Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kurun pendudukan indonesia versi...

Athens : chio university, 1986 resensi oleh : t.b. simatupang.(bk)

27 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

THE JAPANESE EXPERIENCE IN INDONESIA: SELECTED MEMOIRS OF 1942-1945 Penyunting: Anthony Reid and Oki Akira Penerbit: Ohio University, Athens, Ohio, 1986, 411 halaman PADA 1951 Shigetada Nishijima, yang dalam Memoir Bung Hatta disebut sebagai "pembantu Admiral Maeda", dan dalam kedudukan itu ikut berperan pada penyusunan naskah Proklamasi Kemerdekaan di rumah dinas Admiral Maeda, menulis buku berjudul Dai-san no Shinso (Kebesaran Ketiga). Nishijima memilih judul itu karena menganggap buku tersebut sebagai tambahan dan koreksi terhadap riwayat penulisan naskah Proklamasi Kemerdekaan, yang terdapat dalam buku Bung Hatta dan buku Adam Malik. Cuplikan dari memoir yang ditulis 13 tokoh Jepang yang memegang peran penting selama zaman pendudukan di Indonesia, yang disunting Anthony Reid dan Oki Akira menjadi buku The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945, dapat dilihat sebagai kebenaran ketiga mengenai apa yang terjadi selama zaman pendudukan Jcpang, di samping kebenaran dari sumber Indonesia dan sumber Barat. Mempelajari sejarah pada dasarnya merelevansikan pengalaman di masa lampau dalam menghadapi masalah-masalah sekarang dan di masa depan. Dari segi itu, mempelajari perkembangan selama zaman pendudukan Jepang masih tetap mempunyai arti penting bagi kita. Pertama, apa yang terjadi selama zaman pendudukan Jepang itu masih mempunyai dampak atas beberapa segi dalam pemikiran kita. Kedua, apa yang dialami kedua bangsa selama tahun-tahun itu, secara langsung atau tidak langsung, masih akan tetap ikut mempengaruhi hubungan antara Indonesia dan Jepang, baik sekarang maupun di masa depan. Memoir dalam buku ini mula-mula ditulis dalam bahasa Jepang pada 1960-an dan 1970-an. Waktu itu, Indonesia dan Jepang sedang berusaha keras mengembangkan hubungan yang sebaik-baiknya, dengan menjaga agar apa yang terjadi selama zaman pendudukan Jepang di Indonesia tidak mempunyai pengaruh negatif terhadap hubungan baik di kemudian hari. Sebab itu, secara sadar atau tidak sadar, para penulis memoir agak berusaha menonjolkan apa yang menguntungkan, dan sedapat mungkin melunakkan apa yang dapat merugikan hubungan Indonesia-Jepang. Walaupun begitu, reaksi pokok seorang pembaca Indonesia barangkali: untung, Jepang kalah. Memoir-memoir ini tidak dapat menutupi bahwa sekiranya Jepang menang dalam Perang Dunia II, Indonesia akan dipecah menjadi tiga. Bagian Timur Indonesia dan Kalimantan akan mengalami pendudukan permanen. Jawa dan Madura akan memperoleh otonomi, bukan kemerdekaan. Sedangkan Sumatera juga akan memperoleh otonomi, tapi lebih rendah tarafnya. Di antara 13 penulis memoir ini, yang paling dikenal di Indonesia adalah Hitoshi Imamura, Shigatada Nishijima, dan Shunkichiro Myoshi. Letnan Jenderal Imamura adalah panglima pasukan Jepang yang menyerbu Pulau Jawa. Dia sangat menghargai bantuan rakyat Indonesia, yang dilihatnya sebagai faktor penting dalam penentu kemenangan Jepang atas pasukan Belanda dalam waktu singkat. Nishijima, bekas anggota Partai Komunis Jepang dan pernah bekerja pada Toko Ciode di Surabaya, bertindak sebagai penghubung antara Laksamana Maeda, kepala kantor perwakilan angkatan laut Jepang di Jakarta, dan tokoh-tokoh Indonesia, terutama Soekarno, Hatta, dan Subardjo. Nishijima menganggap dirinya sahabat Indonesia, dan telah ikut berusaha keras agar Indonesia merdeka guna menebus janji-janji Jepang yang dianggapnya dilanggar oleh Jepang sendiri. Tulisan Shizuo Miyamoto, anggota staf Komando Jepang di Jawa, sangat menarik. Terutama bagian yang menggambarkan perbedaan sikap komando tentara Jepang dan kantor perwakilan angkatan laut di bawah Laksamana Maeda setelah kapitulasi Jepang. Komando Tentara berpendapat bahwa semua perintah Sekutu harus ditaati demi kepentingan Jepang. Sedangkan Maeda dan Nishijima berpendapat bahwa mereka harus membantu gerakan kemerdekaan Indonesia, demi hubungan baik kedua bangsa di masa depan. Kita dapat mengikuti pandangan Jepang mengenai perkembangan di Surabaya menjelang Hari Pahlawan 10 November 1945 dalam tulisan Laksamana Yaichiro Shibata, panglima angkatan laut Jepang, yang bermarkas di Surabaya. Penting juga tulisan Tetsuro Inoue, bapak Barisan Harimau Liar dan Barisan Naga Terbang di Sumatera Timur. Banyak cuplikan memoir dalam buku ini menggambarkan semacam gerak bandulan sikap Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia. Jauh-jauh hari sebelum serbuan Jepang, telah berlangsung upaya di bidang propaganda dan intel, yang membangkitkan kesediaan orang-orang Indonesia untuk bekerja sama dengan Jepang. Setelah serbuan berhasil, lambat laun sikap Jepang berubah. Merah Putih dan Indonesia Raya, yang berkibar dan berkumandang ketika menyambut kedatangan Jepang, menjadi barang terlarang. Kebiasaan orang Jepang menempeleng, yang di antara mereka merupakan hal yang lumrah, sangat menyakitkan hati orang-orang Indonesia. Nishijima menulis tentang pengkhianatan besar (great betrayal) dan akal licik (deception) Jepang sehubungan dengan janji-janji mereka semula. Sejalan dengan makin terjepitnya posisi Jepang di bidang strategi, secara bertahap berkembang sikap yang kian memberikan ruang bagi cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam hubungan itulah Perdana Menteri Tojo dan Perdana Menteri Koiso memberikan janji-janji kemerdekaan kepada Indonesia. Dalam hubungan itu pula, maka tulisan Shizuo Miyamoto yang memuat informasi mengenal pembentukan Peta (tentara sukarela Pembela Tanah Air), yang pada puncak kekuatannya terdiri dari 67 batalyon (sekitar 69.000) di Jawa dan 3 batalyon di Bali, menjadi sangat menarik, karena kekuatan Jepang, waktu itu, hanya 15.000 orang. Dengan perbandingan kekuatan seperti itu, Jepang tentu sangat waspada terhadap kemungkinan pemberontakan Peta. Selain itu, perlu pula dicatat tulisan Miyamoto yang membenarkan pengiriman romsha (tenaga kerja secara paksa) ke luar Pulau Jawa dengan membandingkannya pada program transmigrasi dalam Indonesia Merdeka. Ini, tentu saja, sangat tidak tepat. Tapi, secara keseluruhan tulisan dalam buku ini merupakan bahan pelengkap yang sangat bermanfaat untuk lebih memahami apa yang terjadi selama zaman pendudukan Jepang. T.B. Simatupang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus