TULISAN Profesor Peter Drucker, The Changed World Economy, yang baru-baru ini dimuat dalam majalah Foreign Affairs menjadi perhatian di Indonesia. Malah suatu seminar khusus diselenggarakan untuk membahas implikasi pendapat Drucker ini terhadap strategi pembangunan Indonesia. Tanggapan terhadap tulisan Drucker difokuskan kepada dua aspek utama, yaitu aspek difusi teknologi dan keterkaitan yang lebih mendalam ke sistem "persaingan" ekonomi internasional. Drucker mengemukakan dua perkembangan teknologi di negara-negara maju yang, menurut dia, akan sangat mempengaruhi posisi ekonomi negara-negara sedang berkembang dalam hubungan ekonomi internasional. Yaitu penemuan teknologi elektronika komputer dan bahan-bahan baku baru untuk kegunaan industri. Teknologi elektronika komputer telah melaksanakan fungsi kontrol atas mesin-mesin yang digunakan dalam proses produksi secara lebih teliti, sehingga dapat menggantikan tenaga manusia. Teknologi ini mengakibatkan komponen biaya buruh per unit barang dapat ditekan, yang berarti produktivitas kerja buruh menjadi sangat tinggi. Biaya buruh per unit barang yang menjadi rendah memungkinkan beberapa industri tertentu, seperti, barang elektronik, tekstil dan pakaian jadi, dapat bersaing dengan industri sejenis, yang padat karya, di negara-negara sedang berkembang, yang selama ini menikmati keunggulan komparatif (comparative advantage). Kini, keunggulan komparatif itu tidak dapat dinikmati lagi. Terbukti dengan ditutupnya beberapa perusahaan mancanegara, yang beroperasi di kawasan free trade zones berbagai negara sedang berkembang -- dan terjadinya restrukturisasi industri ke arah highvalue added industries di beberapa negeri, seperti Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Banyak perusahaan mancanegara yang selama ini memproduksi barang ekspor di berbagai negara sedang berkembang, atas dasar pertimbangan biaya buruh murah, telah mengalihkan operasinya ke negara induk. Karena, sebagai akibat perkembangan teknologi baru, biaya operasi di negara induk lebih ekonomis. Perusahaan mancanegara yang tidak mengalihkan lokasi operasinya, dan perusahaan lokal yang memproduksi barang ekspor, akhirnya, harus melakukan penyesuaian teknologi produksi ini. Biaya sosial penyesuaian teknologi ini sangat tinggi, terutama bagi negara sedang berkembang yang mempunyai surplus tenaga kerja, seperti Indonesia. Pekerja yang tetap dipertahankan, sesudah terjadinya penyesuaian teknologi, membentuk korps tenaga kerja elite di tengah massa pengangguran yang besar di sekitarnya. Apakah ekonomi kita akan dijuruskan ke dalam proses penyesuaian teknologi ini -- dengan konsekuensi capital deepening yang bertambah diiringi biaya sosial dalam bentuk pengangguran tenaga kerja yang makin tinggi? Ini persoalan fundamental yang harus dipertimbangkan bagi setiap upaya mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke sistem pertukaran internasional, yang mengandung suatu keharusan penyesuaian teknologi. Dalam kaitan ini, negara sedang berkembang dapat memilih jalan penyesuaian teknologi dalam bentuk pengintegrasian atau pemaduan teknologi baru dengan kegiatan-kegiatan yang ada (integrating or blending new technology with traditional activities), dan bukan memilih penyesuaian teknologi dalam bentuk leap frogging, yaitu melakukan lompatan katak dalam revolusi industri yang memasuki era elektronika. Pendekatan integrasi dan pemaduan dianggap berpijak pada realita sosio-ekonomi negara berkembang. Karena teknologi elektronika komputer sebagian besar menyangkut barang yang selama ini diproduksi perusahaan mancanegara di negara sedang berkembang -- umumnya, komponen elektronik -- penyesuaian teknologi ini hanya mempengaruhi subcontracting exports dan negara-negara berkembang, yang dikuasai pihak asing. Di beberapa negeri kecil, seperti Singapura, Hong Kong, dan Taiwan, subcontracting exports ini relatif cukup besar dalam struktur ekonomi mereka. Di Indonesia, subcontracting exports merupakan hasil produksi yang sangat kecil, sehingga perubahan teknologi dalam proses produksi barang ekspor ini hendaklah tidak ditanggapi sedemikian rupa, seolah kita ingin digiring ke arah proses high-valueadded industries. Realitas sosio-ekonomi kita lain dengan Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Ekspor barang hasil produksi padat karya dari negara sedang berkembang masih punya prospek luas, seperti dikemukakan studi Bank Dunia setelah memperhatikan kecenderungan yang berkembang dalam struktur industri negara-negara maju. Dalam kaitan ini, terdapat banyak kesempatan mensubstitusikan mesin dengan tenaga buruh dalam produksi barang konsumsi tanpa mengorbankan efisiensi komersial, sehingga manfaat komersial dan sosial dapat diperoleh berbarengan. Teknologi penemuan bahan-bahan mentah baru untuk industri di negara-negara maju terjadi akibat kekhawatiran akan langkanya beberapa bahan mentah primer, di samping tingginya biaya komponen energi dalam mengolah bahan-bahan mentah tersebut. Misalnya penemuan fibre optics dan fine ceramics. Fibre optics, antara lain, telah digunakan untuk peralatan telekomunikasi, komputer, perlengkapan kantor, serta sistem video dan televisi. Sedangkan fine ceramics telah dikembangkan untuk pengganti logam pada komponen mesin dan turbin. Penemuan-penemuan ini diperkirakan akan mengurangi permintaan bahan-bahan mentah pertambangan, yang banyak diekspor negara sedang berkembang. Karena teknologi baru yang menghemat penggunaan bahan mentah primer masih menyangkut bahan-bahan mentah nonrenewable di sektor pertambangan, masih terbuka peluang untuk ekspor barang-barang bersifat renewable. Kendati prospek ekspor dari negara sedang berkembang, yang mempunyai keunggulan komparatif dalam tenaga buruh atau bahan mentah, masih mempunyai harapan, perlu dikaji ulang bagaimana sebaiknya dasar pikiran kita tentang tingkat pengintegrasian ekonomi kita ke dalam kancah hubungan ekonomi internasional. Bagaimana sebaiknya posisi kita mengenai export economy? Apakah ekspor menjadi pangkal segala-galanya dalam proses pertumbuhan ekonomi kita? Atau ekspor hanya sebagai ujung proses pertumbuhan? Kalau kita ikuti Drucker, tumpuan harus kepada ekspor. Tepatkah ini untuk kita? Tepatkah mendasarkan proses pertumbuhan atas permintaan efektif di luar kontrol ekonomi nasional?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini