lagi terdengar, semua menjadi seragam, dan satu ekspresi banal. 

 

Peserta menampilkan tarian kreasi dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2024 di SDN Purbasari, Kelurahan Gunung Batu, Kota Bogor, Jawa Barat, 29 April 2024. ANTARA/Arif Firmansyah

Sekolah Kedodoran Hadapi FLS2N

Saat seni dianggap sebagai ajang untuk saling mengalahkan, ini sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai “kemanusiaan” yang seharusnya ditekankan dalam dunia pendidikan seni. Partisipasi sekolah untuk mengikuti FLS2N tak kalah seru untuk dibaca. Karena di forum itu ada banyak mafia seni bertebaran. Tidak sedikit komposer (atau sejenisnya) yang secara aklamatif menawarkan jasa pembuatan musik dengan pelbagai kategori harga, dari yang paling murah hingga yang termahal, diukur dari kompleksitas karya (untuk iringan lomba tari, misalnya). Praktik semacam itu tidak saja memicu kekhawatiran, tapi juga mengubur esensi dari seni sebagai ekspresi kreatif yang personal. 

Belum lagi disparitas antarsekolah dengan ketersediaan fasilitas atau sebaliknya. Sekolah-sekolah yang minim fasilitas, pinggiran, atau tidak favorit harus bergegas mencari (membeli?) fasilitas seni dengan menyewa pelatih yang pada musim FLS2N harganya naik tajam. Dana bisa diambil dari urunan orang tua atau pinjam kanan-kiri, yang penting sekolah turut serta dalam lomba agar tak disebut “melawan aturan”. 

Adapun sekolah yang memiliki fasilitas lengkap (apalagi jika itu sekolah favorit dengan kumpulan orang tua wali murid berduit) cenderung lebih siap secara sarana-prasarana untuk memenangi kompetisi. Hal ini tidak adil karena menciptakan kesenjangan berujung ketidaksetaraan dalam partisipasi dan memupus harapan meraih kemenangan bagi yang lain. 

Jangan lupakan juga kondisi guru seni. Guru seni pada musim FLS2N memiliki tingkat kecemasan tinggi karena penuh tekanan untuk memenangkan siswa-siswanya. Mereka diharapkan (atau diperintahkan) mampu meraih prestasi dan menang dalam kompetisi lomba seni. Hal ini menyebabkan kondisi lingkungan kerja tidak sehat. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi ekspektasi itu, sering kali dianggap sebagai guru tak kompeten, tidak layak mengajar seni, tanpa mempertimbangkan kontribusi dan dedikasi mereka sebenarnya. 

Semua kompleksitas itu menyebabkan iklim sekolah penuh ketegangan, terus dipacu untuk meraih kemenangan dalam segala bidang, dan obyeknya adalah siswa. Tak mengherankan, mereka menjadi lebih temperamental, tidak mampu menerima kekalahan, hingga mengedepankan kekerasan dalam meluapkan kekesalan. 

Ironisnya, seni yang seharusnya mampu membasuh semua itu justru terlibat dalam praktik yang sama. Sekolah tak ubahnya gelanggang pertempuran, bidang apa pun senantiasa ditempatkan sebagai medan pertarungan, tidak terkecuali seni. Karena itu, kata yang jamak diungkapkan kepada yang lain adalah: lawan, kalahkan, dan hancurkan. Aduh!

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aris Setiawan

Aris Setiawan

Etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus